(1872-1950)
Sri Aurobindo
Metode atau teknik apa pun yang digunakan, dibutuhkan ketekunan
dan keteguhan hati. Karena dalam
melakoni metode atau teknik tersebut, perlawanan alami yang beragam dan kompleks akan ada di sana
untuk merintanginya.
Sri
Aurobindo merupakan salah satu pribadi mistik yang dengan sepenuhnya
mengapresiasi transformasi Manusia Ilahiah. Suatu keadaan “transfomasi ilahi”
yang oleh para Siddha (ia yang telah
mencapai kesempurnaan) dipandang sebagai fakta kebenaran.
Pandangan
yang penuh inspirasi dari Sri Aurobindo di ekspresikan dalam bukunya The Life Divine dan The Synthesis of Yoga dan pengalaman-pengalamannya mengenai
Transformasi Diri ditunjukkan dalam Letters
on Yoga. Dua karya yang terakhir,
terutama menjelaskan secara detail banyaknya tahapan dan kesulitan yang terkait
dalam transformasi semacam itu. Jauh dari
suatu akhir, dengan sendirinya immortality,
kehidupan yang kekal secara fisik telah mempresentasikan kepada Aurobindo
tahapan berikutnya dari Evolusi Kemanusiaan. Dan itu haruslah berasal dari
transformasi spiritual, puncak dari sebuh proses, manakala Kesadaran Ilahiah
turun ke dimensi lebih rendah (lower
planes) dari consciousness atau
kesadaran, bahkan lebih jauh turun ke level benda atau materi yang tanpa perasaan atau nurani (inconscient levels of matter).
Deskripsi
Aorubindo mengenai proses transformasi ini dan dampaknya secara menyolok sama
dengan apa yang dialami oleh para Siddha dan Ramalinga, terutama yang berkenaan
dengan “Debu Keemasan” dan “Tubuh Keemasan”. Cinta kasihnya yang besar bagi
kemanusiaan dan orientasinya ke dunia fisik serta tindakannya, juga serupa
dengan apa yang dilakukan oleh para Siddha. Keragaman pengalaman dan orientasi
mungkin bisa memberikan kita semacam tuntunan untuk disiplin dan gaya hidup.
Aurobindo
Ghose lahir di Calcutta pada tanggal 15 Agustus 1873. Ia belajar di Inggris
sejak umur lima sampai dua puluh tahun. Kembali ke India pada tahun 1892,
Aurobindo bekerja sebagai seorang guru bahasa Prancis dan Inggris, dan kemudian
sebagai sekretaris pribadi pangeran Baroda. Ia menikah di tahun 1901.
Bagaimanapun juga dalam banyak tahun yang dilewati, energinya terpakai dalam
tahap awal gerakan Kemerdekaan India. Dia aktif sebagai salah satu dari
pemimpin yang utama. Dia oleh pemerintah Inggris dituduh telah melakukan
kegiatan subversi lalu di penjara dan dilepaskan setelah diadili karena
kurangnya bukti-bukti.
Bertemu Dengan Vishnu Bhaskar Lele.
Ditengah-tengah
kegiatan berpolitik, pada tanggal 30 Desember 1907, Aurobindo bertemu dengan
seorang yogi—praktisi yoga, yang bernama Vishnu Bhaskar Lele. Itulah pertama
kalinya ia punya niat bertemu dengan seorang yogi. Ia berkata kepada Lele, “Saya ingin melakukan yoga tapi untuk
pekerjaan, untuk suatu aksi, bukan untuk sannyasi—kehidupan dengan meyangkal
keduniawian ataupun nirvana. Kedua orang itu pada akhirnya mengadakan
pertemuan selama tiga hari di kamar yang tertutup. Lele berkata, “Duduklah dalam meditasi, tetapi jangan
berpikir. Berfokuslah hanya pada perhatiannmu. Kamu akan mengamati bahwa
pikiran-pikiran akan mulai masuk. Sebelum pikiran itu masuk lemparkanlah keluar
dari fokusmu sehingga perhatian dan konsentrasimu mampu mencapai keheningan
total.” Kemudian ia mencatat, “Hasil
pertama adalah sebuah jajaran pengalaman-pengalaman yang luar biasa kuatnya dan
perubahan-perubahan akan sebuah kesadaran yang begitu radikal yang tak pernah
saya niatkan,… dan yang benar-benar bertentangan dengan ide-ide saya, karena
hal-hal itu membiarkan saya untuk melihat dengan intensitas yang gilang
gemilang kenyataan bahwa dunia adalah permainan atau sebuah sandiwara dalam
proses sebuah produksi film, dari bentuk-bentuk yang kosong dalam universalitas
yang impersonal (yang bukan berasal dari manusia, tapi berasal dari Brahman atau
Tuhan yang absolut).
“Dalam ruang-ruang jati diri yang begitu
luas, tubuh kelihatan hanya sebuah kerangka dan tengkorak yang sedang
mengembara”.
“Tiba-tiba aku terlempar ke dalam sebuah
kondisi yang melampaui pikiran dan menjangkau dunia yang tak terbatas, sebuah
infinitas, tak ternoda oleh gerakan mental atau vital apapun, tak ada ego, tak
nampak dunia nyata yang kasat mata fisik, hanyalah bila seseorang melihat
indera-indera yang tak bergerak, maka sesuatu yang bisa ditangkap atau
dihubungkan adalah keheningan yang teramat sangat dari sebuah dunia yang tanpa bentuk, kosong melompong,
void, bayangan-bayangan yang tercipta adalah tanpa substansi, tak ada
sesuatupun bahkan tak ada yang bisa disebut banyak – tak ada apa-apa, hanyalah
ketiadaan bentuk yang absolut, tanpa keterkaitan, kebakaan – hampa – susah
diterangkan, tak terperikan, tak terpikirkan, absolut, tetapi itulah kenyataan
yang supreme dan satu-satunya yang nyata. Hal ini bukanlah sebuah realisasi
mental atau sesuatu yang dengan sekilas bisa dilihat di atas, di suatu tempat,
tak ada abstraksi – itulah yang positif, realitas satu-satunya yang positif –
meski bukanlah sebuah dunia fisikal yang membutuhkan ruangan, menyebar,
melingkupi atau sepertinya membanjiri dan menenggelamkan, kemiripan pada dunia
fisik ini, tak meninggalkan ruang ataupun semesta alam sebagai suatu realitas,
melainkan jati diri sendiri, tak membiarkan apapun untuk nampak benar-nyata. Sebagaimana nyatanya,
positif atau substansial….pengalaman
itu membawakan kedamaian yang tak terlukiskan, keheningan yang penuh
kecemerlangan, kebebasan, kelegaan yang tak terbatas.”
