Guru semestinyalah
seorang yang
memahami
makna kitab-kitab suci,
tanpa
cacat-cela
dan
benar-benar memahami Tuhan.
Ia mesti
penuh kedamaian di dalam Tuhan,
tenteram
bak api yang telah kehabisan bahan-bakarnya.
Ia
semestinya adalah
samudera
welas-asih yang tanpa-batas
dan
sahabat dari mereka
yang
butuh perlindungan.
~ Adi Sankara; Vivekachudamani- 33.
1. Pembukaan
“These are not my words; they are the words of
the Master who taught me. Without Him I could have done nothing; but through
His help I have set my feet upon the Path. You also desire to enter the same
Path, so the words which He spoke to me will help you also, if you will obey
them. It is not enough to say that they are true and beautiful; a man who
wishes to succeed must do exactly what is said. To look at food and say that it
is good will not satisfy a starving man; he must put forth his hand and eat.
So, to hear the Master's words is not enough; you must do what He says,
attending to every word, taking every hint. If a hint is not taken, if a word
is missed, it is lost for ever; for He does not speak twice”.[1]
Ini
sungguh menarik. Sebuah paragraf yang relatif singkat ini merupakan keseluruhan
dari bagian Pendahuluan buklet “At the Feet of the Master” —yang disebut
sebagai karya pertama dari Alcyone (‘penname’
bagi Jiddu Krishnamurti). Ia menarik karena daripadanya kita bisa menyaksikan
bagaimana seorang JK mengawali ‘kariernya’ lewat —apa yang juga disebut dengan—
Gurubhakti-yoga. Di dalamnya kita bisa melihat kerendahan-hati seorang
siswa-spiritual (sishya), yang layak dijadikan contoh oleh
siswa-spiritual manapun.
Daripadanya,
kita juga bisa memperoleh pembelajaran betapa guna ‘merasakan’ suatu ajaran
spiritual kita mesti ‘melakoninya’, menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Ini beliau katakan dengan tegas: “......to hear the Master’s words
is not enough; you must do what He says, attending to every word,
taking every hint.”
Bagaimana
selengkapnya isi dari buklet yang ‘menghebohkan’ ini, yang pernah dicetak-ulang
dan disebarkan secara luas oleh dua orang ‘pengagum’ JK yang sempat menjadi dua
orang presiden di sebuah negara di kawasan Amerika Latin itu?[2]
Akan
kita simak nanti. Bahan-bahan telah terkumpul; disamping buklet kecil
terjemahan dari cikal-bakal Yayasan Krishnamurti Indonesia, semasih bertempat
di Malang – Jawa Timur, sudah terkumpul pula bahan-bahan yang antara lain
diperoleh dari situsweb www.katinkahesselink.net dan www.kinfonet.org,
disamping beberapa bahan yang tak kalah pentingnya dari beberapa mailing-list
di internet.
Semoga
Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.
Bali,
Rabu, 17 Januari 2007.
2. Kelahiran seorang J. Krishnamurti
Bagi seorang
siswa-spiritual (sishya) Gurunya adalah Sang Gurudeva, wakil Buddha,
wakil Siva, wakil Tuhan sendiri di dunia, Sang Guru Sejati, Guru Svadhyaya. Oleh karenanya, tak akan
pernah ada keragu-raguan sedikitpun lagi akan ajaran Sang Guru. Baginya, itulah
Keberanaran. Sang Kebenaran Sejati membabarkan Kebenaran kepadanya melalui Sang Guru.
Dan ini terlihat jelas
dalam ungkapan JK: “These are not my words; they are the words
of the Master who taught me. Without Him I could have done nothing; but through
His help I have set my feet upon the Path.” Dalam bagian Pendahuluan
dari buklet “At the Feet of the Master”-nya itu. Memahami fakta ini, kita akan
memahami kalau kemudian JK ‘tidak mengakui’ kalau buklet itu sebagai karyanya
misalnya. Ia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa apa yang tertuang di dalamnya
sebagai “bukan kata-katanya” melainkan “kata-kata Sang Guru ...”.
Sesungguhnya, buklet yang
dipersiapkannya [Alcyone] sebagai prasyarat diksha inilah yang kemudian ‘melahirkan
seorang JK’. Inilah yang menandai kelahiran seorang JK yang dikenal
dunia hingga kini. Oleh karenanyalah, untuk memahami seorang JK secara lebih
utuh, tak bisa hanya dari apa-apa
yang beliau katakan atau tulis sesudahnya, dan mengabaikan begitu saja buklet
ini. Akan sangat tidak lengkap dan rapuh, bak pohon yang tanpa akar.
Sebagai seorang sishya,
seorang siswa-spiritual sejati, beliau sedemikian yakinnya kalau untuk bisa
berhasil di dalam berguru spiritual seorang siswa harus “do what He says,
attending to every word, taking every hint”, sebab bila seorang siswa tidak
melakoni petunjuk-petunjuk Gurunya, bila ia mengabaikan begitu saja kata-kata
Guru, semua itu akan hilang selamanya; Sang Guru tidak menyampaikan hal yang
sama dua kali.
Sishya-lah yang menerima seorang Guru. Bukan sebaliknya. Dan
ketika seorang sishya telah menerima seseorang sebagai Gurunya, maka
apapun yang beliau ucapkan pun tak beliau ucapkan, apapun yang beliau lakukan
pun yang tak beliau lakukan, adalah ajaran itu, jalan kesujatian
itu adanya.
Bali, Jumat, 26 Januari
2007.
3. Rumor
dan Fakta Historis
3.1. Rumor dan Fakta Historis seputar buklet
“At the feet of the Master”.
“Saya sendiri amat sangat berminat untuk mengetahui
kehalusan tersembunyi dari proses pelik
penulisan buklet
“At the feet of the Master” itu”
Ada tiga kitab Theosofi Klasik yang
termasyur: “At The Feet of the Master” oleh Alcyone atau JK, “Light on the
Path” oleh Mabel Collins dan “The Voice of the Silence” oleh H.P. Blavatsky,
pendiri dari Masyarakat Theosofi ini.
“Light on the Path”-lah yang pertama
dipublikasikan. Ia dilaporkan sebagai hasil dari pengelihatan spiritual. “The
Voice of the Silence” sebetulnya merupakan terjemahan dari sebuah ‘kitab
rahasia’ yang diterjemahkan oleh H.P. Blavatsky pada tahun-tahun akhir sebelum
beliau wafat. Dan, seperti kita ketahui, “At the Feet of the Master”
didedikasikan sebagai karya Krishnaji ketika beliau masih sangat belia.
Belakangan, beliau bahkan tak pernah mengklaim sebagai penulisnya. Konon,
ketiga buku ini memberi santapan rokhani lebih dari cukup kepada para siswa di
jalan Theosofi ini.
Memang benar kalau berkembang sejenis rumor
seputar buklet “At the Feet of the Master”, yang mengatakan kalau buku kecil
itu ditulis oleh C.W. Leadbeater. Namun mengingat beberapa bukti historisnya
serta buklet itu sendiri, tak ada alasan yang mendukukung rumor itu. Memang
boleh jadi kalau beberapa kalimat di dalam buklet itu bersesuaian dengan
sementara tulisan Leadbeater, namun bukanlah suatu misteri kalau JK sendiri
belajar bahasa Inggris —antara lain— dari Leadbeater. Walaupun, menurut
kesaksian Ernest Wood, Leadbeater memang tidak menganggap arif untuk
memproklamirkan Krishnamurti sebagai Guru Dunia di usianya yang
sedemikian muda.
Ada bukti tambahan, dimana
faktanya Krishnamurti ingat kalau
beliau menulis ‘sesuatu’ —walaupun tidak ingat betul— ketika bahasa Inggrisnya
masih buruk. Tambahan lagi, ada beberapa orang yang bersaksi kalau beliau
memang menulis ‘sesuatu’. Dick Clarke misalnya, mengutip buku Leadbeater, “The
Masters and the Path”, mengatakan kalau
dia “membacanya, mengganti satu atau dua kata disana-sini, serta menambahkan
beberapa penjelasan serta catatan terkait, dan beberapa kalimat lainnya yang
seingat saya dikatakannya.” Sementara itu, Jean Overton Fuller menyimpulkan
kalau dia, “....mendapat bukti tambahan polos, dimana kata-kata dalam buku itu bukanlah sepenuhnya kata-kata
Krishnamurti. Leadbeater melakukan lebih dari sekedar memperbaiki pengejaan dan
tata-bahasanya, di dalam mana prakonsepsinya akan apa yang hendak dikatakan
oleh Sang Guru, bisa saja merembes ke
dalamnya.”
Kendati demikian, Ernest Wood tetap melihat
perbedaan antara menambahkan beberapa kalimat dengan menulis buku itu sendiri.
Menurutnya, tak ada kesaksian yang mempengaruhi siapapun untuk bisa beranggapan
bahwa Leadbeater-lah yang menulis keseluruhan buku itu.[1]
Fakta tetap memperlihatkan kalau Krishnamurti-lah yang menulis sebagian besar dari buku itu. ‘Nama samaran’ Alcyone adalah nama seperti beliau disebut di dalam buku “The Lives of Alcyone” karya C.W. Leadbeater, dimana semua orang tahu kalau Krishnamurti sendirilah yang disebut dengan Alcyone di dalam buku itu.
Dan yang lebih meyakinkan lagi adalah,
pengakuan Ernest Wood yang menyatakan bahwa dialah yang mempersiapkan
publikasinya, dimana Annie Besant-lah yang menamai buklet itu dengan “At the
Feet of the Master” serta menulis Pengantar untuknya[2],
dimana di dalamnya Annie Besant bersaksi “Ajaran-ajaran yang tercantum di dalam
buku ini diberikan oleh Guru-nya dalam masa persiapan untuk melalui tingkat Diksha
(inisiasi), dimana semuanya ditulisnya dari ingatan secara perlahan serta agak
sukar, karena waktu itu bahasa Inggrisnya belum selancar sekarang...”.[3]
Lalu, apa kata JK sendiri tentang buklet ini? Kepada Rom
Landau, penulis buku
“God is My Adventure”, yang menanyai beliau tentang ini di Ojai, California, beliau menjelaskan[4]:
“God is My Adventure”, yang menanyai beliau tentang ini di Ojai, California, beliau menjelaskan[4]:
‘Orang-orang telah menanyakan kepada saya tentang itu
sebelumnya. Beberapa diantaranya merasa puas akan jawaban saya, yang lainnya
tidak. Buat mereka yang tak mengenal saya
dengan baik, boleh jadi sangat sulit menerima jawaban saya itu.
Saya perlu menjelaskan beberapa hal tentang diri saya
sebelum saya menjawab pertanyaan Anda ini. Saya rasa Anda tahu kalau saya punya
ingatan yang teramat sangat buruk terhadap hal-hal —yang disebut orang sebagai—
kenyataan-kenyataan fisikal. Ketika Anda datang pagi tadi misalnya, saya tak
bisa mengingat apakah kita pernah bertemu dua, tiga atau sepuluh tahun lalu.
Saya juga tidak bisa mengingat dimana dan seperti apa perjumpaan kita itu.
Orang-orang yang dulu suka menyebut dan menuduh saya sebagai seorang ‘pemimpi’,
ternyata memang benar, lantaran kegamangan saya itu. Saya putus-asa di sekolah
di India. Para guru dan teman-teman berbicara pada saya, saya dengar mereka,
namun sementara itu saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Saya juga
tidak ingat apakah saya sedang memikirkan tentang sesuatu pada saat-saat seperti
itu; dan kalau memang demikian, tentang apa? Saya pasti sedang bermimpi ketika
itu, sebab fakta itu ternyata gagal mengguratkan kesan di dalam ingatan saya
tentangnya.
Samar-samar saya ingat kalau saya pernah menulis sesuatu ketika masih kanak-kanak, diajari oleh
Uskup Leadbeater; akan tetapi saya tak ingat sedikitpun apakah saya menulis
seluruhnya ataukah hanya beberapa halaman saja. Saya tidak tahu apa yang
diperbuat oleh Leadbeater terhadap lembar-lembar halaman yang saya tulis itu,
apakah ia mengoreksinya atau tidak, apakah mereka kemudian disimpan atau malah
dimusnahkan. Sayapun tidak tahu apakah saya menulisnya atas kehendak saya
sendiri ataukah itu saya lakukan karena pengaruh sejenis kekuatan di luar diri
saya. Saya sendiri ingin mengetahuinya.
Saya
tidak mengklaim sebagai penulisnya, namun tampaknya tak seorangpun yang bisa memberitahu apakah penulisnya
dituntun oleh suatu kekuatan dari luar ataukah berdasarkan pemikiran-pemikiran
dan emosi-emosinya sendiri. Saya sendiri amat sangat berminat untuk mengetahui
kehalusan tersembunyi dari proses pelik penulisan buklet “At the feet of the
Master” itu. Saya masih bisa melihat kalau diri ini duduk di dekat sebuah
meja dan menulis sesuatu, yang sama sekali tidak mudah buat saya. Ini terjadi
sekitar duapuluh-lima tahun lalu.’
Terlepas dari apakah kita bisa menerima
penjelasan-penjelasan seputar penulis dari buklet ‘misterius’ ini, memang mesti
diakui —terlebih lagi bila kita telah membaca isinya— kalau ia memang merupakan
sebuah risalat penting yang ditulis pada kurun waktu tertentu di masa-masa awal
perjalanan rokhani seorang penekun di jalan spiritual.
Bali, Minggu, 28 Januari 2007.
[1] Baca
“Ernest Wood's testimony” di: http://www.katinkahesselink.net/his/wood3.html
[2] Baca
Pengantar “Di Kaki Padma Sang Guru Sejati”.
[3] Dicuplik dan disunting dari “Di Kaki Guru
Sedjati” yang dijual oleh T.U “PENJEDAR”, Tjelaket 12 – Malang.
[4] Dicuplik dan
diterjemahkan dari: Krishnamurti In Carmel by Rom Landau; from “God is
My Adventure” published in 1936 (Ivor and Nicholson).
3.2. Beberapa pernyataan JK lain serta kisah
seputar Inisiasi dan buklet ‘At the Feet of the Master’.
“You must have the lamp and the match to light it.
And you must have the desire to keep the light all the time
brilliant.”
~ J.
Krishnamurti; “Towards Discipleship”.
Seorang Penanya bertanya: Tatkala Anda menulis ‘At the Feet of the
Master’, tidakkah Anda hanya mengikuti garis-ganda yang sudah disediakan [follow the double lines]?
Krishnamurti:
Tuan ini bertanya, “Tatkala Anda menulis ‘At the Feet of the Master’, tidakkah
Anda hanya mengikuti garis-ganda yang sudah disediakan?”
Tuan-tuan, garis-ganda yang
sudah ada itu sudah terlupakan dan mereka sudah hanyut bersama aliran sungai,
dulu sekali. Kita semua bukanlah anak-anak lagi; tapi kita tetap ingin seperti
anak-anak, ingin agar diberitahu apa yang mesti kita perbuat. Apakah itu oleh
Guru, atau oleh seorang santa, atau oleh Tuhan; kita ingin diberitahu, karena kita tak berani salah, karena kita penakut.
Sesosok batin yang
ketakutan, sesosok batin yang penurut, patuh dan hanya mengekor —batin yang
demikian itu adalah batin yang mati.[1]
Dalam
kesempatan lain, beliau berkata, “Di sebelah mana harus saya tanda-tangani?”
tatkala disodori sebuah kopi ‘At the Feet of the Master’, buku pertamanya itu.
......’Saya masih menyimpan buku biru terang yang berhiaskan bintang perak yang
beliau bubuhi tanda-tangannya di dalamnya itu, namun sejak hari itu hubungan
kami mengalami banyak perubahan, dan saya punya banyak pengalaman bersama
beliau’[2], aku David E. S. Young.
