1922
Kata-kata
Bijak
Alih-alih berjuang mencapai suatu tingkatan spiritual, miliki kedamaian dan
kekuatan dengan menerima hidup sebagaimana adanya.
SIDDARTHA
“Pengetahuan yang
terlalu banyak telah menahannya, terlalu banyak ayat suci, terlalu banyak
aturan ritual, terlalu banyak penolakan, terlalu banyak berbuat dan berusaha.
Ia penuh keangkuhan—selalu paling cerdas, selalu paling giat, selalu selangkah
lebih maju dari orang lain, selalu bijaksana dan spiritual, selalu menjadi
pendeta atau guru. Kedalam kependetaan ini, kedalam pikiran yang tinggi ini,
kedalam spiritualitas ini, egonya merayap masuk.”
“Sebagian besar orang,
Kamala, sama seperti daun-daun gugur yang terbang dan berputar-putar di udara,
kemudian turun dan jatuh ke bumi. Tetapi yang lain, hanya sedikit, sama seperti
bintang, bergerak pada jalan yang tetap di mana tidak ada angin yang bisa
menyentuh mereka; hukum dan jalan mereka ada dalam diri mereka.”
S
|
ebelum menjadi Hermann Hesse si penulis terkenal, Hesse berjuang keras
membesarkan ketiga putranya sementara istrinya menderita skizofrenia. Ketika
penyakit itu menjadi terlalu berat untuk dihadapi, sang istri dimasukkan ke
sebuah institusi dan anak-anaknya diasuh oleh teman-temannya. Hesse pindah ke
sebuah rumah yang besar dan memesona, Casa Camuzzi, dekat Danau Lugano di
Swiss, dan menemukan kedamaian. Ia bermeditasi di siang hari dan menulis di
malam hari, serta senang berjalan-jalan dan melukis pemandangan dengan cat air.
Siddartha, sebuah novel yang berlatar
belakang India di masa ketika Buddha masih hidup, ditulis di tempat ini.
Baik ayah maupun kakek Hesse adalah
misionaris Kristen, tetapi kakeknya juga menguasai sembilan bahasa India dan
bisa memberikan pengetahuan tentang literatur spiritual timur kepada
Hesse. Jika mempertimbangkan sifat
pemberontak dan anti-kompromi sang penulis (ia dikeluarkan dari sekolah pada
usia 13 tahun, dan kemudian menjadi penganut pasifisme yang lantang), tidak
mengejutkan bila ahirnya ia menghasilkan buku seperti Siddartha, sebuah sintesis antara konsep Buddha, Hindu, Tao, dan
Kristen yang berakhir dengan penolakan agama konvesional demi suatu bentuk
spiritualitas yang bersifat sangat pribadi dan individual. Tetapi bagaimana
sebenarnya kisah Sddharta dan mengapa buku ini mampu menguasai imajinasi
spiritual selama 80 tahun teakhir ini?
Pencarian
Dengan
cerminan dari kehidupan sendiri, Hesse memperkenalkan karakter Siddartha
sebagai putra dari seorang terpelajar kasta brahmana, tenggelam dalam diskusi
dan praktik agama Hindu di usia yang sangat muda.
Ketika buku itu dimulai, Siddartha
merasa gelisah. Ia telah dibesarkan dengan sekian banyak pengetahuan, tetapi
ada sesuatu yang kurang: semua orang berbicara tentang Tuhan dan kesatuan
segala sesuatu yang eksis, tetapi ia bertanya siapa kira-kira yang benar-benar
pernah mengalaminya. Dengan mencari kemurnian karakteristik sejumlah orang
muda, dan menetang kehendak sang ayah, Siddartha memutuskan untuk pergi dan
bergabung dengan shramana, orang suci
pengelana dengan kehidupan mereka yang keras. Ditemani oleh temannya, Govinda,
sejak sat itu Siddartha tidak memiliki apa-apa kecuali selembar kain yang
menutupi bagian bawah tubuhnya, dan berpuasa selama berminggu-minggu. Dalam
kehidupan seorang petapa ini ia bermaksud menanggalkan semua hasratnya serta
menyingkirkan egonya. Dan dalam pencarian ini, rasa lapar, haus, lelah, dan
pedih dijalaninya dengan gembira.
Betemu
Buddha
Setelah tiga
tahun, dua sahabat itu mulai mendengar tentang tokoh legendaris bernama Gotama,
seorang Buddha dengan “wajah yang berkilau”, yang telah mencapai nirwana dan
sekarang tidak merasakan penderitaan kehidupan pada umumnya. Mereka pergi untuk
mengunjungi Gotama, dan Siddartha terpengaruh oleh penjelasannya yang sempurna mengenai
alam semesta sebagai suatu rantai sebab-akibat yang tak terpatahkan dan abadi.