Aurobindo
telah berhasil masuk ke keadaan “Nirvikalpa Samadhi” atau “That”. Menurut
literatur rahasia Hindu dan Vedanta yang oleh pengikut Buddhisme disebut
sebagai “Nirvana”, “Liberasi” (Pembebasan), inilah bagian terakhir dan tradisi
mistik di seluruh dunia, yang tak banyak orang pernah mencapainya, meskipun
telah diusahakan dengan susah payah selama bertahun-tahun. Tetapi titik akhir
ini hanyalah merupakan permukaan dari pengalaman-pengalaman yang lebih tinggi
lagi. Ia mencatat : “Saya tinggal di
Nirvana di siang dan malam hari, sebelum mulainya hal-hal lain. Hal-hal
lain masuk dan bermodifikasi di sana…pada akhirnya semuanya menghilang ke dalam
super consciousness (kesadaran super)…”.
“Aspek dari dunia maya (ilusi) akan
memberikan tempat bagi seseorang manakala ilusi hanyalah suatu fenomena
permukaan kecil saja, dengan Realitas Ketuhanan yang besar di belakangnya dan
suatu Realitas Ketuhanan Tertinggi di atasnya, dengan Realitas Ketuhanan yang
intens yang berada di hati segala
sesuatu yang pada mulanya nampak hanya sebagai bentuk cinematis-gambar bergerak
dan bayangan. Dan ini bukan sebuah pemenjaraan kembali di
indera-indera, bukanlah sebuah penyusutan atau kejatuhan dari pengalaman yang
tertinggi, kedatangannya boleh dikatakan sebagai peninggian dan peluasan yang
konstan dari Sang Kebenaran… Nirvana dalam kesadaranku yang terbebaskan,
menghasilkan apa yang menjadi permulaan dari realisasi atau kesadaran, sebuah
langkah awal ke sesuatu yang sempurna, bukan sebagai kemungkinan pencapaian
kebenaran yang satu-satunya atau bahkan kulminasi dari suatu akhir”.
“Nirvana
bukanlah sekaligus menjadi akhir suatu jalan setapak spiritualitas sehingga tak
ada yang bisa exploited, dijelajahi lagi, digali lagi jauh di luar itu…
Itu adalah suatu akhir dari jalan yang rendah melalui Sifat Alami yang rendah
dan adalah langkah awal dari Evolusi yang lebih tinggi”.
Aurobindo
terus berada dalam keadaan ini sementara dia mengedit suratkabar hariannya,
mengorganisir pertemuan-pertemuan rahasia dan berpidato kepada kumpulan dan
pertemuan politik. Sebelum sebuah pertemuan pertama diadakan, ia ragu-ragu
untuk memulai sebuah pidato, “Lele
memintaku untuk berdoa, tetapi saya begitu dalam larut dalam Kesadaran dan
Keheningan Brahman sehingga saya tak bisa berdoa. Ia menjawab bahwa itu tak
masalah; ia dan beberapa orang akan berdoa. Saya hanya datang saja ke
pertemuan, memberikan namaskar, menunduk kepada para hadirin dan Tuhan dan
menunggu, kata-kata meluncur dari mulutku datang dari sumber lain dan bukan
dari pikiranku.”
Aurobindo
mengikuti instruksi-instruksi ini dan kemampuannya berpidato datang seolah-olah
seperti didiktekan. “Dan sejak itu,
pidato, tulisan, buah pikiran dan aktifitas luar telah datang kepadaku dari
sumber yang sama di atas pikiran otak”. Inilah pengalamannya yang pertama
dengan Nurani Yang Super (super
Conscient). Pidatonya bagus memukau, “Coba
untuk menyadari kekuatan yang ada padamu, cobalah untuk mengemukakannya, dan
oleh karenanya apapun yang engkau perbuat bukanlah berasal dari kamu sendiri
tetapi dari Sang Kebenaran yang bersemayam di hati kamu….bukan karenamu, tetapi
dari Dia yang ada dalam kamu. Apakah yang bisa diperbuat oleh kekuatan-kekuatan
dunia kepada Dia yang ada di sekitar kamu, yang Abadi, yang Tak Dilahirkan dan
Tak Dapat Mati, yang tak tembus oleh pedang, yang tak terbakar oleh api?...
Penjara takkan mampu mengurungNya, dan tiang gantungan tak mampu mengakhiriNya,
apakah yang kutakutkan, bila engkau sadar bahwa Dia ada dalam dirimu?”.
Untuk
kedua kalinya Aurobindo ditahan oleh polisi Inggris. Dia diambil pada suatu
fajar, 4 Mei 1908. Selama latihan-latihan harian di halaman penjara Alipore,
serentetan pengalaman spiritual membawakan perubahan di dalam kesadarannya. Ia
mulai melihat Tuhan dalam semua orang. Dalam kurungan besi di pengadilan yang
berlangsung selama enam bulan, vision yang sama mengikuti dia, “Saya melihat kepada Dewan Penuntut
pengadilan dan saya tidak melihatnya sebagai Penuntut. Aku melihat Lord
Krishna, Tuhan, yang duduk di sana dan Dia tersenyum, “Sekarang apakah engkau
takut?, Saya berada di setiap orang dan berpotensi membatalkan aksi-aksi dan
kata-kata mereka”.
Pencarian sebuah “Rahasia”.
Setelah
pembebasannya dari penjara Alipore, Aurobindo kembali melakukan pekerjaan
revolusionernya. Melalui pengalaman-pengalamannya di penjara Alipore, ia telah
mencapi “kesadaran di atas pikiran” (overmind
consciousness), dimana kebenaran, yang tak terpisah dari eksistensi seperti
Kedamaian, Cinta Kasih, Keindahan, Kekuatan, Pengetahuan, Kemauan dan
sebagainya telah dialami secara penuh, tetapi tak tergantung satu sama lain. Batasan-batasan
dari kesadaran dengan jelas terlihat juga. Di dalamnya seseorang mengalami,
tetapi hanya satu kebenaran pada
suatu waktu. “Melihat semuanya tetapi melihat semua dari sudut pandangannya
sendiri”. Dengan kestrukturan bentuknya, kesadaran di atas pikiran haruslah
terbagi dalam satuan dan makin banyak ia turun ke dimensi mental yang lebih
rendah, dia akan menjadi lebih terbagi-bagi. Apa yang diperlukan, kemudian
adalah suatu kebenaran bagi tubuh dan alam
materi, bukan hanya sebuah kebenaran akan spirit dan alam roh.