Peristiwa-peristiwa
penting terjadi berturut-turut dengan cepat. Tidak lama setelah Ny. Besant
meninggalkan Adyar pergi ke Benares —sekarang disebut Varanasi— ia menerima
kabar dari Leadbeater bahwa Krishnamurti muda kini sudah siap untuk menerima
inisiasi pertama pada malam tanggal 11 dan 12 Januari 1910.
Ritus-ritus dan upacara
inisiasi selalu punya peranan penting dalam semua sekte dan agama; begitu pula
di dalam Perhimpunan Theosofi. Menurut mereka, ritus ini berlangsung pada dimensi lain, tidak dikenal oleh
kesadaran sehari-hari.
Berbeda dengan Komune
Pertama, Bar Mitzvah, atau ritus inisiasi Afrika, di sini si calon berhubungan
langsung dengan makhluk-makhluk yang luhur, tanpa
perantara pendeta, rabbi atau shaman duniawi.
Ny. Besant dengan cepat
memerintahkan agar Leadbeater dan anak itu menggunakan kamarnya untuk peristiwa
yang merupakan titik-balik dalam
kehidupan Krishna itu.
Sementara Nitya dan Clarke
berjaga-jaga di luar kamar, Krishnamurti dikatakan menerima tuntunan spiritual di alam astral, dan berada di luar
tubuhnya selama sebagian besar dari dua malam dan satu hari itu, dan
kadang-kadang saja kembali ke tubuhnya dimana itupun hanya sebagian, cukup
untuk minum susu yang disediakan oleh Clarke di sisi tempat tidur mereka.
Krishnamurti berbaring di tempat tidur Ny. Besant, dan Leadbeater di lantai.
Pada tahun 1972
Krishnamurti, ketika berbicara tentang kehidupannya di masa kecil, beliau menceritakan
apa yang terjadi:
“.... anak ini disiapkan,
dimandikan, diberi pakaian semestinya dan sebagainya, dan dibawa ke kamar Dr.
Besant dan tidur atau tidak sadarkan diri —semua ini tidak jelas bagi saya,
selama dua puluh empat jam atau lebih. Dan ketika ia sadar dari keadaan ini,
mereka semua —Ruspoli, Kirby, Cooper, Clarke— melihat perubahan yang
menakjubkan pada wajah anak itu, dan beberapa di antara mereka berlutut dan
menyentuh kakinya.”
Krishnamurti menulis
kepada Ny. Besant, menceritakan peristiwa yang sangat indah itu:
“Lord [Maitreya] tersenyum
kepada saya, tetapi Dia bertanya kepada Master: ‘Siapakah yang Anda bawa ke
hadapan-Ku ini?’
Dan Master menjawab:
‘Inilah calon yang minta diterima ke dalam Persaudaraan Agung.’
Lalu Lord bertanya;
‘Apakah Anda mendukung bahwa dia pantas untuk diterima?’
Master menjawab: “Ya, saya
mendukung ...’”
Kenangan tentang tuntunan
yang diberikan kepadanya selama periode itu bermunculan kembali, dan anak muda
itu berupaya mencatat apa yang diingatnya. Bahasa Inggrisnya masih buruk,
tetapi ia terlihat bersusah payah menuliskan tuntunan-tuntunan dari gurunya.
Krishnamurti di kemudian
hari menyangkal pernah menulis buku kecil “At the Feet of the Master”, yang
diklaimnya sebagai tuntunan yang diterima dari Master-nya saat inisiasinya,
yang belakangan menjadi sebuah buku
klasik spiritual.
Namun, berikut ini ada lagi
beberapa laporan dari peristiwa itu:
“Peristiwa pertama yang
patut dicatat ialah bahwa saya mendapati Krishnaji setiap pagi menulis beberapa
catatan dalam buku sekolahnya dengan pensil, dan dia menengadah sambil
bertanya: ‘Bagaimana mengeja kata ini-itu?’
Leadbeater menjelaskan
kepada saya bahwa JK mencoba menulis di luar kepala, tanpa berkata banyak atau
perhatiannya teralihkan karena hal lain, apa yang dipelajarinya dari Master
malam itu. Yah, saya tidak mau bersikap tak-sopan atau mengintip isi buku itu
atau terlalu ingin tahu; tetapi saya tahu bahwa setiap pagi ia bersusah payah
menuliskan sesuatu, dan beberapa tahun kemudian tampaknya ia bercerita kepada
Count Keyserling —ada tercatat di suatu tempat— ketika ia ditanya, ‘Apakah Anda
menulis buku “At the Feet of the Master”?’ ia berkata, ‘Saya tidak ingat,
tetapi saya ingat pernah menulis sesuatu dengan susah-payah dalam bahasa
Inggris pada masa kecil saya.’” [Russell Balfour Clarke]
“Kisah bagaimana buku
kecil ini ditulis boleh dibilang sederhana. Setiap malam saya harus membawa
anak itu dalam tubuh astralnya ke tempat tinggal Master, agar ia memperoleh
tuntunan. Master berbicara sekitar limabelas menit setiap malam dengan dia,
tetapi pada akhir setiap percakapan, ia selalu menyimpulkan poin-poin penting
dari apa yang disabdakan oleh Gurunya dalam satu atau beberapa kalimat,
sehingga menjadi ringkasan kecil yang mudah diingat, yang diulang oleh anak
itu, sampai ia hafal di luar kepala. Ia ingat ringkasan itu pagi harinya dan
menuliskannya.
Buku itu terdiri dari
kalimat-kalimat itu, pokok-pokok ajaran
Master, yang disampaikannya sendiri, dalam kata-katanya sendiri. Anak itu
menuliskannya dengan agak bersusah-payah, karena pada waktu itu bahasa
Inggrisnya belum begitu baik. Ia ingat hal-hal itu di luar kepala, dan ia tidak
terlalu merisaukan secara khusus catatan-catatan yang dibuatnya itu.
Tidak lama kemudian, ia
pegi ke Benares bersama Dr. Annie Besant. Ketika berada disana ia menulis
kepada saya —yang berada di Adyar— dan minta kepada saya mengumpulkan dan
mengirimkan kepadanya semua catatan yang pernah ditulisnya tentang apa yang
dikatakan oleh Master. Saya menyusun catatan-catatannya sedapat mungkin, dan
mengetiknya... dan pada saatnya buku itupun terbitlah.
Banyak orang, bahkan
ribuan, menulis dan menceritakan betapa kehidupan
mereka berubah berkat buku itu, bagaimana segala sesuatu berubah bagi
mereka karena mereka membaca buku itu. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam
dua puluh tujuh bahasa. Ada sekitar empat puluh edisi atau lebih, dan lebih
dari seratus ribu kopi dicetak. Buku itu telah membuahkan hasil yang sangat
baik.” [C.W.Leadbeater]
“Saya mendapat kehormatan,
sebagai saudara tua, untuk menuliskan kata pengantar bagi buku kecil ini, buku
pertama yang ditulis oleh seorang Saudara muda, yang memang muda jasmaninya,
tetapi tidak Jiwanya.
Ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya diberikan kepadanya oleh Master-nya dalam masa persiapan
Inisiasi-nya, dan ditulisnya dari ingatannya —dengan perlahan-lahan dan
susah-payah— karena waktu itu bahasa Inggrisnya belum selancar sekarang.
Sebagian besar adalah reproduksi kata-kata Master sendiri;
bagian yang bukan reproduksi verbal merupakan pemikiran Sang Master yang
dikemas dalam kata-kata Siswa sendiri. Dua kalimat yang terlupakan dilengkapi
oleh Master. Pada dua tempat lain, dua kata yang terlupakan ditambahkan. Di
luar itu, seluruhnya adalah karya Alcyone
sendiri, sumbangsihnya yang pertama kepada dunia.” [Annie Besant] [3]
Bali, Kajeng Kliwon
Uwudan, Rabu, 07 Februari 2007.
4. Di
Kaki Padma Sang Guru Sejati
4.1. Pengantar
Saya mendapat kehormatan, sebagai saudara tua, untuk menuliskan
kata pengantar bagi buku kecil ini, buku pertama yang ditulis oleh seorang
Saudara muda, yang memang muda dalam jasmaninya, tetapi tidak dalam Jiwanya.
Ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya diberikan kepadanya
oleh Guru-nya dalam masa persiapan Inisiasi-nya, dan ditulisnya dari ingatannya
—dengan perlahan-lahan dan susah-payah— karena waktu itu bahasa Inggrisnya
belum selancar sekarang.
Sebagian besar adalah reproduksi
kata-kata Guru sendiri; bagian yang bukan reproduksi verbal adalah
pemikiran Sang Guru yang dikemas dalam kata-kata Siswa sendiri. Dua kalimat
yang terlupakan dilengkapi oleh Guru. Pada dua tempat lain, dua kata yang
terlupakan ditambahkan. Di luar itu, seluruhnya
adalah karya Alcyone sendiri, sumbangsihnya yang pertama kepada dunia.
Semoga buku ini dapat menolong orang-orang lain, seperti halnya
ajaran-ajaran lisan itu telah menolongnya. Demikianlah harapannya.
Ajaran-ajaran itu hanya akan berhasil bila dihidupkan, seperti halnya Alcyone telah mematuhinya sejak
ajaran-ajaran itu disabdakan oleh Sang Guru. Jika contoh dan teladan itu
diikuti sebagaimana yang dilakukan oleh penulis buku ini sendiri, para
pembacanya sekalipun akan dibukakan Gerbang besar sehingga bisa menjejakkan
kakinya di Jalan Kebenaran itu.
Annie Besant.
Desember 1910.[1]
[1] Sumber: “Di Kaki Guru Sedjati” yang dijual oleh T.U “PENJEDAR”, Tjelaket 12 –
Malang, dan KALEIDOSKOP KRISHNAMURTI (06), terjemahan dan kiriman Hudoyo
Hupudio via milis semedi.
4.2. Lembar Pembuka
Bagi mereka yang mengetuk Pintu
asato
ma sat gamaya
tamaso
ma djyotir gamaya
mretyor
ma mretang gamaya
Dari
kepalsuan,
bimbinglah
kami kepada Kesejatian.
Dari
kegelapan,
bimbinglah
kami kepada Kecerahan.
Dari kematian,
bimbinglah
kami kepada Keabadian.
_________
Catatan:
Dalam edisi websitenya
[http://www.katinkahesselink.net/], mantra sansekerta dari Veda di atas tidak tercantum. Langsung bahasa
Inggrisnya. Dia tercantum dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia — T.U.
Penjedar - Malang.
4.3 Pendahuluan
Semua ini bukan kata-kata saya; mereka adalah sabda Sang Guru Sejati yang mengajari
saya. Tanpa Beliau saya tak bisa berbuat apa-apa; hanya melalui bantuan
Beliaulah saya bisa menjejakkan kaki saya di Jalan Benar ini.
Bagi Anda yang berhasrat masuk menapaki Jalan yang sama, sabda
Beliau yang disampaikan kepada saya ini juga bisa membantu Anda, apabila Anda
mematuhinya.
Tidaklah cukup mengatakannya sebagai benar dan indah saja;
seseorang yang ingin berhasil mesti
melaksanakan persis seperti yang Beliau sabdakan. Hanya melihat makanan dan
berkata ia enak, tak akan mengenyangkan perut seseorang; ia mesti menggerakkan
tangannya dan memakannya. Begitu pula halnya, hanya mendengarkan sabda-sabda
Sang Guru Sejati tidaklah mencukupi; Anda mesti melaksanakan apa yang Beliau
sabdakan, memperhatikan dengan seksama
setiap kata, setiap petunjuk. Bila suatu petunjuk tidak diindahkan, bila sebuah
kata terlewatkan, hilanglah dia untuk selamanya; sebab Beliau tak akan bersabda dua kali.
4.4. Empat Kualifikasi Luhur
Ada Empat Kualifikasi Luhur yang mesti
dipenuhi guna memasuki Jalan ini[1]:
Daya Pemilah-milah
Ketidak-melekatan
Prilaku Bajik
Kasih-sayang
Apa yang disabdakan oleh Sang Guru
kepada saya prihal masing-masingnya akan saya coba sampaikan kepada Anda.
[1] Empat Kualifikasi Luhur ini sangat mirip dengan
Sadhana Chatushtaya di dalam Jñana Yoga: Viveka, Vairagya, Shad-sampat dan Mumukshutva. Baca: PETUJUK-PETUNJUK PRAKTIS ke dalam JÑANA YOGA,
oleh Sri Swami Sivananda Sarasvati.
4.5. Daya Pemilah-milah
Yang pertama di antara Keempat Kualifikasi Luhur ini adalah Daya
Pemilah-milah[1];
dimana inilah —yang acapkali dipahami sebagai daya pembeda antara yang sejati
dengan yang semu— yang mengantarkan
orang-orang dalam memasuki Jalan. Inilah kualifikasi pertama itu; tapi lebih
jauh lagi, ia mesti dipraktekkan, tidak hanya di awal melangkahkan kaki di
Jalan, melainkan pada setiap langkah dalam keseharian hingga akhir nanti.
Anda memasuki Jalan, karena Anda sudah maklum bahwa hanya melaluinyalah bisa ditemukan
hal-hal yang benar-benar bernilai
untuk dicapai. Mereka yang tidak mengetahuinya, bekerja membanting-tulang hanya
guna memperoleh kekayaan atau kemakmuran serta pengaruh atau kekuasaan; namun
semua itu paling-paling hanya untuk satu kehidupan ini saja, oleh karenanya
bersifat semu.
Ada hal-hal yang lebih luhur dibanding semua itu —hal-hal yang
sejati dan kekal. Bila sekali saja Anda melihat yang ini, Anda tak akan menginginkan
yang lainnya.
Di dunia ini hanya ada dua golongan manusia —mereka yang tahu, dan mereka yang tidak tahu; pengetahuan inilah yang
penting. Agama apapun yang dianut manusia, termasuk ras apapun dia —ini tidak
penting; yang benar-benar penting adalah pengetahuan ini —pengetahuan akan Rencana Tuhan
bagi umat manusia.
Tuhan punya rencana;
dan rencana itu adalah evolusi kosmis. Bilamana seorang anak manusia telah
melihatnya, dan benar-benar menginsyafinya, ia tak akan bisa mengurungkan
niatnya untuk ikut membantu bekerjanya dan menyatukan dirinya dengan kerja itu;
sebab ia sedemikian agungnya, sedemikian indahnya. Jadi, karena ia
menyadarinya, ia akan dengan suka-rela
berada di pihak Tuhan, berdiri demi kebajikan dan menahan kejahatan,
bekerja demi evolusi ini dan bukan demi kepentingan diri sendiri saja.
Apabila ia ada di pihak Tuhan, maka ia adalah salah seorang dari
kita; tak peduli apakah ia menyebut dirinya sebagai umat Hindu atau umat
Buddha, seorang Kristiani atau seorang Muslim, apakah ia orang India ataukah
orang Inggris, orang Tionghoa ataukah orang Rusia. Mereka yang ada di pihak-Nya
sadar mengapa mereka ada disini, dan apa yang mesti mereka perbuat; merekapun
mencoba melaksanakannya; sementara yang lain, yang belum tahu apa yang
semestinya mereka perbuat, seringkali bertindak bodoh, dengan cara mencoba
menemukan cara-cara mereka sendiri yang mereka sangka memberi kesenangan;
mereka tidak memahami kalau semuanya
adalah satu, dan hanya Kehendak Yang Esa inilah yang bisa menyenangkan
semuanya. Alih-alih mengikuti yang sejati, mereka malah mengikuti yang semu.
Sebelum mereka mampu memilah-milah antara yang dua ini, mereka belum
menempatkan dirinya di pihak Tuhan; makanya, daya pemilah-milah ini adalah langkah pertama.
Kendati Anda telah menetapkan pilihan, Anda masih harus ingat
bahwasanya yang sejati dan yang semu punya banyak variasi. Daya pemilah-milah
masih tetap mesti diterapkan dalam memilah antara yang benar dengan yang salah,
yang penting dengan yang tak penting, yang berguna dengan yang tiada guna, yang
asli dengan yang palsu, yang mementingkan diri sendiri dengan yang tak
mementingkan diri sendiri.