Meski demikian Siddartha tidak
menjadi pengikut Gotama, meyakini bahwa terbebaskan dari penderitaan bisa terjadi
bukan melalui guru ataupun ajaran, melainkan dengan mengikuti jalan kita
sendiri. Sekarang sendirian, ia mendapat pencerahan. Sebelumnya, ia menganggap
dunia fisik sebagai maya (ilusi),
sekarang ia melihat pepohonan, Matahari, Bulan dan sungai seperti baru pertama
kali melihatnya, tanpa “berpikir” tentang mereka. Ia menyadari bahwa usaha
kerasnya mencari pengetahuan batiniah telah membuatnya tidak bisa melihat
keindahan dunia.
Turun
ke Bumi
Cerita ini
dilanjutkan dengan Siddartha keluar dari hutan dan masuk kota. Ia melihat
seorang wanita cantik yang dijunjung oleh hamba-hamba, dengan mulut “seperti
buah ara yang baru dibelah”. Ia meraskan kobaran cinta dan ketertarikan, tetapi
wanita itu, Kamala, yang mengenakan pakaiannya yang mahal dan rambut yang
bersinar, berpendapat alangkah lucunya bahwa seorang petapa yang basah kuyup
berpikir bisa menjadi temannya. Siddartha ingin belajar darinya hal-hal
mengenai cinta, tetapi ketika wanita itu bertanya apa yang bia ia berikan
sebagai imbalannya, yang bisa ia katakan hanyalah bahwa ia bisa “berpikir,
berpuasa, menunggu, dan membuat puisi”. Wanita itu suka puisinya, tetapi
memberi tahu Siddartha, bahwa ia harus berpakaian dan terlihat rapi sebelum
bisa melangkah lebih jauh.
Siddartha mulai bekerja sebagai
asisten seorang pebisnis, dengan cepat mempelajari cara berbisnis dan terbukti
sangat berharga bagi atasannya. Ia sukses karena, tidak seperti atasannya,
Siddartha hidup terpisah dari bisnisnya, mengambil keputusan tanpa takut rugi
dan tidak berbuat curang karena tamak. Ia mampu hidup di dunia yang penuh
perjuangan dan penderitaan tanpa terlalu erat terikat dengan dunia tersebut.
Baginya, orang mengkhawatirkan dan memperebutkan hal-hal yang sangat tidak
penting: uang, kenikmatan, ketenaran. Semua itu hanya samsara, permainan hidup, dan bukan hidup itu sendiri. Karena ia
mempunyai pikiran seorang Shramana, semua
itu tidak memengaruhi dirinya.
Tetapi Siddartha mulai tidak mampu
memisahkan diri dan semakin tertarik ke dalam kehidupan manusia pada umumnya,
ke dalam harta, uang dan kebanggaan. Ia jadi senang berjudi dan minum, serta
menyadari bahwa ia telah menjadi salah satu dari “orang kekanak-kanakan” yang
dulu ia pandang rendah. Bahkan, setelah satu malam penuh anggur dan wanita
penari, ia menyadari bahwa dirinya lebih buruk dari sebagian besar mereka.
Pedagang
ke pemilik perahu
Dalam
kesedihannya, Siddartha lari ke hutan, siap untuk mati. Tertidur di tepi
sungai, ia terbangun dan menemukan teman lamanya, Govinda, yang membantunya
merefleksikan hidupnya dan menemukan dalam dirinya benih jiwanya yang dulu yang
lebih murni. Tampak oleh Siddartha bahwa, orang seperti dirinya memang harus
melewati tahap hasrat dan cinta hal-hal duniawi agar melihat bahwa semua itu
tidak memuaskan dirinya. Hanya dengan merasa jijik melihat bagaimana jadinya
sosok dirinya sekarang, ia bisa dilahirkan kembali, dan bukan sebagai petapa
pengelana seperti dulu, tetapi sebagai seseorang yang merupakan bagian dari
dunia tetapi tidak tergoda olehnya.
Ia beralih dari seorang asisten
menjadi pemilik perahu, belajar bagaimana cara menggunakan dayung untuk membawa
orang menyeberangi sungai, dan tinggal dalam sebuah gubuk. Hidupnya sederhana,
tetapi sungai berbicara kepadanya dalam cara yang tak pernah bisa dilakukan
oleh seorang guru, dan ia menemukan kedamaian.
Suatu hari seorang wanita dan
putranya yang masih kecil pergi untuk menemui Buddha, yang kabarnya sudah
mendekati akhir hidupnya. Kedua orang itu berada tidak jauh dari penyeberangan
kapal ketika si ibu digigit ular. Tangisan mereka terdengar oleh si pemilik
perahu, yang datang untuk melihat apa yang terjadi. Siddartha segera mengenali
wanita itu; Kamala, cintanya yang dulu, dan anak laki-laki itu adalah putranya.