Suatu
Kekuatan Lain diperlukan – sesuatu yang dapat bertahan ke arah bawah, sebuah
kekuatan yang bisa difragmentasikan yang diperuntukkan bagi sifat-sifat
manusia. Aurobindo memulai penyelidikan untuk mencari Kunci sebuah kehidupan
yang benar di bumi ini. “Hidup, bukanlah
sebuah keheningan yang jauh atau suatu Hidup—diluar jangkauan—Ekstasi dalam
diri sendiri yang diangkat tinggi-tinggi dan Hidup itu senndiri adalah yoga,
communion atau Persatuan dengan Tuhan. Aurobindo mengatakan, “Sudah jelas bahwa pikiran tak dapat
mengubah sifat alami manusia secara radikal. Engkau dapat terus mengubah institusi
– pendirian, adat kebiasaan manusia dengan tak terbatas dan masih juga ketidak
sempurnaan akan memecahkan institusi itu… mestinya harus ada sebuah kekuatan
lain yang tak hanya dapat bertahan tapi juga mengatasi tarikan ke bawah itu”.
Aurobindo menamakan Kekuatan yang tersembunyi itu sebagai “Suatu Rahasia”,
“Kesadaran Supramental” (Supramental
Consciousness).
Di
bulan Februari 1910, kurang dari satu tahun setelah pembebasannya dari penjara,
ia diperingatkan bahwa ia akan ditahan lagi dan di deportasi ke kepulauan
Andaman. Suara Tuhan berbicara kepadanya, “Pergilah
ke Chandernagore”, sepuluh menit kemudian di pergi dengan sebuag perahu
melaju menuruni Sungai Gangga.
Di Chandernagore, pada tahun 1910, ia menemukan “rahasia” yang sedang dicarinya. Situasi di sekitar penemuan itu tak pernah diceritakan olehnya. Bagaimanapun juga, dari tulisan-tulisannya kemudian nampaknya, untuk mendapatkan “rahasia” itu dia harus mengalami keadaan seperti neraka keidupan, karena orang tak akan dapat naik lebih tinggi dari pada tangga yang telah dituruni. “Untuk setiap ketinggian yang telah kita kuasai kita harus berbelok untuk membawa kekuatan itu turun, juga cahayanya ke aktifitas tidak abadi (mortal) yang lebih rendah”. Karena bila Ketuhanan harus turun kepada kita, untuk mentransformasi sifat-sifat manusia, kemajuannya tak terkandung banyak dalam kenaikan kita ke atas, tidak seperti waktu memuntahkan keluar apa saja yang menarik kita mundur, semua yang mengaburkan dan menutupi pembersihan atau pemurnian subconscient, sub nurani atau alam bawah sadar, dengan segala rasa takut, nafsu keinginan, rasa sakit dan distortion, penyimpangan menjadi kepentingan yang harus dilakukan.
Pada tahap terendah kesadaran manusia,
terletaklah alam bawah sadar, subconscient
yang merupakan hasil evolusi zat hidup di dalam Materi. Ia mengandung semua
kebiasaan-kebiasaan hidup, termasuk penyakit dan kematian. Di Chandernagore,
Sri Aurobindo mencapai kedalaman batin paling akhir dari subconscient fisik. Dan
dia berkata, “Bukan, bukan dengan
empryrean (dengan yang surgawi) saya menyibukkan diri, saya sebenarnya
mengharapkan yang demikian itu. Pada kenyataannya saya mengalami suatu keadaan
yang berlawanan dengannya”.
“Pada saat yang sama ia mencapai
batas-batas yang lebih tinggi dari overmind (pikiran yang lebih tinggi) dimana
‘gelombang-gelombang warna yang hebat’ melebur, berfusi dengan dengan Cahaya
putih”. Aurobindo menghubungkan keadaan demikian sama dengan batu
karang hitam sebagai berikut, “Daku telah
menggali dalam jangka lama, ditengah suatu horor-kengerian, ketakutan dari
kotoran rawa lumpur… Sebuah Suara berseru: Pergilah ke tempat kemana orang tak
pernah pergi! Galilah lebih dalam, dan lebih dalam sampai engkau mencapai batu
fondasi yang kokoh dan ketuklah pada gerbang yang tak berkunci”.
Ia
mendapatkan dirinya sendiri pada dasar dari lubang dasar Materi “tanpa nurani”,
tatkala tanpa dissolusi (pelenyapan, pelarutan):
“Ia menabrak masuk ke dalam Ruang dan Waktu
dimensi lain”. “Cahaya yang menakjubkan yang tertutup rapat dan tak terduga
dalamnya atau tak masuk akal kemilauannya”. “Sebuah peralihan malam dan siang
yang sangat indah dan anggun, semua nilai-nilai duniawi berubah”. “Yang tinggi
di atas bertemu dengan yang rendah di bawah, semuanya dalam rencana yang satu”.
Ia
menembus masuk ke alam Supramental yang adalah basis atau asal mula dari semua
materi dan mengalami iluminasi dalam sel-sel tubuhnya. Rahasia dari
transformasi itu adalah Kesadaran di
atas adalah Kesadaran di bawah, “Mereka
harus memasuki keterbatasan yang terakhir bila mereka ingin mencapai
ketidakterbatasan terakhir”; “Surga
dengan meriah dan rasa riang terpesona memimpikan bumi yang sempurna. Bumi
dengan kesedihan dan kesengsaraannya memimpikan surga yang sempurna. Mereka
dijauhkan dari kesatuannya oleh rasa ketakutan yang mempesona”.
Supramental Kuning Keemasan.
Penguraian
tentang “Supramental” mengingatkan keterangan yang sama oleh Delapan Belas
Siddha atau Soruba Samadhi dan
“Samadhi Keemasan” dan juga oleh Ramalinga dengan “Aneka Keemasan”.
Murid utama Aurobindo, “Sang Bunda” setelah perjalanan pertamanya menulis sebagai berikut: “Terkesan adanya suatu kekuatan, kehangatan, keemasan, bukan cair bentuknya, seperti pijaran cahaya debu, dan masing-masing pijaran itu (mereka tak dapat disebut partikel atau pecahan-pecahan, bahkan bukan titik-titik, kecuali jika dimaksudkan sebagai titik menurut pengertian matematik, sebuah titik yang tak memerlukan ruang) seperti emas yang cerah, hidup, debu emas yang hangat, orang tak bisa mengatakannya sebagai cemerlang, juga tak bisa dikatakan gelap, bukan juga bisa dikatakan terbuat dari cahaya seperti bagaimana kita memahaminya. Bisa disebutkan tak lain dari sebuah kumpulan titik-titik kecil dari emas. Ingin saya katakan, bahwa itu telah menyentuh kedua mataku, wajahku.