Memilah antara yang benar dan yang salah tidaklah begitu sulit,
bagi mereka yang telah menetapkan diri untuk mengikuti Guru, karena ia juga
sudah memutuskan untuk berpegang pada yang benar kendati harus mengorbankan
apapun. Namun masalahnya, antara tubuh dan manusianya sendiri tidaklah selalu
sejalan, dimana kehendak manusiawinya tidak selalu juga merupakan harapan dari
tubuhnya. Manakala tubuh Anda menginginkan sesuatu, berhentilah dan
pertimbangkan dulu apakah Anda
benar-benar memerlukannya. Sebab Anda
adalah Tuhan[2],
dimana Anda hanya menghendaki apa yang dikehendaki Tuhan; akan tetapi Anda
mesti menggali jauh ke dalam diri Anda guna menemukan Tuhan di dalam, dan
mendengarkan sabda-Nya, yang adalah sabda Sang Diri-Jati.
Jangan keliru memandang kalau tubuh-tubuh kalian itulah kalian
adanya —apakah itu tubuh fisikal, tubuh astral, maupun tubuh mental.
Masing-masing akan bepura-pura seakan-akan dialah Sang Diri-Jati agar mendapat
apa yang diinginkannya. Hendaklah Anda mengenali mereka semua, seraya menyadari
kalau Andalah penguasanya.
Bilamana ada tugas yang mesti dikerjakan, tubuh fisikal ini
malah mau beristirahat, malah mau jalan-jalan, mau makan dan minum; dimana
orang yang tidak sadar akan berkata kepada dirinya: ‘Saya memerlukan hal-hal
ini, dan saya harus melakukannya.’ Namun orang yang sadar akan berkata: ‘Yang
berkeinginan ini bukan saya, dia mesti menunggu sebentar.’ Seringkali, tatkala
datang suatu kesempatan emas untuk menolong seseorang, si tubuh malah merasa:
‘Betapa akan menyukitkannya bagiku; biarlah orang lain saja yang melakukannya.’
Namun yang sadar akan menyahut: ‘Kamu tidak boleh menghalangiku untuk melakukan
suatu tugas mulia.’
Tubuh fisikal ini adalah khewan —kuda kendaraan Anda. Makanya mesti Anda perlakukan dengan baik, rawat
dengan baik; Anda tak seharusnya mempekerjakannya secara berlebihan, Anda harus
memberinya makanan dan minuman yang murni secukupnya, serta selalu menjaganya
tetap bersih kendati dari percikan lumpur sekalipun. Karena tanpa tubuh yang
benar-benar besih dan sehat, Anda tak akan bisa melangsungkan tugas persiapan
yang sulit ini, Anda tak akan mampu menahan tekanan terus-menerus itu. Andalah
yang mesti selalu mengendalikan tubuh fisikal ini, bukan malah dia yang
mengendalikan Anda.
Tubuh astral punya keinginannya sendiri —ada berlusin-lusin; ia
ingin Anda marah, mengucapkan kata-kata pedas, merasa cemburu, serakah akan
uang, iri akan apa yang dimiliki oleh orang lain, ia ingin Anda tunduk pada
depresi. Semua yang diinginkannya ini —dan banyak yang lainnya lagi— bukanlah
lantaran ia memang hendak mencelakai Anda, melainkan karena ia menyukai gelora vibrasi-vibrasi dan suka terus
berganti-ganti vibrasi. Namun Anda sendiri tak membutuhkannya sama sekali;
makanya Anda mesti bisa memilah-milah antara kebutuhan Anda dengan keinginan
tubuh astral Anda.
Tubuh mental Anda cenderung merasa terpisah, membangga-banggakan
dirinya dan merendahkan yang lainnya. Walau Anda telah memalingkannya dari
hal-hal duniawi, ia tetap saja menghitung-hitung bagi dirinya sendiri; ia
berharap agar Anda hanya memikirkan kemajuan Anda sendiri, dan bukannya
memikirkan tugas Sang Guru serta membantu yang lain. Tatkala Anda bermeditasi,
ia akan mencoba agar Anda memikirkan berbagai hal yang diinginkannya, dan
bukannya apa yang Anda butuhkan.
Sadarilah kalau Anda bukanlah pikiran ini, melainkan pikiran
adalah milik Anda untuk digunakan sebaik-baiknya. Jadi, lagi-lagi daya
pemilah-milah dibutuhkan disini. Anda harus terus-menerus waspada; kalau tidak, Anda bisa gagal.
Okultisme tak mengenal kompromi antara yang benar dan yang
salah. Melalui pengorbanan apapun, yang benar harus Anda lakukan, yang salah
harus Anda tinggalkan, tak peduli apapun sangkaan atau ucapan dari ia yang tak
sadar. Pelajarilah dengan bersungguh-sungguh Hukum-hukum Alam yang tersembunyi,
dan tatkala Anda memahaminya, sesuaikanlah kehidupan Anda dengannya. Gunakanlah
selalu nalar dan akal-sehat Anda.
Anda harus membedakan antara yang penting dengan yang tak
penting. Berdiri kokoh bak batu karang sehubungan dengan yang benar dan yang
salah, biarkan orang-orang lain mengurusi hal-hal yang tak penting. Karena Anda
harus selalu baik-hati dan suka menolong, berbudi dan bisa menyesuaikan diri,
memberi kebebasan sepenuhnya kepada orang lain seperti yang Anda butuhkan untuk
diri Anda sendiri.
Periksalah apa-apa yang bermanfaat untuk dikerjakan; dan ingat,
Anda tidak boleh mendasarkan pertimbangan Anda pada ukurannya. Sebuah tugas
kecil yang secara langsung berkaitan dengan tugas yang diberikan Guru jauh
lebih berharga untuk dikerjakan dibanding hal yang besar yang dikatakan baik
oleh dunia.
Anda hendaknya tidak hanya membedakan antara yang bermanfaat
dengan yang tidak bermanfaat saja, namun memilah antara yang lebih bermanfaat dengan yang kurang bermanfaat. Memberi makan para
fakir-miskin adalah baik, bermanfaat dan mulia; akan tetapi, memberi santapan
bagi rokhaninya adalah lebih mulia dan juga lebih bermanfaat dibanding sekedar
memberi makan tubuh-tubuh mereka. Setiap orang kaya, mampu memberi makan
tubuh-tubuh itu, namun hanya yang éling
sajalah bisa memberi santapan bagi rokhani mereka. Jika Anda éling, maka adalah
tugas Anda membantu yang lainnya supaya éling.
Betapa sudah bijakpun mungkin Anda adanya, berjalan di Jalan ini
Anda mesti terus belajar; sebesar belajar itu pulalah Anda mesti memilah-milah;
Anda harus mempertimbangkan dengan seksama apa yang berharga buat dipelajari.
Semua ilmu pengetahuan bermanfaat, dimana pada suatu hari nanti Anda akan
menguasai semua ilmu pengetahuan itu. Namun, sementara Anda masih punya hanya
sebagian daripadanya, pergunakanlah yang sebagian ini sebagai yang paling
bermanfaat.
Tuhan
adalah Kebijaksanaan juga Kasih; dimana semakin bijak Anda semakin mampu pula
Anda memanifestasikan-Nya. Belajarlah, tapi pelajarilah
terlebih dulu apa-apa yang paling membantu saudara agar bisa menolong yang
lain. Bekerjalah dengan sabar dalam
pembelajaran-diri Anda itu, bukan lantaran agar Anda disangka orang-orang sebagai orang bijak, tidak juga supaya Anda
bersuka-cita karena menjadi orang bijak, melainkan karena hanya orang bijak
sajalah yang bisa membantu secara bijaksana. Betapa besarpun niat baik Anda
untuk menolong, namun bila Anda bodoh, alih-alih berniat menghadirkan kebaikan,
bisa-bisa Anda malah menghadirkan malapetaka.
Hendaklah Anda bisa memilah antara yang sejati dengan yang semu;
hendaklah Anda jujur di dalam setiap pemikiran, ucapan maupun tindakan Anda.
Pertama-tama terhadap pikiran; dan ini bukan sesuatu yang mudah,
sebab ada banyak pemikiran yang tidak benar di dunia ini, ada banyak takhayul
dungu, dimana tak seorangpun di antara yang diperbudaknya bisa memperoleh
kemajuan. Oleh karenanya Anda semestinya tidak sekedar menganut sebentuk
pemikiran tertentu lantaran banyak orang
menganutnya, bukan juga lantaran ia telah dipercaya selama berabad-abad, tidak juga lantaran ia tersurat di dalam kitab-kitab yang dianggap suci oleh orang-orang; Anda mesti
mempertimbangkannya sendiri, menimbang-nimbangnya apakah ia masuk-akal atau
tidak.
Ingatlah ... walaupun ribuan orang menyetujui suatu pendapat
tertentu, akan tetapi apabila mereka tidak berpengetahuan tentangnya, pendapat
mereka itu tak ada nilainya sama sekali. Siapapun yang hendak berjalan di atas
Jalan ini mesti mampu berpikir sendiri, sebab takhayul adalah salahsatu dari kejahatan-kejahatan terbesar di dunia,
salahsatu belenggu terhadap apa Anda
mesti membebaskan diri.
Pemikiran Anda tentang orang lain harus benar; Anda tidak boleh
berpikir begini atau begitu tentang mereka, padahal Anda tidak mengetahui
kebenarannya. Jangan menyangka bahwa mereka selalu memikirkan Anda. Apabila
seseorang melakukan sesuatu yang Anda anggap menyakiti Anda, atau mengatakan
sesuatu yang Anda sangka ditujukan kepada Anda, janganlah serta-merta berpikir:
‘Ia bermaksud melukai saya.’ Bahkan mungkin sekali kalau ia malah tak pernah
memikirkan Anda sama sekali, sebab setiap jiwa punya masalah-masalahnya sendiri
dimana pemikiran-pemikirannya kebanyakan berkisar
pada dirinya sendiri.
Apabila seseorang berkata dengan nada marah kepada Anda,
janganlah langsung berpikir: ‘Ia membenciku, ia berniat melukaiku.’ Mungkin
saja seseorang atau sesuatu yang lain yang membuatnya marah, dan karena ia
kebetulan bertemu dengan Anda, ia mengalihkan kemarahannya itu kepada Anda. Ia
memang bertindak dungu, sebab semua kemarahan adalah dungu; akan tetapi, tidak
sepantasnyalah Anda berpikir yang bukan-bukan tentangnya.
Bilamana Anda menjadi siswa Sang Guru, Anda bisa senantiasa
menguji kebenaran pemikiran Anda dengan cara meletakkannya di samping pemikiran
Guru. Karena siswa satu dengan Gurunya, maka yang ia butuhkan hanyalah
meletakkan pemikirannya kembali pada pemikiran Gurunya, guna langsung
mengetahui apakah pemikirannya itu sudah sesuai dengan pemikiran Sang Guru atau
belum. Jika tidak sesuai, maka pemikiran itu salah, dan rubahlah segera. Sebab
pemikiran Sang Guru itu sempurna, Beliau mengetahui semuanya.
Mereka yang belum
sepenuhnya diterima sebagai siswa-Nya sama sekali tidak bisa berbuat
demikian; namun mereka masih bisa banyak menolong diri mereka sendiri dengan
sering-sering berhenti sejenak dan berpikir: ‘Apa kira-kira yang dipikirkan
Guru tentang ini? Apa yang akan Beliau katakan atau perbuat dalam situasi dan
kondisi seperti ini?’ Anda seharusnya tidak akan pernah melakukan atau
mengatakan ataupun berpikir yang tak terbayangkan bagi Anda bagaimana Guru akan
berpikir atau berbicara atau berbuat, sehubungan dengan itu.
Anda juga mesti jujur di dalam ucapan —akurat dan tanpa
melebih-lebihkan. Jangan menerka-nerka
motif orang lain; hanya Gurunyalah yang tahu pemikiran-pemikirannya, dimana
ia boleh jadi bertindak atas alasan-alasan tertentu yang tidak pernah
terpikirkan oleh Anda. Apabila kebetulan Anda mendengar sebuah gunjingan akan
siapa saja, jangan ceritrakan kembali itu kepada orang lain. Itu bisa saja
tidak benar; dan kendati itu benar, lebih baik diam. Pikirkanlah matang-matang
sebelum berbicara, agar tidak terperosok ke dalam kecerobohan.
Bertindaklah jujur;
jangan berpura-pura sebagai orang lain selain diri Anda, sebab semua
kepura-puraan merupakan penghalang bagi cahaya
murni kesujatian yang seharusnya bersinar melalui Anda, layaknya cahaya
mentari yang bersinar menembus kaca yang bening.
Anda mesti memilah antara yang mementingan diri sendiri dengan
yang tidak mementingkan diri sendiri. Egoisme
punya banyak wujud; manakala Anda menyangka kalau Anda telah membinasakan
salahsatunya, ia akan bangkit dalam wujud lainnya yang lebih kuat dibanding
biasanya. Namun, secara bertahap, Andapun akan asyik dengan pemikiran guna
menolong orang lain, sehingga tidak menyisakan ruang dan waktu, untuk
memikirkan diri sendiri.
Selanjutnya Anda mesti belajar memilah-milah dengan cara lain. Belajarlah melihat kehadiran Tuhan pada
setiap orang dan pada segala sesuatu, tak peduli betapa jahatpun seseorang
atau sesuatu itu tampaknya di permukaan.
Anda bisa menolong saudara-saudari Anda lewat kesamaan yang ada
di antara kalian; dan itulah Kehidupan Ilahi, the Divine Life. Belajarlah membangkitkan itu pada dirinya,
belajarlah bagaimana memohon kehadirannya pada mereka; dengan begitulah Anda
akan menyelamatkan saudara-saudari
Anda dari kesalahan atau dosa.
4.6. Ketidak-melekatan
Bagi banyak orang, Kualifikasi Luhur Ketidak-melekatan atau
Ketanpa-keinginan[1]
ini merupakan sesuatu yang sulit, sebab mereka merasa keinginan-keinginan
itulah mereka adanya —dimana apabila keinginan-keinginan mereka yang
beraneka-ragam itu, kesukaan dan ketidak-sukaan mereka itu hilang dari mereka,
tak ada lagi yang tersisa dari mereka.
Tapi sangkaan ini hanyalah bagi mereka yang belum melihat Guru; dalam cahaya Kehadiran-suci-Nya semua
nafsu-keinginan mati, selain keinginan
menjadi layaknya Beliau. Sementara itu, sebelum Anda beruntung menikmati
kebahagiaan bertatap muka dengan Beliau, Anda bisa juga mencapai
ketidak-melekatan bila itu benar-benar Anda hasrati.
Daya pemilah-milah memperlihatkan bahwa hal-hal yang umumnya
sangat diidam-idamkan oleh banyak orang —seperti kekayaan, kekuasaan atau
kemasyuran— tak sedemikian bernilainya buat diimpikan; bilamana ini benar-benar
dirasakan, bukan sekedar diucapkan, segala bentuk keinginan terhadapnya sirna.
Sampai sejauh ini, semuanya masih tampak sederhana; ia hanya
membutuhkan pengertian Anda. Akan
tetapi, ada sementara orang yang meninggalkan pengejaran duniawi hanya demi masuk sorga, atau demi pembebasan
pribadi dari kelahiran berulang-ulang; Anda tidak boleh terperosok ke dalam
kesesatan ini. Apabila Anda telah melupakan-diri
Anda sepenuhnya, Anda tak akan sanggup memikirkan kapan si diri ini harus
bebas, atau jenis sorga mana yang akan Anda nikmati.
Ingatlah ...semua hasrat
mementingkan diri sendiri itu mengikat, seberapa tinggipun objek itu
mungkin adanya, dimana sampai Anda terlepas daripadanya Anda tak akan
sepenuhnya bebas untuk membaktikan diri
pada kewajiban yang diberikan Guru.