Masuk
ke dalam lingkaran
Para pembaca
harus membaca buku ini untuk mencaritahu
apa yang terjadi kemudian, tetapi Siddartha mempelajari cinta yang sederhana
namun sangat kuat yang dimiliki para orangtua untuk anak mereka. Ia tidak lagi
memandang rendah mereka yang sangat terikat pada hal-hal duniawi. Ia menyadari
bahwa bukan perjuangan spiritual yang terus-menerus yang membawa ke suatu
tingkat kedamaian dan pencerahan, juga bukan karena melemparkan dirinya ke
dalam kenikmatan dan status duniawi. Disampaikan dalam percakapan dengan teman
lamanya, Govinda, kesimpulan Siddartha adalah:
“Satu-satunya hal yang penting bagiku
adalah mampu mencintai dunia, tanpa merendahkannya, tanpa membencinya dan tanpa
membenci diriku sendiri—mampu menghargainya, mampu menghargai diriku sendiri
dan semua makhluk dengan penuh cinta, kekaguman, dan rasa hormat.”
Yang
membantunya sampai ke kesadaran ini adalah sungai. Ia mendengarkan “kidung
ribun sungai”, yang terdengar seperti kehidupan dengan pergerakannya yang tiada
henti untuk mencapai tujuan, perjuangannya, penderitaannya, dan kenikmatannya;
walau demikian semua itu bergerak sebagai satu kesatuan. Kehidupan, meski
tampak seperti kekacauan yang menyesatkan dan menakutkan, terdiri dari orang,
tempat, peristiwa, dan perasaan yang terpisah, barat sebuah sungai di mana
semua yang ada di dalamnya sebenarnya adalah satu arus. Dan dalam keutuhan
itulah terdapat kesempurnaan.
Kata
penutup
Pesan dari Siddartha adalah bahwa kita seharusnya
tidak menarik diri dari kehidupan untuk bisa memiliki perasaan suci, melainkan
melemparkan diri kita ke dalam berbagai hal. Dipenuhi dengan berbagai
peristiwa, pikiran, dan relasi, hidup sering kali tampak sangat terpisah, tetapi
dilihat dari tepi, semua itu sebenarnya adalah sngai pengalaman beraliran
lembut yang satu.
Buku ini juga menunjukan bahwa baik
kehidupan yang keras tanpa sensualitas dan “materi”, maupun kehidupan penuh
pemikiran dan pengetahuan, sama-sama tidak bisa memberikan perkembangan spiritual
seperti yang kita harapkan. Siddartha menemukan bahwa hanya ketika ia berhenti
mencari nirvana maka sejumlah
pencerahan datang padanya.
Meski Siddartha diterbitkan di Jerman pada tahun 1920-an, terjemahan
bahasa Inggrisnya baru pertama kali muncul pada tahun 1951, dan baru pada tahun
1960-an buku ini menjadi buku terlaris di Amerika seiring dengan terjadinya
ledakan ketertarikan pada agama dan filosifi timur. Seperti yang dikatakan oleh
sang penerjemah, Sherab Chodzim Kohn, karya ini sangat cocok dengan orang
berjiwa bebas dan antikompromi di zaman itu, walau demikian temanya tentang
kehidupan diluar hal-hal materi tetap menarik. Keabadian buku ini juga terjadi
karena prsesnya yang sederhana, dan penggambaran Hesse tentang kekuatan
penyembuhan sang sungai benar-benar indah.
Siddartha
merupakan buah dari perjalanan spiritual Hesse yang melelahkan (dalam bahasa
Sanskerta nama itu berarti “ia yang telah mencapai tujuan”), tetapi untunglah
Anda tidak perlu harus memiliki jiwa yang tersiksa agar bisa menggunakan
pandangan yang ia ungkapkan dalam buku ini.
Hermann
Hesse
Lahir pada tahun 1877 di Calw, Jerman, pada usia 18 tahun hesse
pergi dan tinggal di Basel, Swiss, bekerja sebagai penjual buku. Novel pertamanya
antara lain Peter Camenzind (1904),
Beneath the Wheel (1906), dan Gertrud
(1910). Pada tahun 1911 ia pergi ke India, dan pada tahun 1914 ia menerbitkan
Rosshale. Kesuksesan nyata pertamanya di
bidang literatur adalah Demian (1919).
Di tahun yang sama Hesse membeli rumah di
Montagnola, di daerah Ticino, Swiss. Di sana ia menulis Klein and Wagner,
Klingsor’s Last Summer, Siddartha, Steppenwolf (1927), Narcissus and Goldmund (1930),
Journey to thr East (1932), The Glass
Bead Game (1943).
Hesse
menulis bagian pertama Siddartha dengan
mudah, tetapi kemudian berhenti selama setahun akibat depresi. Buku ini selesai
pada Mei 1922 dan diterbitkan di bulan Oktober tahun itu, serta diterjemahkan ke
dalam sejumlah bahasa negara Asia.
Pada tahun 1923
Hesse menjadi warga negara Swiss. Sepanjang hidupnya ia adalah seorang penganut
paham perdamaian dan di masa perang ia menjadi seorang penentang besar. Pada tahun
1946 ia memenangkan Nobel bidang sastra. Ia meninggal dunia pada tahun 1962.
(50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan
dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom
Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA
ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)