Dan dengan kekuatan yang hebat. Pada saat yang sama, sebuah perasaan damai yang melimpah ruah, kedamaian dari semua kekuatan. Begitu kaya, begitu penuh. Bagaikan suatu gerakan yang tercepat, kecepatannya tak terbatas melampaui apapun yang pernah dibayangkkan orang dan pada saat yang sama, itu adalah kedamaian absolut, keterangan absolut; …Hal itu memberikan perasaan ‘tiada gerakan’ yang sempurna, benar-benar tak dapat dijelaskan, tetapi inilah yang menjadi Asal Mula dan Penopang dari seluruh evolusi kehidupan di bumi… dan saya telah mengamati bahwa dalam status kesadaran sedemikian itu Kecepatan melampaui tenaga atau kekuatan, yang memadatkan sel-sel untuk mengubah mereka menjadi bentuk individu”.
Penjelasan
ini juga mengingatkan akan ungkapan-ungkapan yang sarat dengan kandungan arti
dari para Siddha: “Diamlah dalam
keheningan dan ketahuilah bahwa Aku adalah Tuhan”, karena immobilitas (keadaan dari tanpa gerakan—keadaan
yang dialami ketika menyelam dalam meditasi yang mendalam, hening,
kosong-melompong, suwung) adalah landasan
dari kekuatan supramental.
Pondicherry.
Setelah
dua bulan di Chandernagore, Aurobindo mendengar suara lagi, yang memintanya, “Pergilah ke Pondicherry”. Tak lama
setelah itu, ia berangkat diam-diam dengan kapal, menghindar dari penangkapan
polisi kerajaan Inggris.
Pondicherry adalah bagian dari koloni Prancis
di pantai tetangga India. Pada masa itu, tempat itu sangat tenang, nampaknya
terpencil. Itu adalah tempat terakhir, dan orang boleh mengharapkan mulainya sebuah evolusi spiritual.
Bagaimanapun juga, ternyata tempat itu mempunyai masa lampau yang berkaitan. Seorang
profesor disana bernama Jouveau Dubreuil, menemukan bahwa beratus-ratus tahun
yang lalu, tempat itu dinamakan Vedpuri, dan menjadi pusat dari studi Veda di
Selatan, dan menurut tradisi Siddha Agastyar adalah pelindungnya. Ia menemukan
bahwa pada suatu kali sebuah universitas Veda didirikan di sana di tempat yang
tepat dimana Sri Aurobindo pada akhirnya menetapkan tempat tinggalnya yang
permanen. Nama Tamil yang berlaku sampai kini, yaitu Puducheri (Kota baru),
berapa ratus tahun yang lalu telah direferensikan sebagai Poduka oleh orang
Yunani, Ptolomeus, pada abad kedua masehi dan jjuga oleh penulis-penulis
sebelumnya.
Selama
tahun-tahun awalnya di Pondicherry, Aurobindo mengalami kesukaran dengan
pengikut-pengikut revolusionernya yang datang dan tinggal menginap di rumahnya.
Mereka menunggunya untuk mulai lagi aktivitas revolusinya, tetapi Aurobindo
harus berkutat pada masalah-masalah lain yang harus mendapat perhatiannya.
Tatkala pada suatu hari ia didesak untuk memulai perjuangan politiknya lagi, ia
dengan cepat menjawab, “Bukan sebuah
revolusi menentang pemerintahan Inggris yang dengan mudah bisa diusahakan oleh siapapun,
tetapi sebuah pemberontakan terhadap seluruh sifat-sifat universal”.
Aurobindo untuk pertama kalinya membaca kitab
suci Veda, tulisan rahasia kuno dalam bentuk aslinya, selama beberapa tahun
pertama dia tinggal di Pondicherry. Dalam tulisan-tulisan itu ia dapat
mengenali pengalaman-pengalaman yang diperolehnya, dan lalu menerjemahkan
sebagian dari padanya, menurut pengalamannya. Tetapi seperti penulis-penulis
Veda, para rishi di zaman kuno, bukanlah kesadaran jati diri untuk dirinya
sendiri yang dicari oleh Aurobindo.
Pada
tahun 1910, Paul Richard, seorang penulis kebangsaan Prancis, datang ke
Pondicherry, ia datang untuk kedua kalinya di tahun 1914, menyatakan
keinginannya untuk bertemu Aurobindo. Ia mengusukan agar mereka berdua menerbitkan sebuah jurnal filosofi bulanan
dengan dua bahasa berjudul, Arya,
merupakan ulasan dari sintesis yang anggun. Dari tahun 1914 sampai 1920
Aurobindo menerbitkan jurnalnya sama baiknya dengan kebanyakan dari hasil karya
tulisnya – hampir 5000 halaman dan juga menulis beberapa buah buku. Diantaranya
adalah The Life Divine, yang
memberikan pandangan dari filosofi fundamentalnya untuk menguraikan Yoga
Integralnya dan yang isinya kontras dengan disiplin yoga lainnya. Essays on Gita, yang menginterpretasikan
Bhagavad Gita menurut pandangan dari Aurobindo, berdasarkan turunnya “Kesadaran
Supramental”, The Secret of Veda -
Rahasia Veda, The Ideal of Human Unity
– Tujuan akhir dari Kesatuan Masyarakat Manusia, The Human Cycle – Siklus manusia. Tiga yang terakhir menggambarkan
kemungkinan-kemungkinan masa depan dari masyarakat manusia.
Menurut
Aurobindo, ide-ide dari buku-buku itu datang sebagai curahan deras inspirasi,
tanpa usaha, “Saya tak berbuat usaha
apapun dalam menulis. Saya dengan sederhana membiarkannya kepada Kuasa yang
Tertinggi untuk bekerja. Dan bila tidak terjadi, saya tak melakukan usaha
apapun. Pada masa lalu keintelektualan saya, saya kadang-kadang mencoba untuk
memaksa diri dan tidak setelah saya mulai mengembangkan puisi dan prosa dengan
yoga. Bolehkah kuingatkan padamu juga, tatkala saya menulis Arya, dan juga
ketika saya menulis surat-surat ini atau menjawab surat-surat, saya tak pernah
berpikir… apa yang kutuliskan keluar begitu saja dari pikiran yang hening, siap
dibentuk dari atas”.