Manakala semua keinginan untuk diri sendiri habis, boleh jadi
masih ada keinginan untuk melihat hasil
pelaksanaan tugas Anda itu. Apabila Anda menolong seseorang, Anda ingin melihat
seberapa jauh Anda telah menolongnya; bahkan mungkin Anda ingin dia melihatnya
juga, serta mensyukurinya. Tapi ini masih merupakan suatu keinginan, disamping
ingin dipercaya. Bilamana Anda mencurahkan segenap daya yang ada untuk
menolong, pasti ada hasilnya, apakah Anda melihat hasilnya ataukah tidak;
apabila Anda memahami Hukum[2] itu Anda
akan tahu kalau memang demikian kejadiannya.
Jadi Anda mesti melakukan yang benar demi kebenaran itu sendiri,
bukan dengan harapan mendapat hadiah atau penghargaan; Anda mesti bekerja demi
melangsungkan kerja itu sendiri, bukan berlandaskan harapan untuk menyaksikan
bagaimana hasilnya; Anda mesti menyerahkan-diri
Anda pada kerja pelayanan kepada dunia, hanya karena Anda memang
mencintainya, dan tidak tega untuk tidak mempersembahkan-diri Anda kepadanya[3].
Jangan menginginkan daya-daya
psikik[4];
mereka akan datang sendiri kalau Sang Guru memang menganggap sebaiknya Anda
memilikinya. Memaksa agar mereka datang terlalu dini seringkali juga membawa
serta bergerbong-gerbong masalah. Pemiliknya seringkali disesatkan oleh
rokh-rokh alam yang penuh tipuan, atau menjadi angkuh dan menganggap dirinya
tak bisa salah; dan ... dalam kasus manapun, tenaga dan waktu yang dihabiskan
untuk mendapatkannya bisa dimanfaatkan untuk membantu orang lain. Mereka pasti datang bersamaan dengan
berkembangnya batin Anda —mereka pasti datang; dan apabila Sang Guru melihat
kalau memang bermanfaat buat Anda memilikinya lebih dini, Beliau akan
memberitahu Anda bagaimana memekarkannya secara aman. Sebelum tiba saatnya, lebih baik tanpanya.
Anda juga harus menjaga diri terhadap keinginan-keinginan kecil
yang umum di dalam kehidupan sehari-hari. Jangan pernah ingin cemerlang, atau
kelihatan pintar; jangan ingin selalu angkat bicara. Adalah baik untuk sedikit
bicara; diam lebih baik lagi, kecuali
Anda cukup yakin kalau apa yang Anda katakan itu benar adanya, berlandaskan kebaikan-hati dan berniat membantu. Sebelum berbicara periksalah
dengan seksama apakah yang akan Anda katakan itu punya ketiga kualitas tadi;
bila tidak, jangan ucapkan.
Bahkan, sekarang inipun adalah baik untuk memeriksa dengan
seksama sebelum berbicara; sebab bila telah mencapai Inisiasi, Anda harus
mengawasi setiap kata-kata Anda, bila tidak, bisa saja Anda akan memberitahukan apa yang seharusnya tidak
diberitahukan. Adalah dungu dan tidak perlu banyak beromong-kosong; apalagi
bilamana itu adalah gosip yang bernada fitnah,
itu jahat sifatnya. Jadi biasakanlah menyimak ketimbang berbicara; jangan
tawarkan pendapat kecuali Anda memang diminta langsung.
Ada serangkai ungkapan yang terkait dengan Kualifikasi Luhur ini
adalah: paham, berani, berkemauan dan
diam. Di antara keempatnya, yang
terakhirlah yang paling sulit.
Keinginan lain yang mesti Anda tindas dengan kuat adalah hasrat mencampuri urusan orang lain.
Apapun yang orang lain perbuat atau katakan atau percayai, bukan urusan Anda; Anda mesti belajar membiarkannya sesuka-hati. Ia
punya hak penuh terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan bertindak, selama tidak mengganggu siapapun. Anda sendiri
menuntut kebebasan yang sama untuk melakukan apa yang menurut Anda pantas.
Makanya Anda harus memberi kebebasan yang
sama juga kepada mereka; dan ketika mereka menggunakan haknya itu, Anda tak
berhak mempersoalkannya.
Apabila Anda rasa ia melakukan kesalahan, dan Anda bisa
mengupayakan suatu kesempatan —secara pribadi dan dengan sangat sopan—
memberitahunya kenapa Anda berpendapat demikian, adalah mungkin buat Anda
meyakinkannya akan kesalahannya itu; akan tetapi, ada banyak kasus yang
membuktikan kalau, bahkan yang seperti inipun tergolong ikut-campur yang tidak perlu. Tak ada alasan apapun bagi Anda untuk
menggosipkan masalah itu kepada pihak ketiga, sebab fitnah itu merupakan suatu perbuatan yang benar-benar jahat.
Apabila Anda menyaksikan penganiayaan terhadap seorang anak atau
seekor binatang, maka merupakan kewajiban Andalah untuk menengahi. Apabila Anda
menyaksikan siapapun melanggar hukum, Anda wajib melaporkannya kepada yang
berwajib. Bila Anda ditugaskan mengajari orang lain, sudah merupakan kewajiban
Anda untuk memberitahu kesalahan-kesalahannya dengan lemah-lembut. Kecuali
dalam kasus-kasus khusus itu, uruslah
urusan Anda sendiri, dan pelajarilah kebaikan dari penyunyian diri[5].
[1] Istilah Sansekertanya Vairagya.
[2] Hukum Kausalitas Universal atau Hukum Karmaphala atau Rta.
[3] Bandingkan dengan ajaran Sri Krishna
kepada Arjuna, tentang Karma Yoga,
di dalam Bhagavad Gita.
[4] Yang disebut dengan siddhi-siddhi itu.
[5] Di Bali, secara lengkap, ini
dilaksanakan dengan melakoni Catur Brata
Penyepian. Ia tidak harus diterapkan melalui ‘pengasingan-diri’ di tempat
sunyi.
4.7.
Prilaku Bajik
Enam
macam prilaku yang dibutuhkan secara khusus diberikan oleh Guru, yaitu:
1. Mengendalikan-diri terhadap Pikiran.
2. Mengendalikan-diri dalam Tindakan.
3. Bertenggang-rasa.
4. Bergembira.
5. Berkonsentrasi.
6. Percaya-diri.
(Saya
maklum kalau beberapa di antaranya seringkali diterjemahkan dalam
istilah-istilah yang berbeda, seperti halnya Keempat Kualifikasi Luhur itu;
tapi disini saya menggunakan istilah-istilah yang digunakan sendiri oleh Guru
ketika memaparkannya kepada saya.)
1.
Mengendalikan-diri
terhadap Pikiran.
Kualifikasi
Luhur Ketidak-melekatan atau Ketanpa-keinginan menunjukkan kalau tubuh astral
mesti diawasi; ia juga menyuruh melakukan pengawasan yang sama terhadap tubuh
mental. Ia berarti mengendalikan prilaku pikiran dan perasaan, dengan begitu
Anda tidak perlu marah-marah atau tidak sabar; pengaruhnya terhadap batin itu
sendiri, pikiran bisa senantiasa kalem, tenteram atau tidak bergejolak; dan
melalui pikiran yang terkendali terhadap syaraf perasa itu, bisa diharapkan
sesedikit mungkin hal yang membuatnya lekas-marah atau mudah tersinggung.
Yang
disebut terakhir ini memang sulit, karena ketika Anda mempersiapkan diri untuk
memasuki Jalan, Anda tak bisa menghindari kalau tubuh (fisikal berikut
organ-organ indria —pen.) Anda menjadi lebih peka, sehingga syaraf perasa
menjadi mudah terusik oleh suara atau mudah terkejut, serta lebih peka
merasakan tekanan akut yang manapun; namun Anda tetap harus berusaha
sebaik-baiknya.
Batin
yang kalem juga berarti keberanian,
dengan begitu Anda mampu menghadapi langsung cobaan-cobaan dan
kesulitan-kesulitan di dalam menapaki Jalan; ia juga berarti keteguhan-hati, dengan demikian Anda
mampu menghadapi permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi dalam kehidupan
setiap orang dengan ringan, serta menghindari keragu-raguan atau kekhwatiran yang berlebihan terhadap
hal-hal sepele di dalam mana banyak orang biasanya menghabiskan sebagian besar
waktunya.
Guru
mengajarkan bahwa apapun yang menimpa seseorang, yang tiada terhindari, yang
datangnya dari luar —seperti kesedihan, masalah, sakit, kehilangan— hendaklah
dianggap tidak ada apa-apanya, dan tidak dibiarkan mempengaruhi ketenteraman
batinnya. Mereka itu adalah akibat dari perbuatan-perbuatan masa lalu, dimana
jika mereka datang Anda mesti menerimanya dengan senang-hati, mengingat semua
malapetaka tidaklah kekal; kewajiban Andalah untuk tetap tenang dan bergembira.
Mereka berasal dari kehidupan Anda yang lampau, bukan kehidupan ini; Anda tak
bisa merubahnya, jadi tak ada gunanya memusingkannya. Lebih baik memikirkan apa
yang sedang Anda kerjakan sekarang, yang akan menentukan kejadian-kejadian pada
kehidupan Anda mendatang, sebab itulah yang bisa
Anda rubah.
Jangan
pernah biarkan diri Anda merasa sedih atau depresi. Depresi itu tidak baik,
sebab ia akan menginfeksi orang-orang lainnya sehingga membuat kehidupan mereka
menjadi lebih sulit, dimana Anda tak berhak menimbulkan yang demikian pada
kehidupan mereka. Makanya, jika suatu ketika itu terjadi pada Anda, segera
buang!
Ada
hal lain yang mesti Anda kendalikan menyangkut pikiran Anda —Anda tidak boleh
membiarkannya berkelana. Apapun yang
sedang Anda kerjakan, pancangkanlah pikiran Anda padanya, dengan begitu Anda
bisa mengerjakannya dengan sempurna. Jangan biarkan pikiran menganggur atau bermalas-malas —yang selalu siap muncul di permukaan saat Anda lengah— namun tetap pertahankan agar
pemikiran-pemikiran yang luhur selalu melatar-belakanginya.
Gunakan
daya-pikir Anda setiap hari bagi tujuan-tujuan luhur; jadilah pasukan yang mengarah pada evolusi. Setiap hari
pikirkanlah seseorang yang Anda ketahui sedang berduka atau menderita, atau
yang sedang membutuhkan pertolongan, dan curahkanlah pemikiran yang penuh
kasih-sayang kepadanya.
Tahan
pikiran Anda dari rasa bangga-diri,
sebab bangga-diri hanya datang dari kebodohan. Orang yang tak sadar menyangka
kalau dirinya hebat, menyangka dirinya telah melakukan hal-hal besar ini dan
itu; sedangkan orang bijak tahu kalau hanya Tuhan sajalah yang besar, dimana
semua kerja yang baik hanya dilakukan oleh Tuhan.
2. Mengendalikan-diri
dalam Tindakan.
Apabila
pikiran Anda sudah betapa mestinya, Anda hanya akan mengalami sedikit kesulitan di dalam tindakan
Anda. Agar bisa senantiasa bermanfaat bagi umat manusia, ingatlah selalu kalau
pemikiran mesti diwujudkan di dalam tindakan. Tidak boleh ada kemalasan, namun
sebaliknya lakukan kerja kebajikan terus-menerus.
Tetapi
kewajiban Anda sendirilah yang harus
Anda kerjakan —bukan kewajiban orang lain, kecuali atas seijinnya atau demi
membantunya. Biarkan setiap orang melaksanakan tugasnya masing-masing dengan
caranya masing-masing, jangan pernah
mencampurinya. Sebab bagi kebanyakan orang, hal yang tersulit buat
diperbuatnya adalah mengurusi urusannya sendiri; akan tetapi justru itulah
persisnya yang mesti Anda lakukan.
Lantaran
Anda mencoba mengerjakan tugas yang lebih luhur, jangan sampai Anda melalaikan
tugas-tugas biasa Anda, sebab kecuali Anda telah menyelesaikan mereka betapa
mestinya, Anda tak bebas mengerjakan tugas pelayanan lainnya. Tidak
seharusnyalah Anda mengambil tugas-tugas duniawi baru; namun jalankanlah apa yang telah menjadi tugas Anda itu
sebaik-baiknya — yaitu semua tugas-tugas yang Anda kenal dan pahami dengan
baik, dan bukannya tugas-tugas imajiner yang dicoba dibebankan oleh orang lain
kepada Anda.
Apabila
Anda berhasrat menjadi siswa-Nya, Anda mesti mengerjakan kerja biasa lebih baik
dari yang lainnya, bukannya lebih buruk; sebab, mengerjakannya juga berarti
Anda mengerjakan untuk Beliau.
3. Bertenggang-rasa.
Anda
harus benar-benar bertengang-rasa terhadap semua, dan dengan sepenuh hati
tertarik pada kepercayaan atau ajaran yang dianut oleh mereka yang beragama
lain, seperti halnya Anda terhadap agama Anda sendiri. Sebab agama merekapun
merupakan Jalan menuju Yang Luhur, seperti juga milik Anda ini. Ingat; untuk
bisa menolong semua, Anda mesti memahami semua.
Namun
untuk bisa bertenggang-rasa dengan sebaik-baiknya, pertama-tama Anda mesti bebas dari kefanatikan dan
ketakhayulan. Anda harus mengerti kalau tak
ada upacara-upacara yang wajib; bila tidak, Anda akan beranggapan kalau Anda
lebih baik dibanding yang tidak melaksanakannya. Anda tidak boleh mencela atau
merendahkan mereka yang masih terikat pada berbagai bentuk upacara itu. Biarkan
mereka melaksanakan apa yang mereka sukai; sekedar jangan buka peluang kepada
mereka untuk mencampuri Anda yang telah mengenal kesejatian —jangan biarkan
mereka mencoba memaksakannya kepada Anda, karena bentuk-bentuk upacara itu
masih di bawah kemajuan Anda. Hargailah semua sepantasnya; berbaik-hatilah
kepada semua.
Sekarang
mata Anda telah terbuka, dimana beberapa kepercayaan-kepercayaan lama Anda,
berbagai bentuk upacara-upacara lama Anda itu, boleh jadi tampak tak masuk-akal
lagi; barangkali memang demikianlah adanya.
Namun,
kendati Anda tak lagi ambil bagian di dalamnya, tetaplah hargai mereka sebagai
jiwa-jiwa yang baik, sebab buat mereka upacara-upacara itu masih penting.
Upacara-upacara itu punya tempatnya sendiri, mereka punya manfaatnya sendiri;
mereka tak-ubahnya garis-ganda yang bermanfaat menuntun Anda semasih anak-anak
untuk bisa menulis datar dan rapi, sampai Anda mampu menulis dengan lebih baik
dan secara bebas, tanpa perlu bantuannya lagi. Ada masanya dimana Anda
membutuhkannya; tapi sekarang masa itu telah berlalu.
Seorang
Guru Luhur suatu kali menulis: ‘Semasih
saya anak-anak, saya berbicara betapa layaknya anak-anak, saya mengerti betapa
layaknya anak-anak, dan sayapun berpikir betapa layaknya anak-anak; tetapi
sesudah tumbuh dewasa, saya singkirkan hal-hal yang bersifat kekanak-kanakan
itu.’
Mereka
yang telah melupakan masa kanak-kanaknya dan kehilangan simpati terhadap
anak-anak, bukanlah orang yang mampu mengajari mereka atau menolong mereka.
Jadi, tataplah semua dengan baik-hati, dengan lembut, dengan toleran; tataplah
mereka sebagai setara, apakah
terhadap kaum Buddhis atau Hindu, kaum Jaina atau Yahudi, kaum Kristiani atau
Muslim.
4. Bergembira.
Anda
mesti memikul karma dengan riang-gembira, betapapun ia adanya. Anda mesti
menganggap penderitaan yang menimpa Anda sebagai suatu penghargaan, sebab
Penguasa Karma[1]
menganggap kalau Anda memang layak untuk ditolong. Seberapa beratpun itu
adanya, bersyukurlah bahwasanya ia masih terpikul oleh Anda.
