Selokan air kotor di depan rumah anda, air kali dan sungai yang kadang
jernih dan kadang keruh – semuanya sedang menuju laut. Es Dhammo
Sanantano – demikianlah Kebenaran itu
adanya. Demikianlah Dharma, demikianlah Hukum Alam yang langgeng dan abadi. Demikian
pula yang dikatakan oleh para bijak.
Tetapi, sesungguhnya kebenaran tadi masih belum utuh – masih separuh.
Seorang Buddha – dan jika saya menggunakan istilah Buddha maksud saya adalah
setiap orang yang telah memperoleh pencerahan – berupaya melihat sisi lain
kebenaran. Ia ingin melihat kebenaran seutuhnya.
Dan sisi lain kebenaran yang mereka lihat, sungguh menakjubkan! Air
laut menguap dan menjadi awan. Lalu awan berubah menjadi air hujan. Kemudian turunlah
air hujan untuk mengisi semua mata air yang ada dan bahkan mengalir kembali
lewat selokan air kotor di depan rumah anda…..
Sederhana banget! Dan seorang Buddha akan manggut-manggut. Ah,
demikianlah kebenaran itu adanya, Es Dhammo Sanantano!
Air keruh menjadi jernih, lalu air jernih menjadi keruh kembali. Lalu
jernih kembali, lalu keruh kembali…. Ya, sudah ah – ngapain gue pikirin! Kesadaran
baru ini melegakan dirinya. Tidak ada beban lagi. Dan ia merasakan begitu
ringan. Ia mulai menari dan menyanyi, “Ketahuilah, semuanya ini permainan gila –
tak berarti. Tasmaat Jagrutah, Jagrutaah –
oleh karena itu, bangkitlah, sadarlah!”. Dan seorang Buddha tertawa
terbahak-bahak.
***
Dibekali dengan
kesadaran baru tersebut, seorang Buddha mulai merayakan kehidupan. Sesungguhnya,
hanya seorang Buddha yang bisa merayakan kehidupan. Dialah seorang “Selebiti
Sejati”….
Yang bisa
membuat anda menjadi seorang “selebriti” hanyalah kesadaran. Kesadaran yang
muncul dari dalam diri sendiri. Kesadaran bahwa anda tidak membutuhkan “pemicu
dari luar” untuk merayakan kehidupan.
Seorang selebriti
sejati merayakan kehidupan setiap saat dan dalam keadaan apa pun juga. Hanya kesadaranlah
yang bisa menghasilkan perayaan. Tanpa kesadaran, tidak ada perayaan.
Seorang Buddha
bisa merayakan hidup setiap saat dan dalam setiap keadaan, karena ia sadar
bahwa sesungguhnya kekeruhan dan kejernihan bukanlah dua hal yang berbeda. Air yang
keruh akan menjadi jernih dan yang jernih akan menjadi keruh untuk menjadi
jernih kembali. Berada di tengah kekeruhan – bahkan dalam kekeruhan – ia tidak
akan mengeluh, tidak akan menderita, karena ia sadar bahwa kekeruhan itu hanya
bersifat sementara. Begitu pula ketika berada di tengah kejernihan, di dalam
kebersihan ia tidak akan menjadi senang, lalu angkuh sampai lupa daratan,
karena ia sadar bahwa kejernihan dan kebersihan pun bersifat sementara.
Tahap pertama
kesadaran Buddha, relatif mudah untuk dicapai – bahwasanya air selokan yang
keruh akan menyatu dengan air laut yang bersih. Kesalahan yang terjadi selama
ini yaitu bahwa kita berhenti pada tahap awal, kita lupa mengambil langkah
berikutnya. Apa lagi?
Siddhartha Gautama
pernah menemukan jawabannya. Lewat meditasi, lewat perenungan ia menemukan
jawabannya. Ia tidak tertipu lagi oleh kekeruhan air selokan dan kejernihan air
lautan. Ia menemukan – dan penemuan dia sungguh hebat – bahwa sebenarnya air
keruh dalam selokan tidak pernah berpisah dari air jernih dalam lautan. Dan air
jernih dalam lautan juga tidak pernah berpisah dari air keruh dalam selokan. Ada
sutra – ada benang yang mengikat
setiap intan pengalaman. Selokan di depan rumah anda, sebenarnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari lautan luas yang mungkin ribuan kilometer jauhnya
dari rumah anda. Kemudian, lewat uap yang tak terlihat, lautan pun sesungguhnya
merupakan bagian tak terpisahkan dari awan di atas langit sana. Dan lewat air
hujan, awan pun tidak pernah berpisah dari air dalam selokan di depan rumah
anda.
Siddhartha Gautama
tidak hanya melihat adanya hubungan setengah lingkaran antara air dalam selokan
dan air dalam lautan, tetapi juga hubungan sisa lingkaran antara air dalam
lautan dan awan, serta antara awan dan air
dalam selokan.