Pada
tahun 1920 dia berhenti menulis, edisi terakhir dari Arya diterbitksn. Selama 30 tahun berikutnya, tulisannya dibatasi
pada sejumlah besar korespondensi, dan juga tulisan mengenai puisi syair
kepahlawanan, Savitri, terdiri dari
23.813 baris yang merangkum sebagian besar dari visionnya mengenai evolusi kemanusiaan dengan jelas, pekerjaannya
dengan sub-suara hati nurani dan kontra nurani, juga pengalamannya dengan
dimensi Kesadaran yang lebih tinggi.
Krisis
Transformasi
Aurobindo
melihat kemanusiaan pada persimpangan jalan dalam evolusinya, “Bila penyingkapan spiritual di atas bumi
adalah kebenaran yang tersembunyi dari kelahiran kita ke Materi, apabila jika secara
fundamental sebuah evolusi kesadaranlah yang terjadi di alam, maka manusia
sebagai mana dia sekarang tidaklah merupakan suatu akhir dari evuolusi itu; manusia
terlalu tidak sempurna untuk mengekspresikan roh, pikiran itu sendiri
adalah suatu bentuk dan instrumen yang sangat terbatas, pikiran hanya suatu
jangka waktu tengah bagi Kesadaran, eksistensi mental bisa jadi adalah
makhluk transisi saja. Bila kemudian manusia tak mampu untuk melebihi
mentalitas, dia haruslah dilangkahi, dilampaui dan oleh karenanya mind yang
super dan manusia yang super – harus bermanifestasi atau menjelma untuk memegan
pimpinan dari ciptaan, tetapi bila pikiran mampu untuk membuka kepada apa yang
melmpauinya,lalu tak ada alasan mengapa manusia sendiri tak harus tiba pada
supermind dan supermanhood (tingkatan manusia super) atau paling tidak
meminjamkan mentalitas, hidup dan tubuhnya kepada sebuah evolusi dari masa yang
lebih besar dari Sang Roh yang bermanifestasi di alam ini”.
Memenurut
Aurobindo, manusia telah mencapai “sebuah
krisis transformasi” yang krusial
(penting, menentukan) seperti krisis yang telah menandai kemunculan dari Hidup
dalam materi atau krisis yang menandai kemunculan Pikiran dalm hidup. Tak
nampak seperti krisis-krisis sebelumnya, bagaimanapun juga, masyarakat manusia
“boleh jadi adalah kolaborator (teman kerjasama) kesadaran dari evolusi kita
sendiri”.
Bagi
Aurobindo, bagaimanapun juga bukanlah
kekuatan manusia yang akan membawakan transformasi, tetapi kesadaran yang makin
bertambah yang pasrah kepada Kekuatan Ilahi. Keterbatasan dari pikiran manusia,
sifat vital dan fisiknya adalah terlalu besar. Sehubungan dengan tubuh
fisik, Aurobindo berkata, “Dalam tradisi
spiritual tubuh telah dipandang sebagai sebuah sandungan, yang tak mampu untuk
menspiritualkan atau menstranmutasi, sebagai beban berat yang membebani jiwa
dan mencegah kenaikannya baik untuk pemenuhan spiritual ke dalam yang Maha
Tinggi atau peleburan dari makhluk individu ke yang Maha Tinggi. Tetapi
sementara konsepsi mengenai peranan dari tubuh dalam tujuan kita dipandang
cukup cocok untuk sebuah sadhana (disiplin spiritual) yang memandang
materi/bumi hanya sebagai bidang ketidaktahuan atau kebodohan dan kehidupan di
bumi sebagai persiapan untuk pengunduran diri yang aman… maka hal ini tidaklah
cukup bagi sebuah sadhana yang menganggap bahwa suatu kehidupan Ilahiah di atas
bumi dan pembebasan yang sifatnya dari bumi sebagai bagian dari tujuan total
akan perwujudan roh di atas bumi”.
Bila total transformasi dari makhluk adalah
tujuan kita, maka sebuah trnsformasi dari tubuh haruslah merupakan bagian
yang sangat dibutuhkan dan harus ada, tanpa hal itu maka tak mungkin kehidupan
Ilahiah terjadi sempurna di atas bumi.
Materi
yang tersupramentliskan (supramentallized
matter) akan merespon terhadap kehendak kesadaran dan dengan demikian
memanifestasikan kualitas dari spirit atau roh, immortalitas (keabadian),
kepatuhan, kepuasan, kelegaan, keindahan, kilau dan kebahagian surgawi. Akan
terjadi juga perubahan-perubahan fisiologi yang signifikan atau berarti, “Trasformasi menunjukkan bahwa semua susunan
materi yang murni akan digantikan oleh konsentrasi atau pemadatan dari kekuatan
energi yang masing-masing mempunyai model vibrasi yang berbeda; sebagai ganti
organ-organ yang digerakkan oleh niatan kesadaran. Tak ada perut, lambung, tak
ada jantung lagi, tak ada aliran, tak ada paru-paru semuanya menghilang dan
memberikan tempatnya kepada sebuah permainan getaran atau vibrasi yang
mempresentasikan secara simbolis peranan dari organ-organ tubuh”. Tubuh
akan terbentuk oleh “energi yang
terkonsentrasikan atau dipadatkan yang akan mematuhi kehendak”, tidak
seperti makhluk roh atau jiwa yang kecil yang membawa onggokan daging tubuh
manusia.
“Perubahan dalam kesadaran akan merupakan
faktor utama, gerakan awal, modifikasi fisikal akan menjadi faktor yang lebih
rendah, sebuah akibat”.
Aurobindo
bukanlah sekedar ahli berteori atau penulis fiksi ilmiah. Ia menulis dengan
dasar pengalamannya dan pengalaman-pengalamannya berdasarkan “transformasi”,
melewati tiga tahapan:
Pertama, Tahap Pencerahan di
tahun 1920-1926, dimana banyak kekuatan-kekuatan dan fenomena-fenomena yang
ajaib, mukjizat dengan kekuatan Kesadaran Supramental yang dialaminya pertama
kali di tahun 1910.
Kedua, Tahap Pengasingan
Diri, hidup dalam seklusi atau retret. Pada tahapan dimana Aurobindo dan murid
utamanya, Bunda, Mirra Richard, telah bereksperimen dengan pengetesan atas
tubuhnya sendiri. Efek-efek dari banyak eksperimen, bekerja pada level sub-conscient dan in-conscient dari tahun 1926-1940.