Ingatlah
bahwa sedikit sekali manfaat Anda bagi Sang Guru, sebelum karma buruk Anda
terkuras habis dan bebas darinya. Dengan mempersembahkan diri Anda kepada-Nya,
Anda juga berarti memohon agar pahala dari karma Anda itu dipercepat kematangannya; dengan begitu, sekarang hanya dalam satu
atau dua kelahiran saja mereka sudah terbakar habis; kalau tidak, bisa saja itu
mesti diselesaikan dalam seratus kali kelahiran dan kematian. Agar bisa
memperoleh hikmah yang
sebesar-besarnya daripadanya, Anda mesti memikulnya dengan riang-gembira,
dengan senang-hati.
Satu
hal penting lainnya adalah, Anda mesti melepaskan
rasa kepemilikan. Karma bisa saja merampas hal-hal yang paling Anda sukai
—bahkan orang-orang yang paling Anda cintai. Kendati demikian Anda harus tetap
bergembira —siap menjadi bagian dari apapun dan dari semuanya. Sang Guru
seringkali perlu mencurahkan kekuatan-Nya kepada orang lain melalui siswa-Nya; Beliau tentu tidak
bisa melakukan itu kalau siswa itu sendiri menyerah kepada depresi. Oleh
karenanya keriangan-hati mesti dijadikan
kebiasaan.
5. Berkonsentrasi.
Satu
hal yang tak boleh absen dari benak Anda adalah mengerjakan tugas Guru. Hal lain manapun datang dalam perjalanan
Anda dan harus Anda kerjakan juga, setidak-tidaknya Anda tidak akan melalaikan
tugas Guru. Dalam menunaikannya tak akan ada halanganpun yang bisa merintangi perjalanan Anda, sebab
segala bentuk bantuan tanpa-pamerih merupakan tugas Guru sendiri, dan Anda
mengerjakannya sebagai persembahan Anda kepada Beliau.
Anda
mesti mencurahkan segenap perhatian
Anda pada setiap tugas yang Anda kerjakan, dengan demikian ia merupakan
persembahan terbaik Anda. Guru yang sama juga pernah menulis: ‘Apapun yang engkau kerjakan, kerjakanlah
sepenuh-hati, layaknya engkau mengerjakannya untuk Tuhan, dan bukannya untuk
orang-orang.’ Di dalam menunaikan tugas, anggaplah kalau sekonyong-konyong
Sang Guru datang memeriksanya; dengan cara seperti itulah hendaknya Anda
mengerjakan semua tugas Anda.
Mereka
yang penuh pengertian akan sangat paham akan semua makna yang terkandung di
dalam ungkapan itu. Ada lagi ungkapan sejenis, yang lebih kuno — ‘Apapun yang tersentuh oleh tangan Anda buat
dikerjakan, kerjakanlah sebaik-baiknya, sekuat daya yang ada.’
Berkonsentrasi
ini juga berarti bahwa, tak ada sesuatupun yang bisa memalingkan Anda lagi —kendati sejenak saja— dari Jalan yang telah
Anda masuki. Tak ada godaan, tak ada kesenangan duniawi, tak ada cinta-kasih
duniawi manapun yang bisa mengurungkan Anda lagi. Sebab Anda sendiri mesti menyatu dengan Jalan; Anda mesti
sedemikian melebur dengannya dan menjadikannya bagian dari sifat alami Anda, sehingga di dalam menjalaninya Anda tak perlu
pikir-pikir lagi, dan tak mungkin berpaling lagi. Anda, Sang Monad[2],
telah memutuskan demikian; bercerai darinya sama artinya bercerai dengan diri
Anda sendiri.
6. Percaya-diri.
Anda
harus mempercayai Guru Anda; Anda juga harus percaya pada diri Anda. Apabila
Anda bertemu dengan Guru, Anda akan sungguh-sungguh mempercayai-Nya, melintasi
banyak kelahiran dan kematian. Kendati Anda belum bertemu dengan-Nya, Anda
tetap harus mencoba menyadari-Nya dan mempercayai-Nya, sebab bila tidak, Anda
tidak akan tertolong; bahkan Beliaupun tidak bisa membantu Anda. Kecuali ada kepercayaan yang sempurna, tidak
akan pernah bisa ada aliran kasih dan daya yang sempurna pula.
Anda
harus punya rasa percaya-diri. Anda mungkin mengatakan kalau Anda juga tahu
betul diri Anda. Bila Anda merasa begitu, Anda sebetulnya tidak tahu diri Anda sendiri; Anda hanya mengetahui kulit
terluarnya yang lemah, yang seringkali dengan mudah terjerembab ke dalam
kubangan lumpur itu. Akan tetapi Anda
—Anda yang sejati— adalah percikan Cahaya Ilahi dari Tuhan Sendiri, dan Tuhan
—yang Mahakuasa— ada di dalam Anda, dimana tiada
yang tidak bisa Anda perbuat bila Anda mau.
Katakanlah
kepada diri Anda sendiri: ‘Apa yang telah
diperbuat oleh manusia, juga bisa dikerjakan oleh manusia lainnya. Saya adalah
manusia, yang juga adalah Tuhan yang bersemayam di dalam jasad manusia ini;
saya bisa melakukan ini, dan saya sanggup.’ Sebab, jika Anda hendak
menyusuri Jalan ini, kemauan Anda mesti bak baja tempaan.
4.8.
Kasih-sayang
Dari semua Kualifikasi Luhur sebelumnya, Kasih-sayanglah yang
terpenting; sebab, jika ia cukup kuat pada kepribadian seseorang, ia akan
mendorong orang itu untuk memiliki yang lainnya, dan yang lain itu tidak akan
sempurna tanpa kasih-sayang.
Ia kerap kali diterjemahkan sebagai hasrat yang kuat untuk bebas dari lingkaran-setan kelahiran dan
kematian, dan untuk manunggal dengan Tuhan[1]. Tetapi hanya mengartikannya demikian akan
terdengar seolah-olah mementingkan diri sendiri, padahal itu baru sebagian dari
maknanya yang begitu luas. Ini bukanlah semata-mata keinginan melainkan
kemauan, hasrat yang kuat, ketetapan hati. Agar berhasil, ketetapan hati ini mesti mengisi seluruh kehidupan Anda, sehingga
tak tersisa lagi ruang bagi bentuk perasaan lain. Inilah sesungguhnya hasrat
yang kuat untuk manunggal dengan Tuhan itu; bukan dalam rangka melarikan diri
dari kesulitan-kesulitan dan penderitaan hidup, melainkan —atas dasar cinta-kasih Anda yang mendalam kepada-Nya—
Anda hendak bertindak bersama Dia dan seperti Dia. Karena Beliau adalah
Kasih-sayang, jika Anda ingin menyatu dengan-Nya, Anda sendiri mestilah
dipenuhi dengan ketidak-mementingkan diri sendiri dan Kasih-sayang yang
sempurna itu juga.
Dalam kehidupan sehari-hari ia punya dua makna; pertama, Anda
mesti benar-benar berhati-hati agar tidak sampai menyakiti makhluk-hidup
manapun[2]; kedua,
hendaklah Anda senantiasa siap-siaga
dalam menyambut setiap kesempatan untuk menolong.
Pertama, jangan menyakiti.
Ada tiga dosa yang menimbulkan derita besar bagi orang lain dibanding yang
lainnya di dunia —fitnah, kebengisan
dan takhayul— sebab mereka
bertentangan dengan Kasih-sayang. Terhadap yang tiga inilah seseorang —yang
berhasrat mengisi hatinya dengan Kasih-sayang Tuhan— mesti senantiasa waspada.
***
Mari kita lihat apa yang diperbuat oleh fitnah. Ia diawali dengan pemikiran jahat, dan ia sendiri adalah
kejahatan. Sebab di dalam diri setiap orang atau di dalam segala sesuatu ada
kebaikan; di dalam diri setiap orang atau di dalam segala sesuatu juga ada
ketidak-baikan. Yang manapun bisa kita perkuat dengan cara memikirkannya,
dimana dengan cara ini kita bisa membantu atau sebaliknya menghalangi evolusi; kita bisa melakukan kehendak Logos[3]
atau sebaliknya menolak-Nya. Jika Anda memikirkan kejahatan orang lain, pada
saat yang sama Anda juga melakukan tiga kejahatan:
1.
Anda telah mengisi pikiran
tetangga Anda dengan pemikiran jahat, bukannya pemikiran luhur, dengan demikian
Anda telah menambah kesengsaraan dunia.
2.
Jika memang benar ada kejahatan
seperti yang Anda sangka itu pada orang itu, Anda telah memperkuat dan
memberinya santapan; dengan begitu Anda telah membuat Sudara Anda lebih buruk
lagi dari sebelumnya, dan bukannya menjadikannya lebih baik. Tetapi umumnya
kejahatan itu tidak ada disana, Anda hanya mengkhayalkannya; dan kemudian
pemikiran jahat Anda itu menggoda Saudara Anda itu untuk melakukan kesalahan,
karena ia sendiri tidak sempurna, Anda bisa membuatnya menjadi apa yang Anda
pikirkan itu.
3.
Anda telah mengisi batin Anda
sendiri dengan pemikiran-pemikiran jahat dan bukannya luhur; dimana dengan
begitu Anda telah menghalangi perkembangan Anda sendiri, dan bagi mereka yang
bisa melihatnya, Anda membuat diri Anda sebagai suatu objek yang buruk-rupa dan
menyedihkan, bukannya seseorang yang cantik dan membangkitkan cinta-kasih.
Tidak puas dengan menghadirkan malapetaka bagi dirinya sendiri
dan korbannya itu, fitnah mencoba lagi dengan sekuat daya mengajak orang-orang
lain sebagai partnernya di dalam tindakan jahatnya ini. Dengan bersemangat ia
menuturkan dongeng jahatnya ini kepada mereka, dengan harapan mereka
mempercayainya; untuk kemudian bergabung bersamanya mencurahkan pemikiran jahat
terhadap penderita malang itu. Ini berlangsung berhari-hari, dimana ini tidak
hanya dilakukan oleh seorang saja melainkan oleh ribuan orang. Apakah Anda
mulai melihat betapa mendasarnya, betapa mengerikannya dosa ini adanya?
Anda harus menghindarinya semasekali. Jangan pernah membicarakan
keburukan siapapun; jangan mau dengarkan kalau siapapun membicarakan kejelekan
orang lain, dan katakanlah dengan sopan: ‘Barangkali itu tidak benar, dan
seandainya benar sekalipun adalah lebih baik tidak membicarakannya.’
***
Sekarang kita lihat kebengisan.
Ada dua jenis kebengisan —yang disengaja
dan tak disengaja. Kebengisan yang
disengaja memang dilakukan dengan maksud untuk menyakiti makhluk lainnya; dan
itu adalah dosa yang terbesar —lebih merupakan kerjanya setans ketimbang
kerjanya manusia. Anda akan berkata bahwa tak ada manusia yang akan tega
melakukan hal seperti itu; akan tetapi orang-orang seringkali melakukannya,
bahkan sekarang-sekarang ini merupakan kerja sehari-harinya. Para penyidik
melakukannya; banyak orang-orang relijius melakukannya atas-nama agama mereka.
Para jagal melakukannya; banyak guru sekolah melakukannya sebagai suatu kebiasaan.
Semua orang-orang ini mencoba mengemukakan pembenaran atas
kekejiannya itu dengan mengatakannya sebagai suatu kebiasaan; akan tetapi suatu
tindak kriminal tidak urung menjadi tidak kejahatan hanya lantaran banyak orang
yang melakukannya. Karma tidak menenggang kebiasaan; dan karma kebengisan ini
merupakan yang terburuk. Di India kebiasaan-kebiasaan ini setidak-tidaknya tak
bisa dimaafkan, sebab kewajiban untuk tidak menyakiti (ahimsa) sudah dikenal luas oleh semua orang. Nasib dari mereka yang
bengis, mereka yang dengan sengaja membantai makhluk ciptaan Tuhan dan
menyebutnya sebagai ‘olah-raga’ (berburu) itu juga seharusnya gugur.
Tidak seharusnyalah Anda melakukan perbuatan seperti itu. Saya
tahu; dan demi menemukan kasih-sayang Tuhan, bilamana Anda kesempatan, Anda
akan berbicara terang-terangan menolak bentuk-bentuk kebengisan yang sengaja
itu.
Namun, seperti hal ada kebengisan dalam tindakan, ada pula
kebengisan dalam ucapan; dimana seseorang yang mengucapkan kata-kata dengan
maksud menyakiti orang lain, bersalah atas tindak kejahatan ini. Yang itupun
seharusnya tidak Anda lakukan; akan tetapi kadang-kadang sepatah kata-kata
ceroboh juga sama menyakitkannya dengan yang didasari oleh iri-dengki. Jadi
Anda mesti selalu waspada terhadap kebengisan yang tak disengaja ini.
Ia biasanya dilakukan tanpa-pikir. Seseorang yang sedemikian
disesaki oleh keserakahan dan ketamakan, dimana tak pernah terpikir olehnya
penderitaan yang ditimbulkannya terhadap orang lain dengan cara terlalu sedikit
menaruh kepedulian kepada mereka, atau membiarkan anak-anak dan istrinya
setengah kelaparan. Yang lainnya hanya memikirkan nafsu-keinginanya sendiri,
dan kecil sekali kepeduliannya terhadap —entah berapa banyak— jiwa dan raga
yang rusak guna memuaskannya. Hanya demi menyelamatkan dirinya dari masalah
untuk beberapa menit saja, seseorang tega tidak membayar upah dari para
pekerjanya tepat waktu; sama sekali tak memikirkan seberapa banyak
kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan pada mereka (dan keluarganya).
Sedemikian banyaknya penderitaan yang disebabkan, hanya lantaran
kecerobohan —dengan lupa memikirkan bagaimana pengaruh suatu tindakan terhadap
orang-orang lainnya. Namun karma tak pernah lupa, fakta bahwasanya orang itu
lupa, tak dijadikannya bahan pertimbangan. Apabila Anda ingin memasuki Jalan,
Anda mesti memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari apa yang Anda perbuat,
supaya Anda jangan sampai berdosa lantaran kebengisan yang tak disengaja.
***
Takhayul merupakan
kejahatan hebat lainnya, yang juga telah mengakibatkan banyak kebengisan
luarbiasa hebat. Orang yang menjadi budak takhayul memandang rendah orang-orang
lain yang (padahal sebetulnya) lebih arif, mencoba memaksanya untuk berbuat
seperti yang ia perbuat. Coba pikirkan pembantaian kejam terhadap binatang yang
diakibatkan oleh takhayul bahwasanya binatang harus dikorbankan, dan masih
lebih bengis lagi adalah, takhayul bahwasanya manusia membutuhkan daging
sebagai makanannya. Pikirkanlah perlakuan —yang berdasarkan takhayul— yang
menempatkan beberapa kelompok orang-orang sebagai kelas rendahan dari
masyarakat India yang kita cintai ini; dan lihatlah betapa sifat jahat ini bisa
mengembang-biakkan kebengisan yang tiada berhati-nurani, kendati di antara
mereka yang mengetahui kewajiban
persaudaraan di antara sesama.
Banyak tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia atas-nama Tuhan Pengasih dan Penyayang,
yang digerakkan oleh mimpi-buruk takhayul ini; sangat berhati-hatilah agar tak
ada jejak-jejaknya yang setipis apapun masih tersisa pada Anda.
Kejahatan-kejahatan besar inilah yang harus Anda hindari sebab
mereka semua fatal bagi kemajuan Anda, karena mereka dosa yang berlawanan dengan kasih-sayang.
Namun Anda tidak hanya harus tidak melakukan tindakan jahat;
Anda juga harus aktif melakukan kebajikan.