Dalam kesadaran
ini, “yang bersih” tidak dapat dipisahkan dari “yang kotor”. “kebenaran” tidak
tidak dapat dipisahkan dari “kepalsuan”. “Kebajikan” tidak dapat dipisahkan
dari “Kebatilan”. Kesadaran inilah yang disebut Pencerahan Purna. Di mana,
segala macam dualitas terlampaui sudah.
Pencerahan Siddhartha
Gautama dapat disebut Pencerahan Purna – Lingkaran yang Sampurna. Berada dalam
kesadaran dan pencerahan sampurna tersebut, Siddhartha Gautama, Sang Buddha,
berbagi rasa dengan salah seorang muridnya, yaitu Sariputra.
Wejangan saat
itu adalah yang terpendek, tetapi kelak akan dianggap Inti sari Ajaran Sang
Buddha dan disebut Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra. Terjemahan-terjemahan dalam
bahasa Inggris menyingkatnya menjadi The Heart Sutra. Istilah Hridaya memang dapat diartikan sebagai heart. Itulah makna tersurat. Yang tersirat
adalah the essence atau “inti”. Dan sutra
berarti “benang”. Inilah benang merah segala kebajikan. Tidak ada yang lebih
dalam lagi. Tidak ada yang lebih tinggi lagi. Inilah intinya. Jadi Hridaya Sutra atau “Sutra Inti” ini
merupakan intisari ajaran Siddhartha Gautama.
Pragyaa-Paaramitaa berarti “Suatu keadaan di mana
segala-galanya telah terlampaui”. Suatu keadaan,
di mana segala macam pengalaman sudah dilewati. Kata-kata ini sungguh sarat
dengan makna. Di dalamnya terkandung begitu banyak makna.
Pra berarti yang tertinggi dan gyaa
dari kata gyaan (biasanya ditulis jnana, dan oleh karena itu pragyaa juga ditulis prajna – a.k.) berarti pengetahuan –
pengetahuan yang tertinggi. Lalu pengetahuan apa pula yang dimaksudkan? Tidak sebatas
pengetahuan yang dapat anda peroleh lewat buku. Tidak pula sebatas pengalaman
yang dapat anda peroleh lewat kontemplasi dan meditasi. Bahkan tidak juga
sebatas pencerahan. Pragyaa berarti
ketiga-tiganya, kendati tidak sebatas itu.
Jadi Pragyaa dapat diartikan sebagai “pengetahuan
tertinggi yang dapat diperoleh lewat pengalaman pribadi”. Bagi saya Pragyaa berarti meditasi. Pragyaa berarti kesadaran dan
pencerahan. Pragyaa berarti segala
sesuatu yang dapat dialami. Pragyaa berarti
the ultimate experience – pengalaman terakhir!
Kemudian Paramitaa berarti “melampaui” – melewati
segala macam pengalaman, baik maupun buruk, kebajikan maupun kebatilan. Semuanya
harus dilewati, dilampaui.
Wejangan Sang
Buddha yang satu ini merupakan undangan bagi anda. Undangan untuk meniti jalan
lebih dalam lagi. Lebih dalam ke dalam
diri! Untuk menemukan hridaya – inti
segala pengalaman dan melampauinya. Dalam bahasa Islam: sirr un sirr – lebih dalam dari yang terdalam.
Apakah anda
sudah mulai meniti jalan ke dalam diri? Jika belum, anda harus mulai dulu. Buku ini bukan untuk para pemula. Bagi para pemula, silakan melewati
tahap-tahap Seni Memberdaya Diri 1, 2, 3, Zen dan lain-lainnya.
Jika anda
sudah mulai meniti jalan ke dalam diri, sutra
ini akan menjadi pelita dalam perjalanan anda selanjutnya. Bagaikan seorang
sahabat yang setia, sutra ini akan
selalu mendampingi anda, akan menerangi perjalanan anda.
Sutra ini memiliki kemampuan yang luar biasa, sungguh dahsyat. Dalam sekejap,
sutra ini mampu menjadikan anda
seorang Selebriti Sejati – seorang Buddha. Dan jika saya menggunakan kata “menjadikan”,
mungkin itu pun keliru. Sutra ini
akan menyadarkan anda kembali bahwa sesungguhnya anda berada disini untuk
merayakan kehidupan. Bahwa selama ini anda lupa merayakan kehidupan. Dan bahwasanya
penundaan perayaan tersebut disebabkan oleh ketidaksadaran anda sendiri.
Sadarlah dan
jadilah seorang selebriti sejati. Buddha yang ada dalam diri anda, sedang
mengundang anda, merayu anda, menggoda anda untuk merayakan kehidupan –
sekarang dan saat ini juga!
(Sumber:
Buku “Ah! Mereguk Keindahan Tak Terkatakan – Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra
Bagi Orang Modern”, karya Anand Krishna, hal 1-12, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama Jakarta 2000)