Ketiga, Mengenai bidang
usaha-usahanya melingkupi seluruh kemanusiaan dan dunia dari tahun 1940 sampai
sekarang.
Pada
menjelang akhir tahapan pertama, pada tanggal 24 Nopember 1926, ia tiba-tiba
mengakhiri manifestasi dari mukjizat-mukjizat dan kekuatan-kekuatan dan
mengumumkan peristirahatannya ke kehidupan menyendiri. Ashramnya secara resmi
didirikan di bawah pimpinan Bunda. Pada waktu itu ia mendeklarasikan, “Saya tak berniat untuk memberikan
persetujuan pada edisi baru yang gagal total di masa lalu, suatu pembukaan
spiritual sebagian dan cepat berlalu, dimana tak ada perubahan yang radikal dan
benar dalam hukum mengenai sifat-sifat eksternal”.
Dari
tahun 1926 sampai 1940 ia dan Bunda bereksperimen dengan berpuasa, tidur,
disiplin dalam hal makanan, hukum-hukum alam dan kebiasaan-kebiasaan, mengetes
tubuh mereka sendiri pada tahap sellular
atau sel-sel, dan sub-conscient atau
bawah sadar. Sepertinya dia berlomba dengan waktu, tidak seperti apa yang para
Siddha jelaskan yaitu dengan menggunakan ramuan kaya kalpa untuk memperpanjang kehidupan sehingga cukup panjang
untuk kekuatan-kekuatan spiritual yang lebih halus masuk dalam menyempurnakan
proses menuju ke Ketuhanan.
“Secara fundamental”, kata
Bunda, “Pertanyaannya adalah untuk
mengetahui dalam perlombaan menuju transformasi, siapa dari yang kedua hal itu yang
akan mencapai pertama-tama, satu yang ingin mentransformasikan tubuh dalam
image dari kebenaran Ilahian atau kebiasaan lama dari dalam tubuh yang secara
perlahan-lahan mengalami pembusukan”.
Pekerjaan
kemudian berlangsung ke level dari apayang disebutkan oleh Aurobindo sebagai “ ‘pikiran dalam tingkatan sel-sel’ (The cellular mind)…pikiran
tersembunyi dari tubuh, dari sel-sel, molekul dan sel darah merah dan putih… pikiran
tubuh ini adalah sebuah kebenaran yang sungguh nyata dan berwujud, karena
ketidakjelasannya dan kemelekatan mekanisnya kepada gerakan-gerakan masa
lampau, dan keterlupaan tanpa mutu dan penolakan dari yang baru, kami menemukan
di dalamnya satu dari halangan-halangan utama bagi pembebasan dari Kekuatan
Supermind dan transformasi dari berfungsinya tubuh. Sebaliknya, sekali diubah
secara efektif ia akan menjadi satu dari instrumen-instrumen yang sangat
bernilai bagi stabilisasi dari Cahaya dan Kekuatan Supramental Sifat Alam
Materi”.
Untuk
mempersiapkan sel-sel, keheningan mental, kedamaian vital, kesadaran kosmis
adalah syarat pendahuluan bagi dimungkinkannya kesadaran fisikal dan cellular
(hingga bagian terkecil atau terhalus dari fisik) untuk berkembang besar dan
meng-universalkan dirinya sendiri. Tetapi kemudian akan menjadi
jelas bahwa “Tubuh ada dimana-mana” dan itu takkan dapat mengubah apapun tanpa
mentransformasikan segala sesuatu.
“Saya telah menggali dalam dan lama
ditengah rasa nyeri serta kengerian kotoran dan rawa lumpur. Sebuah tempat
tidur untuk nyanyian Sungai emas, sebuah rumah untuk api yang tak dapat mati.
Luka-lukaku manganga lebar, seribu-satu jenis luka…”
Aurobindo
dan Bunda menemukan bahwa tranformasi sempurna, lengkap tak mungkin bagi
individu bila tidak ada transformasi minimum atas semua orang. “Untuk membantu masyarakat manusia keluar…”
Aurobindo berpendapat, “Tidak cukup bagi
seseorang individu, betapapun besarnya dia, karena untuk mencapai pemecahan
terakhir secara individual, karena bahkan bila Cahaya indah turun ia tak dapat
datang untuk tinggal, sampai wilayah yang lebih rendah itu juga dipersiapkan
guna menanggung tekanan dari penurunan itu”.
“Bila
seseorang ingin melakukan transformasi” kata Bunda, “Secara absolut tidak
mungkin untuk melakukannya secara total, karena setiap makhluk fisik betapapun
sempurnanya dia, bahkan kalaulah terdiri dari spesies yang kesemuanya superior,
terbuat dari karya yang serta merta spesial, tetap saja tak akan pernah
sempurna karena terbatas dan parsial”.
Fase Ketiga
Dengan
pencerahan, kesadaran atau realization
ini periode dari pekerjaan individu berakhir tahun 1940. Sri Aurobindo dan Bunda
mulai dengan fase ketiga dari pekerjaan transformasi mereka. Selama fase ini
orientasinya adalah menuju ke transformasi global.
“Ashram ini telah diciptakan…bukan untuk
kehidupan dalam penyangkalan yang duniawi tetapi sebagai pusat dan sebuah lahan
untuk evolusi, suatu bentuk kehidupan yang lain”.
Diorganisasikan dan terbuka bagi semua tipe dari aktivitas yang sifatnya
kreatif, juga bagi semua tipe individu, laki-laki, wanita dan anak-anak dari
semua kelas sosial. Aktivitas di dunia adalah alat atau cara yang utama, “Kehidupan spiritual menemukan ekspresinya
yang paling potensial dalam diri seseorang
yang hidup sebagai oang biasa dalam kekuatan yoga… dengan union atau
penyatuan dari kehidupan batin dan kehidupan sehari-hari masyarakat kemanusiaan
pada akhirnya akan terangkat ke atas untuk menjadi perkasa dan Ilahiah”.
“Masing-masing dari Anda”, kata
Bunda, “Mewakili satu dari
kesulitan-kesulitan yang harus diatasi untuk terwujudnya transformasi. Dan ini
menimbulkan banyak rintangan! Bahkan lebih dari sebuah kesulitan, saya percaya
bahwa saya telah mengatakannya kepadamu, sebelum setiap orang mempresentasikan
suatu ketidak-mungkinan untuk dipecahkan; dan bila semua ketidak-mungkinan ini
dipecahkan, pekerjaan akan diselesaikan”… dan “kamu tak lagi melakukan yogamu hanya untuk dirimu sendiri saja, tapi
kamu melakukannya untuk setiap orang, tanpa harus menginginkannya, secara
otomatis…”.