Anda mesti sedemikian dipenuhi oleh hasrat yang kuat untuk melakukan pelayanan,
dimana Anda selalu siaga untuk mempersembahkannya kepada semua yang ada di
sekitar Anda —bukan hanya kepada manusia saja, tetapi bahkan kepada binatang
dan tanaman sekalipun. Anda mesti mempersembahkannya melalui hal-hal kecil
setiap hari, dengan begitu kebiasaan luhur ini bisa terbentuk, dengan begitu
Anda tidak sampai melewatkan kesempatan langka tatkala hal yang besar
menawarkan dirinya untuk diperbuat. Karena jika Anda benar-benar rindu untuk manunggal dengan Tuhan, dimana ini bukan
untuk diri Anda sendiri; sementara itu belum tercapai, Anda masih bisa menjadi saluran melalui mana Kasih-sayang-Nya
yang sedemikian agungnya itu mengalir kepada saudara-saudari Anda sesama
manusia.
Ia yang berada di atas Jalan ada bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk yang lainnya; ia
melupakan dirinya sendiri dalam rangka bisa melayani mereka. Ia adalah sebatang
pena di tangan Tuhan melalui mana pemikiran-luhur-Nya bisa mengalir; dan menemukan sendiri suatu ekspresi di bawah
sini, dimana tanpa sebatang pena itu tak bisa dilangsungkan. Sementara itu,
pada saat yang bersamaan, ia juga bak nyala api yang hidup, yang menyinari
dunia dengan Kasih-sayang Ilahi yang memenuhi hatinya.
Kebijaksanaan
yang memungkinkan Anda menolong, kemauan
kuat yang mengarahkan kebijaksanaan itu, kasih-sayang yang menginspirasikan kemauan itu —inilah
kualifikasi-kualifikasi luhur Anda. Kemauan kuat, Kebijaksanaan dan
Kasih-sayang merupakan tiga aspek luhur dari Sang Logos; dimana Anda yang
berhasrat menyerahkan diri Anda guna melayani-Nya, mesti memperlihatkan ketiga
aspek ini di dunia.
[1] Dalam Yoga, khususnya Jñana Yoga, ini disebut mumukshutva.
[2] Apa yang disebut dengan Ahimsa di dalam Yoga Sutra Patanjali.
[3] Disini digunakan istilah Logos. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary memberinya
penjelasan sebagai: [1] Kebijaksanaan Ilahi yang bermanifestasi di dalam
penciptaan, pemerintahan, dan penyelamatan dunia dan seringkali dipersamakan
dengan sosok kedua di dalam Trinitas Kristen, dan [2] Nalar yang dalam filsafat
Yunani merupakan prinsip pengendali di alam semesta.
4.9.
Syair Penutup
Menanti Sabda Sang Guru
Waiting for the word of the Master,
Watching the Hidden Light;
Listening to catch His orders
In the very midst of the fight;
Watching the Hidden Light;
Listening to catch His orders
In the very midst of the fight;
Seeing His slightest signal
Across the heads of the throng;
Hearing His faintest whisper
Above earth's loudest song.
Across the heads of the throng;
Hearing His faintest whisper
Above earth's loudest song.
[Disadari bahwa syair
pujaan ini sebaiknya dibiarkan saja dalam bahasa aslinya, karena akan rusak
keindahannya kalau diterjemahkan. Tetapi, demi mendekatkan dengan pembaca yang
tidak akrab dengan bahasa Inggris, maka kami terjemahkan juga sebisanya]
Menanti
sabda Guru,
Mengawasi
Cahaya Tersembunyi;
Menyimak titah
Guru
Di tengah
pergulatan nan sunyi;
Menangkap
sinyal-Nya yang tersamar
Di seberang
kerumunan orang-orang;
Mendengar
bisik-Nya yang tersayup
Di atas
hentak nyayian dunia yang terbising.
5.
Menyatu dengan Sang Guru
Inisiasi Puncak — Menyatu dengan Sang Guru
Ingram
Smith mengatakan bahwa, dalam suatu percakapannya dengan JK, beliau
memberitahunya kalau suatu hari beliau berjalan menembus bayangan Guru-nya. Dan sejak itulah beliau tidak
menyaksikan lagi bayangannya.
Krishnaji selanjutkan mengatakan
bahwa, dibawah petunjuk Leadbeater ia bangun pukul empat pagi dan bermeditasi
sesuai cara tradisional, dimana kadang kala Kuthumi [Sang Mahatma K.H.] hadir
dan percakapan di antara merekapun berlangsung.
Suatu
pagi, segera setelah matahari terbit —ketika itu Krishnamurti duduk dalam
postur padmãsana menghadap ke Timur—
Kuthumi menampakkan dirinya di pintu. Sampai dengan hari itu pembicaraannya
dengan K.H. telah cukup.
“Hari
itu saya menginginkan lebih dari sekedar bercakap-cakap. Bukan saja saya ingin
merasakan kehadirannya, mendengarkan suaranya, namun benar-benar menyentuhnya,
melakukan kontak sensual dengannya. Sampai dengan hari itu suara beliau
berubah, sesosok kehadiran yang berdiri di pintu. Pagi itu, tatkala sinar
matahari menerobos dengan leluasa ke dalam kamar, Kuthumi berdiri di pintu
dengan punggung menghadap matahari. Saya bangkit, berjalan ke arahnya dan menembusnya. Saya menoleh ke belakang
lagi, tapi tak seorangpun disana. Beliau menghilang. Tak ada siapapun disana.
Dan .....saya tak pernah melihatnya lagi sejak itu.”
[Smith, Ingram; Truth is a Pathless
Land, A Journey with Krishnamurti, Wheaton Il. The Theosophical Publishing
House, 1989: 20-21][1]
Itulah
kesaksian JK tentang ‘penyatuannya dengan Sang Guru’, yang boleh jadi
mengundang berbagai pendapat yang berbeda. Sejak kejadian itu, KH menyatu ke dalam sosok JK secara
lahiriah dan batiniah. Sejak saat itu JK tidak membutuhkan Guru di luar dirinya
lagi. Beliaulah Sang Guru itu sendiri.
Bagi
seorang siswa spiritual ini tentu saja merupakan suatu kejadian besar, sebuah inisiasi puncak —siswa menyatu dengan
Guru. Sangat bisa dimengerti kalau, misalnya, belakangan JK mengatakan kalau
‘tidak ada lagi Guru’.
Bali,
Senin, 5 Pebruari 2007.
6.
Aku datang!
‘Aku datang bagi mereka yang menginginkan simpati,
yang menginginkan kebahagiaan,
yang mendambakan pembebasan,
yang mendamba untuk menemukan kebahagiaan di dalam segala
hal.
Aku datang untuk memperbaiki, bukan untuk meruntuhkan.
Aku datang bukan untuk menghancurkan,
melainkan untuk membangun.’
Tanggal ‘28 Desember’ punya arti
penting bagi para theosofis. Kenapa?
Karena tanggal 28 Desember 1911,
setelah ‘kelahiran seorang Krishnamurti’ yang ditandai dengan diksha oleh Sang Guru Sejati itu, jasad
JK untuk pertama kalinya dipakai oleh —apa yang mereka sebut dengan— Lord
Maitreya[1]. Berikut
peristiwa-peristiwa terkait, yang dikisahkan kembali oleh beberapa petinggi
Masyarakat Theosofi.[2]
“Banyak
anggota T.S. bergabung dengan Perkumpulan Bintang Timur dalam kongres itu, dan
seseorang mengusulkan (secara iseng) bahwa mereka tentu akan senang sekali bila
ketua perkumpulan itu [Krishnamurti] memberikan sendiri kartu keanggotaan
kepada setiap anggota. Ide itu disambut dengan penuh semangat, dan para anggota
lama juga minta diizinkan mengembalikan kartu keanggotaan mereka agar dapat
diterima kembali dari tangan ketua.
Maka
ditetapkanlah waktunya (pukul 6 sore tanggal 28 Desember 1911) dan kami pergi
ke Gedung Seksi India.
Semula kami mengira itu cuma upacara resmi kecil; saya malah meragukan kalau
ketua T.S. [Ny. Besant] akan hadir, karena ia letih setelah berceramah pada
pukul 4 petang.
Hanya
anggota Bintang yang diizinkan masuk, tapi gedung itu penuh; saya perkirakan
ada sekitar empat ratus orang. Kebanyakan mereka duduk di lantai, tetapi ada
satu deret bangku di sepanjang dinding, dan beberapa kursi di satu ujung
ruangan. Ketua T.S. dan saya duduk bersama Ny. Arundale [bibi George] dan Nitya
serta beberapa orang lainnya di kursi, dan bangku-bangku diisi terutama oleh
nyonya-nyonya Eropa.
Acaranya
adalah, ketua [Krishna] akan berdiri di depan kami, bersama Telang
[wakil dari India] di
sampingnya. Para anggota akan berbaris, masing-masing akan menyerahkan
kartunya
kepada Telang, yang akan membacakan namanya, lalu menyerahkan kartu itu
kepada Krishna, yang akan mengembalikannya kepada pemiliknya.
... dua atau tiga anggota pertama menerima kartu mereka dengan
membungkuk dan
tersenyum, lalu kembali ke tempat semula.
Lalu
tiba-tiba gedung itu dipenuhi suatu kekuatan yang amat besar, yang begitu jelas
mengalir melalui Krishna, sehingga anggota
berikutnya jatuh bersujud di kakinya
terlanda arus kekuatan yang amat luhur itu.
Saya
belum pernah melihat atau merasakan apapun yang serupa itu; itu mau tidak mau
mengingatkan kita akan angin besar yang bertiup pada waktu Roh Kudus melimpah
pada peristiwa Pantekosta. Ketegangannya amat besar, dan setiap orang di
ruangan itu terpengaruh dengan kuat. Itu persis seperti yang kita baca di
kitab-kitab suci tua, yang kita sangka dilebih-lebihkan itu; tetapi itu terjadi
sekarang, pada abad kedua puluh.
Setelah
itu setiap orang bersujud ketika gilirannya tiba; banyak di antaranya dengan
air mata mengalir di pipi mereka. Pemandangan itu benar-benar patut menjadi
kenangan, karena arus penganut itu amat representatif sifatnya. Ada anggota
dari hampir setiap negara di Eropa, dari Amerika, dan dari seluruh bagian
India; amat mencolok dan indah melihat kulit putih dan kulit hitam
bersama-sama, kaum Brahmana dan Buddhis, Parsi dan Kristen, pangeran-pangeran
Rajput yang dimuliakan dan usahawan yang berpakaian mewah, orangtua beruban dan
anak-anak muda, semua bersujud dengan penuh bakti di kaki Krishna kami. Berkah
yang mengalir keluar begitu jelas terasa sehingga setiap orang yang hadir ingin
menerimanya, dan mereka yang tidak memegang kartu anggota, melepaskan lencana
Bintangnya dan menyerahkannya, agar mereka juga dapat langsung menerima sesuatu
dari tangannya.
Sepanjang
waktu itu ia berdiri dengan anggun dan tetap tenang dan sadar, dengan lembut
tersenyum kepada mereka, dan menjulurkan tangannya memberi berkah kepada setiap
orang yang bersujud berganti-ganti. Saya rasa puncak dari peristiwa yang
memukau secara aneh ini adalah ketika Nitya kami tersayang bersujud di depan
kaki kakaknya, dan seluruh hadirin serentak bertepuk-tangan.
Saya
tidak tahu mengapa pada waktu itu saya merasa kejadian itu sama sekali bukan
tidak hormat, melainkan tepat dan wajar sepenuhnya.
Ketika
orang yang terakhir dari kelompok besar itu selesai memberi penghormatannya, Krishna
kembali ke tempat duduknya di antara kami; ada beberapa menit keheningan yang
penuh kebahagiaan, kekaguman dan harapan dalam diam.
Lalu
Ketua Umum T.S. berbisik kepada Krishna untuk
menutup pertemuan itu, dan iapun berdiri dan menjulurkan tangannya di atas
kepala hadirin, seraya berkata dengan
khidmat: ‘Semoga berkah Lord [Maitreya]
yang agung menyertai Anda selamanya.’
Dan
kamipun turun kembali ke dunia sehari-hari, meninggalkan gedung itu disertai
perasaan bahwa kami telah melewati salahsatu pengalaman terbesar dalam hidup
kami. ...”[3]
Pada tanggal 28 Desember [1925], di
bawah pohon beringin besar, Kongres Bintang membuka pertemuannya. Disitulah
terjadi sesuatu. Krishnamurti tengah berpidato tentang kedatangan Guru Dunia yang sudah dekat. Beberapa orang merasakan
sesuatu akan terjadi dan menularkan kegairahan mereka itu kepada orang lain
dalam kelompok itu.
“Pada 28 Desember 1925, saya
menyaksikan suatu peristiwa unik. Pada pertemuan Kongres Bintang di bawah pohon
beringin di Adyar pada pukul 8 pagi, ketika pengeras suara mati, suatu
peristiwa dramatis terjadi ketika Krishnaji tengah memberi ceramah. Itu terjadi
pada bagian akhir ceramahnya.
Ia tengah berbicara tentang Guru
Dunia; tiba-tiba suaranya berubah menjadi amat merdu namun penuh kuasa, dan
dengan kekuatan gelombang welas-asih yang besar ia meneruskan: ‘Ia datang hanya kepada mereka yang
menghendaki, yang menginginkan, yang mendambakan’ —lalu suaranya berubah
menjadi lain —-tenang, damai, dan berdentang bunyinya.
Ia berkata, ‘Aku datang bagi mereka yang menginginkan simpati, yang menginginkan
kebahagiaan, yang mendambakan pembebasan, yang mendambakan menemukan
kebahagiaan di dalam segala hal. Aku datang untuk memperbaiki, bukan untuk
meruntuhkan. Aku datang bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk membangun.’”
[Kesaksian Russell Balfour Clarke]
“Sekali melalui bibir wahana yang
dipakai-Nya, pada tanggal 28 Desember [1925] lalu, Ia berbicara untuk pertama
kali di dunia kita yang rendah ini setelah dua ribu tahun lamanya.
Krishnamurti berpidato, dan jelas
terlihat ia berada di bawah pengaruh kuat sebelum ia sepenuhnya dirasuki; saya
akan membacakan apa yang dikatakannya, karena hal itu menunjukkan pengaruh yang
pada waktu itu menguasainya.
Ia tengah berpidato tentang Guru
Dunia: ‘Kita semua mengharapkan
kedatangan-Nya, Yang adalah Teladan, Yang adalah perwujudan Kemuliaan. Tak lama
lagi Ia akan bersama kita, sekarang Ia bersama kita. Ia datang untuk menuntun
kita menuju kesempurnaan yang disitu terdapat kebahagiaan abadi; Ia datang untuk
menuntun kita, dan Ia datang kepada mereka yang tidak mengerti, yang menderita,
yang tidak bahagia, yang tidak tercerahkan. Ia datang kepada mereka yang
menghendaki, yang menginginkan, yang mendambakan.’
Si pembicara mulai, dan berhenti
sebentar, lalu sebuah suara lain berdentang melalui bibirnya, suara yang tidak
pernah terdengar di muka bumi sejak dua ribu tahun lalu: ‘Aku datang bagi mereka yang menginginkan simpati, yang menginginkan
kebahagiaan, yang mendambakan pembebasan, yang mendambakan untuk menemukan
kebahagiaan di dalam segala hal; aku datang untuk memperbaiki, bukan untuk
meruntuhkan; bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk membangun.’”
[Kesaksian Annie Besant, 1926]
Suara Krishnamurti bertambah kuat dan
bertambah kuasa ketika ia bicara. Lalu, ketika ia berubah berbicara sebagai
orang pertama dan berkata dengan nada penuh welas-asih dan menggemparkan, “Aku datang,” suatu aliran listrik
merambat di kalangan pendengar.
Kelak Annie Besant berkata,
“Peristiwa [pada tanggal 28 Desember 1925] itu menandai penahbisan yang pasti
dari wahana yang terpilih ... kedatangan-Nya telah dimulai.”
Saksi lainnya menuturkan:
Keesokan harinya, 28 Desember [hari
yang dianggap suci sejak tahun 1911, ketika K berbicara dengan suara berubah
dan menandakan otoritas], dimulai Kongres Perkumpulan Bintang Timur. Pada
pertemuan pertama di bawah pohon beringin pada pukul delapan pagi, dengan
pengeras suara dimatikan, terjadi suatu perubahan dramatis ketika K berbicara.
Ia tengah berbicara tentang Guru
Dunia: “Ia datang kepada mereka yang
menghendakinya, yang menginginkannya, yang mendambakannya, ...” lalu
suaranya berubah sama sekali dan berkata lantang, “Aku datang bagi mereka yang menghendaki simpati, yang menghendaki
kebahagiaan, yang mendambakan pembebasan, yang mendambakan untuk menemukan
kebahagiaan di dalam segala sesuatu. Aku datang untuk memperbaiki dan bukan
untuk meruntuhkan; Aku datang bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk
membangun.”
Bagi mereka yang menyadari
perubahannya ke orang pertama dan perbedaan suara itu, pengalamannya itu
mendirikan bulu roma. Di antaranya ada beberapa yang tidak merasakan apa-apa,
termasuk —tidak mengherankan— Wedgwood dan suami-istri Arundale. Mereka
menganggap kalau ia cuma “mengutip dari kitab suci”.
Karena K tidak pernah mengutip dari
kitab suci sebelum ini, mereka seharusnya melihat perbedaan itu. Ny. Besant,
Leadbeater dan Raja jelas sangat sadar akan perubahan itu, dan Ny. Besant
sering mengacu pada kejadian itu di belakang hari.
Pada pertemuan terakhir Kongres
Bintang itu, Ny. Besant berkata: “... peristiwa [pada tanggal 28 Desember] itu
menandai dengan jelas peresmian wadah
yang terpilih. ... penerimaan terakhir dari badan jasmani yang telah lama
terpilih. ... Peristiwa Kedatangan telah mulai. ... Bahwasanya ada penentangan,
itu wajar; apakah orang Yahudi mengakui-Nya, dan orang Romawi menerima-Nya,
ketika Ia pertama kali datang dalam jasmani seorang bangsa jajahan? Sejarah
berulang kembali di depan mata kita. ...”
Dan dalam majalah “The Theosophist”,
Ny. Besant menulis, “Untuk pertama kali Suara yang berbicara tidak seperti
manusia biasa berbicara, telah terdengar kembali di jalan kita yang rendah, di
telinga kumpulan besar yang duduk di bawah pohon beringin, pada 28 Desember ...
dan kita tahu, bahwa masa penantian telah berakhir, dan bahwa Bintang Timur telah terbit di ufuk.”
K sendiri tidak ragu-ragu. Berbicara
kepada para wakil bangsa-bangsa pada akhir Kongres Bintang, ia
berkata: “Kalian telah minum dari mata
air kearifan dan pengetahuan. Kenangan tanggal 28 [Desember 1925] hendaknya
bagi kalian seolah-olah menjaga permata berharga, dimana setiap kali kalian
memandangnya kalian akan merasakan getarannya. Maka bila Dia datang kembali,
dimana saya yakin Dia memang segera akan datang kembali, bagi kita itu akan
menjadi peristiwa yang lebih mulia dan lebih indah dibandingkan peristiwa yang
lalu.”
Bali, Selasa, 06 Februari 2007.
[1] Kebanyakan umat Buddha,
terutama dari kalangan Mahayana, percaya kalau Maitreya adalah Buddha masa
depan, penerus Buddha Sakyamuni. Sebelum beliau hadir di dunia, beliau masih
seorang boddhisattva —Boddhisattva Maitreya, Boddhisattva Persahabatan dan
Kasih-sayang.
[2] KALEIDOSKOP
KRISHNAMURTI(07) , KALEIDOSKOP KRISHNAMURTI(13) dan KALEIDOSKOP
KRISHNAMURTI(21) , terjemahan dan kiriman Hudoyo Hupudio via milis semedi.
[3] Surat C.W.L. kepada Fabrizio Ruspoli, Arsip Adyar, Madras, 31 Desember
1911.
7.
Mabuk Illahi
Sumber Kebenaran telah terbuka bagiku dan
kegelapan telah lenyap.
Pada tahun 1922, dalam usia 27 tahun,
Krishnamurti mengalami proses Pencerahan yang berlangsung selama 3 hari [17
Agustus - 20 Agustus 1922], di mana ia mengalami kesadaran yang berubah: “... Ada seseorang tengah memperbaiki jalan,
orang itu adalah aku; beliung yang dipegangnya adalah aku; batu yang tengah
dipecahnya adalah bagian dariku; helai rumput yang rapuh adalah aku; dan pohon
di samping orang itu adalah aku.”
Dan pada akhir proses Pencerahan itu ia
menyatakan: “Aku sangat berbahagia karena aku telah melihat. Tak ada
yang akan kembali seperti dulu lagi. Aku telah minum air yang jernih dan murni
dari sumber mata air kehidupan, dan dahagaku telah terpuaskan. Tak akan pernah
lagi aku berada dalam kegelapan; aku telah melihat Cahaya itu. ... Aku telah
menyentuh welas-asih yang menyembuhkan segenap kesedihan dan penderitaan; itu
bukan untukku sendiri, melainkan untuk dunia. Sumber Kebenaran telah terbuka
bagiku dan kegelapanpun telah lenyap. Kasih dalam seluruh kemegahannya
telah memabukkan hatiku; hatiku tak akan pernah tertutup lagi. Aku telah minum
dari pancuran Sukacita dan Keindahan Abadi.”
Ia menggambarkan dirinya “mabuk Illahi”[1].
Bagaimana lengkapnya kejadian yang disebut
“mabuk Ilahi” itu, yang juga disebut-sebut sebagai sebuah “titik-balik”
kehidupan seorang J. Krishnamurti itu? Berikut dikutipkan apa yang ditulis oleh
Mary Lutyens, salah seorang penulis biografinya yang sangat dekat dengan
beliau.[2]
Nitya[3]
menceritakan peristiwa-peristiwa yang aneh itu dalam sebuah surat kepada Ny.
Besant:
“.....
Sekitar dua minggu lalu terjadilah peristiwa yang ingin saya ceritakan kepada
Anda ini, bila kita berlima bisa bertemu kembali.
Pada hari
Kamis malam tanggal 17 [Agustus 1922], Krishna merasa sedikit lelah dan gelisah
dan kami melihat di tengah tengkuknya ada
benjolan yang terasa nyeri, yang tampaknya sebuah otot yang menggumpal dan
mengeras, kira-kira sebesar kelereng besar. Keesokan harinya ia tampak
membaik, sampai sesudah sarapan, ketika ia berbaring untuk beristirahat ... ia
berbaring di tempat tidur, membolak-balik tubuhnya, dan mengerang seolah-olah
sangat kesakitan ... Ia mulai mengerang lagi, dan tiba-tiba gemetar, ia
mengatupkan giginya dan berpegang erat untuk menghentikan gemetarnya itu;
persis seperti perilaku seorang yang sakit malaria, selain Krishna mengeluh
tentang rasa panas yang menakutkan ... Suatu
proses tertentu tengah berlangsung dalam tubuh Krishna, sebagai hasil pengaruh
yang dikirimkan dari alam-alam non-fisik ... Di pagi hari keadaannya
memburuk, dimana ketika saya datang dan duduk di dekatnya, ia mengeluhkan lagi
rasa panas yang tidak mengenakkan itu, dan berkata bahwa kami semua sangat
cemas sehingga membuatnya letih; dan setiap beberapa menit ia bangkit di tempat
tidurnya dan mendorong kami pergi; dan iapun mulai gemetar lagi.
Semua ini
terjadi ketika ia setengah-sadar, karena ia lalu bicara tentang Adyar dan
orang-orang yang ada disana seolah-olah mereka ada disini; lalu ia akan diam
lagi sebentar, sampai bunyi gesekan tirai atau gerit jendela atau suara bajak
di kejauhan akan membangunkannya lagi dan ia mulai mengerang meminta agar kami
semua diam.
Saya duduk
di dekatnya, tapi tidak terlalu dekat. Kami berupaya sebaik-baiknya agar rumah
itu sunyi dan gelap, tetapi bunyi-bunyi halus yang hampir tak terdengar tidak
bisa dihindarkan; Krishna menjadi begitu peka sehingga bunyi denting yang
paling halus sekalipun bisa membuatnya tegang.... Beberapa menit kemudian, ia
mengerang kembali, dan tak lama kemudian, kasihan dia, ia tidak dapat menahan
makanan yang dimakannya.
Begitulah
semua itu berlangsung sepanjang petang; gemetar, mengerang, gelisah, hanya
setengah-sadar, dan selama itu ia seakan-akan tampak kesakitan.
... Krishna
tampak jauh lebih memburuk, ia tampak sangat menderita, gemetar dan panasnya
tampak lebih hebat dan kesadaraannya lebih terputus-putus. Tatkala ia tampak
lebih sadar dan dapat mengendalikan tubuhnya, ia selalu bicara tentang Adyar,
dan ia terus-menerus merasa dirinya ada di Adyar. Lalu ia berkata, ‘Saya ingin
pergi ke India! Mengapa saya dibawa kemari? Saya tidak tahu ada dimana,’ dan
berkali-kali ia berkata, ‘Saya tidak tahu ada dimana.’
Namun
menjelang pukul enam, ketika kami makan malam, ia menjadi tenang sampai kami
selesai makan. Lalu tiba-tiba seolah-olah seluruh
rumah itu terisi suatu kekuatan yang menakutkan, dan Krishna seolah-olah
kesurupan. Dengan suara penuh kesakitan ia berkata ingin pergi ke hutan.
Sekarang ia tersedu-sedu keras, kami tidak berani menyentuhnya dan tidak tahu
apa yang mesti dilakukan; ia meninggalkan tempat tidurnya dan duduk di lantai
di sebuah sudut kamar yang gelap, dan terus tersedu-sedu sambil berkata ingin
pergi ke hutan di India.
Tiba-tiba
ia berkata menyampaikan maksudnya ingin pergi berjalan-jalan sendirian, namun
kami berhasil membujuknya untuk tidak melakukannya, karena kami menganggap ia
sedang tidak sehat untuk berjalan-jalan di malam hari. Lalu, karena ia berkata
ingin berada sendirian, kami meninggalkannya dan berkumpul di beranda, dan
setelah beberapa menit ia datang bergabung dengan kami kembali, memegang
bantal, dan duduk sejauh mungkin dari kami. Ia mendapat cukup kekuatan dan
kesadaran untuk ke luar, tetapi setelah di luar, kami kehilangan dia lagi;
tubuhnya yang menggumamkan kata-kata yang tidak jelas artinya selama duduk di
beranda.
Kemudian
Pak Warrington punya ide cemerlang. Di depan rumah, beberapa meter dari rumah,
berdiri sebatang pohon merica muda, dengan daun yang lembut berwarna hijau
muda, dan saat itu penuh dengan bunga yang harum baunya. ... Dengan lembut
Krishna disarankannya keluar dan duduk di bawah pohon itu; mulanya Krishna
menolak, tapi akhirnya ia keluar juga.
Kami berada
di kegelapan yang hanya disinari bintang-bintang, dan Krishna duduk dipayungi
dedaunan yang tampak gelap dengan latar-belakang langit. Ia masih menggumam
tanpa sadar, tapi tak lama kemudian ia menghela napas lega dan ia memanggil
kami, ‘Oh, mengapa kalian tidak menyuruhku kesini dari tadi?’ Kemudian ada
keheningan sebentar.
Sekarang ia
mulai menyanyikan kidung-kidung. Hampir tidak ada makanan yang masuk ke
mulutnya selama hampir tiga hari, dimana tubuhnya kehabisan tenaga karena
ketegangan yang intens itu; kami mendengar suara yang lirih kelelahan,
mengidungkan mantram-mantram yang dikidungkan setiap malam di Adyar. Lalu
hening.
... Kami
duduk dengan mata terpaku menatap pohon itu, bertanya-tanya dalam hati apakah
semuanya beres, karena sekarang ada keheningan sempurna, dan ketika kami
memandang, tiba-tiba saya melihat untuk
sesaat sebuah bintang besar bersinar di atas pohon itu, dan saya tahu bahwa
tubuh Krishna tengah dipersiapkan bagi Pribadi nan Mahaluhur ...
Tempat itu
tampak dipenuhi suatu kehadiran yang luhur, dan saya dipenuhi oleh keinginan
untuk datang berlutut dan bersujud, karena saya tahu dengan sepenuh hati, Tuhan
yang Mahaluhur Sendiri telah datang, dan sekalipun kami tidak melihat-Nya,
namun kami semua merasakan kecemerlangan Kehadiran-Nya.
... Kecemerlangan dan keagungan banyak makhluk
yang hadir disitu selama hampir setengah jam ... Lalu, tidak lama kemudian,
kami mendengar langkah Krishna dan melihat sosoknya yang putih muncul dari
kegelapan, dan selesailah semuanya.
... Hari
berikutnya Krishna mulai kembali gemetar dan setengah sadar, sekalipun kini
berlangsung hanya beberapa menit dan diselingi interval yang panjang. Sepanjang
hari ia berbaring di bawah pohon itu dalam samadhi,
dan di waktu malam ia duduk bermeditasi seperti pada malam sebelumnya ...
Sejak itu
setiap malam ia duduk bermeditasi di bawah pohon itu. Saya menceritakan apa
yang saya lihat dan dengar, tetapi efek dari peristiwa itu terhadap kami semua
belum saya ceritakan, oleh karena saya rasa butuh waktu untuk itu,
setidak-tidaknya buat saya, untuk menyadari sepenuhnya keagungan berkah yang
kami saksikan, sekalipun saya sekarang merasa bahwa hidup ini hanya dapat dijalani dengan satu cara, yakni melayani Tuhan.”
Semua itu adalah penuturan Nitya lewat suratnya. Namun bagaimana
penuturan JK sendiri akan apa yang dialaminya selama 3 hari itu?
***
Tentang peristiwa yang luar biasa itu, belakangan Krishnamurti
menuliskan sendiri kisahnya:
“Pada
tanggal 17 Agustus [1922], saya merasakan nyeri hebat di kuduk saya dan saya
harus mengurangi meditasi saya sampai menjadi lima belas menit. Nyeri itu,
alih-alih menjadi reda seperti yang saya harapkan, malah kian memburuk.
Klimaksnya terjadi pada tanggal
sembilan belas. Saya tidak bisa berpikir, saya juga tidak
bisa melakukan apa-apa, dan saya dipaksa oleh teman-teman disini untuk masuk ke
tempat tidur. Lalu saya hampir tidak sadar, sekalipun saya sadar akan apa yang
berlangsung di sekitar saya. Saya sadar kembali sekitar tengah hari setiap
hari.
Pada hari
pertama, sementara saya berada dalam keadaan
itu dan lebih sadar akan hal-hal di sekitar saya, saya mengalami sesuatu
yang amat luarbiasa.
Ada orang
tengah memperbaiki jalan; orang itu saya sendiri; beliung yang dipegangnya
adalah saya sendiri, batu yang dibelahnya adalah bagian dari saya sendiri;
rumput halus disitu adalah diri saya sendiri, dan pohon di dekat orang itu
adalah saya sendiri. Saya nyaris bisa merasa dan berpikir seperti pekerja
perbaikan jalan itu, dan saya bisa merasakan angin berhembus melalui pohon, dan
semut kecil pada helai rumput bisa saya rasakan. Burung-burung, debu, dan suara
bising adalah bagian dariku.
Lalu ada
sebuah mobil melintas di kejauhan; sayalah si pengemudi, mesin dan bannya,
sementara mobil itu menjauh dari saya, sayapun menjauh dari diri saya. Saya ada di dalam segala sesuatu, atau lebih
tepat segala sesuatu ada di dalam saya, entah benda mati entah makhluk
hidup, pegunungan, cacing, dan semua yang bernapas. Sepanjang hari saya berada
dalam keadaan yang berbahagia ini.