“Terimalah
hidup, ia (pencari atau seeker dari integral
yoga) tak hanya harus menanggung bebannya sendiri, tetapi juga sebagian
besar dari beban dunia akan mengikuti sebagai suatu penerusan dari beban yang
sudah cukup berat baginya. Oleh sebab itu, yoganya mempunyai lebih banyak ciri
sebagai sebuah pertempuran; tetapi ini bukan hanya sebuah pertempuran pribadi,
ini adalah perang kolektif yang ditunjukan kepada sebuah negara terpandang. Ia
tidak hanya harus mengatasi kekuatan-kekuatan ego kepalsuan dan kekacauan,
tetapi untuk mengatasinya sebagai representasi dari kekuatan sama yang
berlawanan dan tak pernah kenal lelah di dunia ini. Karakternya secara
representatif memberikan kapasitas resistensi yang keras kepala, sesuatu yang
hampir selalu terjadi berulang kali. Seseorang sering kali mendapatkan bahkan
setelah ia memenangkan pertempuran pribadinya dengan gigih, ia masih harus memenangkannya
lagi dan sekali lagi, sesuatu yang kelihatannya seperti perang yang tak
berkesudahan, karena eksistensi, keberadaan jatidiri atau batinnya sudah
sedemikian membesarnya sehingga tak hanya berisi jatidiri keberadaannya dengan
kebutuhan dan pengalaman yang jelas tetapi juga dalam semangat solidaritas
dengan keberadaan makhluk lainnya, karena di dalam dia jugalah jagad raya
terkandung”.
Fase
ketiga tumbuh dari suatu dilema yang di coba oleh Sri Aurobindo dan Bunda untuk
akhir dari fase kedua. Menghadapi resistensi kolektif dari sub-conscient dan in-conscient,
mereka bertanya apakah mereka harus mengerjaka transformasi diri secara
individual dengan mengisolasi diri dari orang-orang lain, lalu kembali lagi
untuk menolong umat manusia sebagai pemimpin yang evolusioner. Mereka
memutuskan untuk berlawanan dengan strategi ini karena bagi Aurobindo, itu akan
menghasilkan sebuah “jurang pemisah” diantara mereka dan para sahabat manusia
lain.
Aurobindo
juga mengekspresikan sebuah pandangan yang nampaknya bermuatan konflik, “Ada kemungkinan bahwa sekali dimulai, usaha
Supramental boleh jadi takkan maju dengan cepat, bahkan pada tahap pertama yang
menentukan mungkin diperlukan usaha dalam waktu berabad-abad yang panjang untuk
mencapai tahapan, semacam kelahiran yang permanen. Tetapi itu bukanlah sama
sekali tak dapat dihindarkan, karena prinsip dari perubahan-perubahan itu
secara alamiah nampaknya merupakan sebuah persiapan yang panjang tersembunyi,
samar-samar, yang diikuti oleh sebuah perkumpulan yang begitu cekatan dan
tiba-tiba dan curahan atau pengendapan dari elemen-elemen baru kepada kelahiran
baru; sebuah perubahan yang cepat, sebuah transformasi yang dalam kilauan
waktunya nampak sebagai suatu mukjizat. Bahkan bila seandainya perubahan yang
menentukan pertama-tama dicapai, pastilah bahwa seluruh masyarakat manusia sudah
tak mampu untuk naik ke level itu. Pasti akan terjadi sebuah pemisahan, yaitu
mereka yang dapat hidup di level spiritual dan mereka yang hanya dapat hidup
dalam curahan cahaya yang turun masuk ke level mental dan juga di bawah ini
semua, akan ada kumpulan orang-orang yang mendapat pengaruh dari atas tetapi
belum siap bagi Cahaya yang datang. Tetapi bahkan itupun adalah sebuah
transformasi dan era permulaan jauh di luar jangkauan yang sampai kini belum
pernah dicapai”.
Apakah
ada perbedaan yang berarti antara pemisahan yang tak terhindarkan itu? Kalau
tidak maka ini bukanlah alasan mengapa Sri Aurobindo dan Bunda tak membawakan
“supramental” itu turun masuk ke dalam tubuh mereka sendiri dan mematoknya
disana. Lebih jauh lagi, bukankah tak mungkin bahwa pencapaian dari “Anak emas”
oleh ke 18 Siddha, oleh Swami Ramalinga dan juga oleh tokoh Taoist dari Cina
“Ta Lo Chin Hsien” (Golden immortals
- Dewa-dewa yang telah mencapai keabadian keemasan) adalah fase permulaan dari
kumpulan transformasi panjang dari seluruh masyarakat manusia?
Dalam sebuah
usaha untuk mencoba mencari solusi atas isu-isu ini, pengarang buku ini mengunjungi Pondicherry dan Vadalur
tatkala buku ini mendekati penyelesaian. Ia ingat kembali akan sebuah kutipan
yang dilihat beberapa tahun yang lampau dimana Bunda dan atau Aurobindo
sebenarnya berkata, “Apa yang mereka coba
untuk digapai telah dicapai oleh Swami Ramalinga paling tidak mendekati 100
tahun yang lalu”. Pada kunjungan-kunjungan lebih awal ke Ashram Aurobindodi
bulan September 1972 dan maret 1973, pengarang buku ini telah mencoba untuk
bertemu dengan Bunda untuk menghantarkan buku mengenai 18 Siddha dan untuk
mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan tentang adanya hubungan antara
transformasi supramental oleh Aurobindo dengan ke 18 Siddha. Bunda pada waktu
itu berada dalam pengasingan diri, sehingga pertanyaan-pertanyaan itu tetap
mengantung.
Pengarang
tak tahu bahwa pertanyaan yang serupa telah diajukan oleh T.R Thulsiram,
penghuni Ashram Aurobindo sejak 1969, yang menjabat sebagai auditor publik dan
akuntan selama bertahun-tahun. Pada tanggal 4 dan 5 Juli 1990, pengarang
bertemu T.R Thulsiram di Pondicherry dan mengetahui bahwa ia telah menerbitkan dua
jilid buku yaitu “Arut Perum Jothi”
dan “Deathless Body” pada tahun 1980,
yang mendokumentasikan pertukaran pikirannya dengan Bunda dalam subjek mengenai
Ramalinga, juga apa yang telah ditulis oleh Aurobindo mengenai Ramalinga.
Dalam
studinya yang melelahkan, Thulasiram mengamati, “Sri Aurobindo tiba pada kepercayaan pada bagian hidupnya yang kemudian
beberapa praktisi yoga atau Yogi telah mencapai transformasi Supramental
sebagai Siddhi perseorangan yang diolah melalui Siddhi-Yoga dan bukan sebagai
dharma dari alam”.
Pada
tanggal 11 Juli 1970 Bunda membaca surat dari Thulsiram yang dikirimkan melalui
Satprem, sekretaris Bunda. Sebagai lampiran kepada surat Thulsiram adalah
petikan dari tulisan-tulisan Ramalinga dimana ia menguraikan transformasi dari tubuh fisik menjadi tubuh
cahaya. Menurut Satprem, Ia (Bunda) tak ragu-ragu atas keaslian dari
pengalaman-pengalamannya. Ia menyukai apa yang disebut Ramalinga mengenai “Cahaya Berkat” (The Grace Light) dan mengatakan bahwa itu cocok dengan
pengalaman-pengalaman Bunda sendiri. Untuk lebih tepat lagi, Bunda mengatakan
bahwa “Grace Light” bukanlah “Supramental
Light” tetapi merupakan aspek darinya atau lebih tepat adalah suatu aktivitas
dari Supramental. Ia mengatakan nampaknya sejumlah individu, baik yang terkenal
maupun tidak, pada kenyataannya
benar-benar telah mempunyai pengalaman-pengalaman yang serupa selama
berabad-abad dan juga sekarang. Perbedaannya dengan sekarang adalah tidak lagi
sebagai kemungkinan individu, tetapi sebagai kemungkinan kolektif dan ini
adalah persis dengan apa yang dikerjakan oleh Sri Aurobindo dan Bunda, untuk
mendirikan sebuah fakta adanya kesadaran di atas bumi dan kemungkinan bagi
semua orang.
Thulsiram
tak berhasil mendapatkan lebih jauh lagi klarifikasinya dari Bunda mengenai
pertanyaan-pertanyaan dalam suratnya. Ia juga telah menulis bahwa, “Satprem salah mengartikan dematerialisasi
dari Ramalinga sebagai kematian dan dengan salah melaporkan kepada Bunda
tentang kematian ini”. Dan Bunda pada November 1973 pergi meninggalkan
dunia fana ini sebelum pertanyaan-pertanyaan itu dijawab. Bagaimanapun juga,
studi yang dilakukan oleh Thulsiram sangat menarik dan terlalu banyak untuk
dicantumkan disini dan memberikan banyak bukti-bukti meyakinkan bahwa
pengalaman transformasi dari Thulsiram, Ramalinga, Aurobindo dan Bunda, pada dasarnya adalah sama. Warna keemasan
(Golden hue) yang dimanifestasikan
tatkala Aurobindo meninggalkan tubuhnya adalah sama dengan “Tubuh keemasa” (Golden body) dari imortalitas yang
ditunjukkan oleh Ramalinga dan 18 Siddha.
Meninggalkan Dunia Fana.
Mendekati
akhir tahun 1950, Sri Aurobindo mulai menunjukan gejala Uraemia, suatu penyakit
darah yang telah terjadi berulang-ulang selama beberapa tahun. Kontras dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya, bagaimanapun juga ia mengindikasikan bahwa dia
tak akan menggerakkan kekuatan yoganya untuk menyembuhkan penyakitnya.
Waktu ditanya
mengapa, “Tak dapat kujelaskan, emgkau
takkan mengerti”, Aurobindo menjawab. Pada tanggal 4 Desember, gejala itu
hilang sama sekali, tetapi pada waktu larut malam itu, jelas bahwa dia “menarik
dirinya” dengan sengaja. Pada pukul 1:26 pagi 5 Desember 1950 dengan ditemani
oleh Bunda dan beberapa murid, ia mencapai Maha
Samadhi (roh keluar secara sadar dari tubuh fisik).
Meskipun
pertama-tama diumumkan bahwa ia akan dikubur pada tanggal 5 Desember,
diputuskan untuk menunda sampai tubuhnya menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Ada
spekulasi mungkin dia akan kembali, karena tubuhnya nampak seperti masih hidup.
Tubuh
itu berubah menjadi berkilau “Diselimuti oleh warna biru keemasan yang berkilau
di sekitar tubuhnya” Bunda menerangkan. Banyak orang lain juga
meninggalkan catatan bahwa mereka telah menyaksikan kilauan keemasan di sekitar
tubuhnya. Selama lebih dari empat hari
tubuh itu dibiarkan tak terjamah dengan warna keemasan yang tetap ada. Pada tanggal
8 Desember, Bunda meminta Sri Aurobindo dalam “pertemuan okult” mereka untuk
sadar kembali, kembali ke kehidupan tetapi ia menjawab, “Saya telah
meninggalkan tubuh ini dengan sengaja, saya takkan mengambilnya kembali. Saya akan
bermanifestasi lagi dalam tubuh Supramental yang pertama yang dibentuk dengan
metode Supramental”.….”Kekurangan penerimaan dari bumi dan manusia”, kata Bunda
pada tanggal 8 Desember, “Mungkin adalah penyebab keputusan yang diambil oleh
Sri Aurobindo mengenai tubuhnya”. Pada tanggal 9 Desember di pagi hari, setelah
lebih dari 100 hari, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda pertama pembusukkan
dan disemayamkan di halaman Ashram.
Tulisan Sri Aurobindo terus memberikan kita
sebuah vision, sebuah pandangan ke depan mengenai evolusi kolektif kita dan
indikator yang penting untuk setiap individu mengenai bagaimana mendatangkan
Transformasi Ilahiah (Divine Transformatioan) seperti yang kita ketahui. Orientasi
Sri Aurobinso kepada “dunia” dan keeratan pengalamannya dengan para Siddha
dapat menyumbangkan kepada kita pedoman yang berharga dan praktis.
(Sumber:
1. Buku “Babaji dan Tradisi 18 Siddha Kriya Yoga”
Jilid 2, karya M. Govindan, M.A. hal 92-137
2.
Gambar Sri Aurobindo,
https://id.pinterest.com/pin/307792955786851984/
3. Gambar buku di bawah:
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/buku-lainnya/7n2ai7-jual-babaji-jilid-2-dan-tradisi-18-siddha-kriya-yoga-m-govindan-m-a)