... Pagi
berikutnya [20 Agustus 1922] hampir sama dengan hari sebelumnya, dan saya tidak
bisa mentolerir terlalu banyak orang di kamar. ... Akhirnya saya keluar ke
beranda dan duduk selama beberapa saat, kelelahan, namun sedikit lebih tenang.
Saya mulai sadar akan diri saya, dan akhirnya Pak Warrington menyuruh saya
duduk di bawah pohon merica, yang ada di dekat rumah. Di sana saya duduk
bersila dalam postur meditasi.
Setelah
saya duduk seperti itu beberapa lama, saya merasa
keluar dari badan saya; saya melihat tubuhku duduk di bawah dengan dedaunan
yang halus dari pohon itu memayunginya. Saya menghadap ke timur. Di hadapan
saya ada tubuh saya, dan di atas kepala saya, saya melihat bintang itu,
cemerlang dan cerah. ...
Saya masih
bisa melihat tubuh saya, dan saya
melayang di dekatnya. Ada keheningan begitu dalam di udara maupun di dalam
diri saya; keheningan dari dasar telaga yang tak terselami dalamnya. Seperti
telaga, saya merasa jasad fisik saya, beserta pikiran dan emosinya, bisa
berguncang permukaannya tapi tidak satu pun, ya tidak satu pun, dapat
mengganggu keheningan jiwa saya. Kehadiran
makhluk-makhluk luhur berada bersamaku untuk beberapa lama, untuk kemudian
pergi.
Saya sangat
berbahagia, karena saya telah melihat.
Tidak ada yang akan kembali seperti dulu lagi. Saya telah minum air yang jernih
dan murni dari sumber mata air kehidupan dan kehausan sayapun telah terpuaskan.
Saya tak akan pernah haus lagi, saya tidak akan pernah berada dalam kegelapan
menyeluruh lagi. Aku telah melihat Cahaya
itu. Aku telah menyentuh welas-asih yang menyembuhkan semua kesedihan dan
penderitaan; itu bukan untuk diriku
sendiri, melainkan untuk dunia. ...”
Bali, Selasa, 06 Pebruari 2007.
[1] DUDUK DIAM DENGAN BATIN YANG HENING; dikumpulkan,
diterjemahkan dan disunting oleh: Hudoyo Hupudio; hal. 133 – 134.
[2] KALEIDOSKOP
KRISHNAMURTI(10) dan KALEIDOSKOP KRISHNAMURTI(11) terjemahan dan kiriman Hudoyo
Hupudio via milis semedi pada sekitar akhir Pebruari 2003.
[3] Nitya adalah adik lelaki JK. Mereka
berdua diadopsi oleh Annie Besant mewakili masyarakat Theosofi. Nitya sendiri
wafat karena TBC 3 tahun kemudian, pada pertengahan bulan Nopember 1925.
8.
Proses Pencerahan seorang Jiddu Krishnamurti
Guna menemukan Kebenaran adalah perjuangan terus-menerus,
karena saya tidak puas dengan otoritas orang lain,
atau pemaksaan orang lain, atau bujukan orang lain;
saya ingin menemukan sendiri,
dan tentu saja saya harus menempuh penderitaan untuk itu.
~ J.
Krishnamurti; “Who Brings the Truth?”, 1927.
Bila kita cermati alur kronologis
dari Proses Pencerahan JK, akan terlihat betapa menentukannya buklet pra-diksha-nya itu. Penulisannya merupakan
sebuah momentum penting dalam ‘karier’ seorang JK, yang menandai awal
kelahirannya secara resmi di khasanah spiritual dunia.
Secara kronologis proses itu bisa
dirunut sebagai berikut:
1. Penulisan buklet
“At the Feet of the Master” sebagai prasyarat diksha, sekitar bulan Desember 1910. Buklet ini dipublikasikan
oleh Masyarakat Theosofi pada awal 1911. Ketika ini JK tinggal di London - Inggris.
2. Penyatuan dengan
Sang Guru, Mahatma Koot Hoomi.[1] Tidak
diperoleh informasi kapan persisnya peristiwa penting ini terjadi, namun
diperkirakan antara publikasi buklet itu, Januari 1911, dan sebelum tanggal 28
Desember 1911.
3. Tanda pertama
kali bahwa Sang Guru Jagat —yang dalam hal
ini dianggap dan disebut sebagai Lord Maitreya— berkenan menggunakan jasad JK sebagai wadah-Nya. Peristiwa inilah
yang terjadi pada tanggal 28 Desember 1911, saat diadakannya upacara penyerahan
kartu anggota “The Order of the Star in the East” secara langsung oleh
ketuanya, JK, di Gedung Seksi India
di London -
Inggris.
4. Mabok Ilahi selama tiga hari —dari tanggal 17 Agustus sampai 20
Agustus 1922— yang disebut-sebut juga sebagai bangkitnya Kundalini Shakti dari
JK. Kejadian ini berlangsung di Ojai,
California, USA.
Ternyata, menurut kesaksian Helen Knothe Nearing dalam
wawancaranya dengan Evelyne Blau, kejadian serupa berulang kembali pada tahun
1923, ketika beliau ada di Ehrwald, di daerah Tyrol, Austria[2].
5. Kehadiran Sang
Guru Jagat —melalui badan wadag JK— untuk kedua kalinya pada tanggal 28
Desember 1925, saat berlangsungnya Kongres Bintang Timur di bawah pohon
beringin di Adyar - India,
yang memastikan bahwa melalui jasad beliaulah ajaran-ajaran-Nya akan
disampaikan kepada dunia.
Selain itu, sebetulnya masih ada sekurang-kurangnya tiga
kejadian penting di dalam kehidupan JK, yang agaknya sangat berpengaruh bagi rentang
kehidupannya yang selama 91 tahun —yang sebagian besar dihabiskannya
berkeliling memberi ceramah, berdialog, berdiskusi dan melakukan tanya-jawab
dengan berbagai kalangan— itu. Tiga kejadian itu adalah:
1. Wafatnya
Nityãnanda, adiknya, di Ojai - California
pada tanggal 11 Nopember 1925 —yang beritanya beliau terima melalui telegram
pada tanggal 13 November 1925 di atas kapal “Ormuz” persis di Terusan Suez
dalam perjalanan laut dari Inggris menuju India guna menghadiri Konvensi
Jubileum Theosofi;
2. Pembubaran “The
Order of the Star in the East” —yang
dipersiapkan Annie Besant untuknya itu— di Ommen - Belanda pada tanggal 2 Agustus
1929 yang menggemparkan itu, dimana tak
lama kemudian Annie Besant mulai jatuh sakit dan mangkat pada tanggal 20
September 1933 di Adyar, Madras - India; dan
3. Setahun kemudian, pada tahun 1930, beliau secara resmi keluar dari Masyarakat
Theosofi yang didirikan oleh HP. Blavatsky itu.
Sejak pembubaran Perkumpulan Bintang
Timur itulah JK dianggap ‘sendirian’, terlepas dari Masyarakat Theosofi yang
melahirkan dan membesarkannya itu. Beliau kini berkeliling menyampaikan
ajaran-ajarannya[3] tak lagi
membawa bendera Masyarakat Theosofi,
melainkan benderanya sendiri. Beliau juga dikenal ‘anti organisasi’.
Namun, entah atas pertimbangan apa, sekitar
tahun 1969, di California - Amerika Serikat beliau akhirnya ‘terbujuk’ juga
untuk mendirikan organisasi —apa yang dikenal sekarang sebagai— Krishnamurti
International Foundation itu.
Bali, Kajeng Kliwon Uwudan, Rabu, 07 Februari 2007.
[1] Nama beliau ini juga
seringkali dieja “Kuthumi”.
[2] Ketika itu Helen Knothe
masih seorang gadis. Belum bersuamikan Tuan Scott Nearing, darimana nama
belakang ‘Nearing’ diperolehnya.
Ia adalah gadis pertama yang singgah di hati pemuda Krishnamurti.
[3] baca “The Core of Teachings”
9.
Appendiks:
·
Appendiks I: Sadhana Chatushtaya.
Sadhana
Chatushtaya
Oleh:
Sri Swami Sivananda Sarasvati.
Jñana Yoga dari Brahma Vidya
atau pengetahuan Diri-Jati bukanlah pelajaran yang bisa dimengerti dan
direalisasikan melalui pembelajaran intelektual, penalaran, rasiosinasi,
melalui diskusi ataupun argumentasi-argumentasi. Ia adalah pengetahuan yang
tersulit di antara semua pengetahuan.
Oleh karenanya, seorang siswa yang menyusuri jalan
Kesujatian, pertama-tama harus memperlengkapi dirinya dengan Sadhana Chatushtaya —“empat daya
pembebas”. Mereka adalah daya pemilah-milah, ketidak-gemaran atau
ketidak-terikatan, enam sekawan sifat-sifat luhur, dan hasrat yang kuat akan
kebebasan —Viveka, Vairagya, Shad-Sampat dan Mumukshutva. Hanya
sesudahnyalah ia akan bisa melangkah ke depan di jalur ini dengan tegap, tanpa
rasa takut. Tak ada kemajuan spiritual sekecil apapun yang dimungkinkan kecuali
seseorang telah terberkati dengan keempat kwalifikasi ini.
Keempat daya pembebas ini setua Veda-veda dan dunia ini
sendiri. Setiap agama menyodorkannya
sebagai resep; sebutannya boleh saja berbeda antara satu dengan yang
lainnya, namun intinya tetap sama karena ia bersifat immaterial. Hanya orang-orang bodoh sajalah yang punya kebiasaan
yang tidak diinginkan berupa merisaukan urusan lingual serta mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan
yang tak perlu. Jangan pedulikan mereka. Adalah kewajiban Anda untuk makan buah
dan bukannya membuang-buang waktu untuk menghitung-hitung daun dari pohonnya.
Sekarang cobalah memahami keempat daya pembebas yang esensial ini.
Viveka adalah daya pemilah-milah
antara yang sejati dan yang semu, antara yang permanen dan yang impermanen,
antara Sang Diri dan bukan-diri. Viveka
diturunkan kepada seseorang melalui anugrah Tuhan. Dan anugrah itu sendiri
diturunkan hanya sesudah orang itu tak henti-hentinya melaksanakan pelayanan tanpa pamerih di dalam tak
terhitung kelahiran, dengan anggapan bahwa ia hanyalah sebuah instrumen di
tangan Tuhan, dimana segenap karyanya itu adalah persembahannya kepada Tuhan.
Pintu menuju derajat batiniah yang lebih tinggi terbuka lebar manakala ada
kebangkitan daya pemilah-milah ini.
Ada suatu keabadian, prinsip yang tiada berubah di
tengah-tengah fenomena yang senantiasa berubah-ubah dari semesta raya dan
gerakan-gerakan yang cepat serta pusaran-pusaran dari pikiran ini.
Sang penekun juga harus memisahkan-dirinya dari ‘enam
gelombang samudra Samsara’—kelahiran
dan kematian, lapar dan haus, serta kegembiraan dan kesedihan. Kelahiran dan
kematian milik tubuh fisikal ini; lapar dan haus adalah milik dari Prana, daya vital; kegembiraan dan
kesedihan adalah milik dari duet pikiran-perasaan. Sang Jiva tiada melekat.
‘Keenam gelombang’ itu tak bisa menyentuh Brahman,
yang sehalus ether yang menyusupi segalanya.
Guyub dengan para suciwan (satsanga) dan pembelajaran pustaka-pustaka Vedantik akan
mencurahkan daya pemilah-milah. Viveka
haruslah dikembangkan hingga derajat maksimum. Seseorang mesti mantap betul di
dalamnya.
Vairagya adalah ketidak-terikatan pada
kesenangan-kesenangan duniawi pun surgawi. Vairagya yang lahir dari Viveka tahan selamanya. Ia tidak akan memerosotkan sang penekun.
Akan tetapi, Vairagya kepada wanita
yang datang sementara saat ia melahirkan atau manakala menghadiri kremasi
misalnya, tidaklah banyak gunanya. Pandangan bahwasanya segala sesuatunya di
dunia ini semu adanya, juga
menyebabkan sikap acuh-tak-acuh terhadap kesenangan-kesenangan duniawi dan
surgawi. Seseorang mesti kembali lagi ke alam eksitensi ini dari surga, setelah
semua buah dari karma baiknya habis. Makanya mereka tak berharga untuk dikejar.
Vairagya tidaklah berarti bahwa seseorang melalaikan
kewajiban-kewajiban sosial dan tanggung-jawabnya pada kehidupan ini. Ia
tidaklah berarti mengabaikan begitu saja dunia ini, untuk kemudian hidup di
sebuah goa sunyi di pegunungan Himalaya. Vairagya
adalah pelepasan-mental dari
objek-objek duniawi. Seseorang boleh saja tetap tinggal di dunia dan terlibat
di dalam semua kewajiban-kewajiban tanpa
terikat. Ia bisa saja seorang perumahtangga dari sebuah keluarga besar,
sementara pada saat yang bersamaan sempurna pelepasan-mentalnya terhadap segala
sesuatu. Ia mampu melakoni sadhana
spiritual di tengah-tengah aktivitas-aktivitas duniawinya. Ia yang sempurna
pelepasan-mentalnya di dunia ini, benar-benar seorang pahlawan. Ia lebih mulia
dibanding seorang Sadhu yang hidup di
goa Himalaya, sejauh ia setiap saat harus menghadapi tak terhitung banyaknya
cobaan di dalam kehidupannya.
Jurus yang ketiga adalah Shad-Sampat, ‘enam
sekawan kebajikan’. Ia terdiri atas: Sama, Dama, Uparati, Titiksha, Sraddha
dan Samadhana. Keenam-enamnya disatukan karena secara bersama-sama
mereka menghadirkan pengendalian dan disiplin mental, dimana tanpanya
konsentrasi dan meditasi tidaklah dimungkinkan.
1. Sama
adalah ketenangan dan ketenteraman batin yang hadir dengan terkikisnya
nafsu-keinginan.
2. Dama
adalah pengendalian rasional terhadap indria-indria.
3. Uparati
adalah kejemuan; ini berupa berpalingnya batin dari nafsu-keinginan terhadap
kenikmatan indriawi. Status batiniah ini datang secara alami manakala seseorang
menerapkan Viveka, Vairagya,
Sama dan Dama.
4. Titiksha
adalah daya tahan mental. Seorang penekun mesti dengan sabar menahan pasangan
yang berlawanan, rwabhineda, seperti:
panas—dingin, senang—sedih, suka—duka, dan yang sejenisnya.
5. Sraddha
adalah keyakinan yang mendalam akan ajaran-ajaran Sang Guru, akan
pustaka-pustaka Vedantik, dan di atas semua itu, akan dirinya sendiri. Namun
ini bukanlah keyakinan membuta, melainkan berdasarkan penalaran yang akurat,
bukti-bukti otentik dan pengalaman-pengalaman spiritual. Bila demikian adanya,
ia akan bertahan, sempurna dan tiada tergoyahkan lagi. Keyakinan serupa ini
berkemampuan untuk mencapai apapun.
6. Samadhana
adalah menambatkan batin hanya pada Brahman
atau Sang Diri-Jati, dengan tanpa mengijinkannya lari memburu objek-objek.
Batin bebas dari kegelisahan di tengah-tengah penderitaan-penderitaan dan
masalah-masalah. Disini ada stabilitas, keseimbangan mental dan ketidak-acuhan
di tengah-tengah kesenangan-kesenagan duniawi. Sang penekun tidak mencintai pun
membenci apapun. Ia punya kekuatan di dalam yang besar dan menikmati kedamaian
batin yang tiada tergoyahkan, sebagai hasil dari penerapan Sama, Dama, Uparati, Titiksha dan Sraddha.
Mumukshutva adalah hasrat yang kuat
akan kebebasan, atau keluar dari roda kelahiran dan kematian berserta segenap
deritanya seperti: usia-tua, penyakit, kebingungan dan kesengsaraan. Bila
seorang penekun terlengkapi dengan ketiga kwalifikasi —Viveka, Vairagya dan Shad-Sampat—
itu, maka hasrat yang kuat akan kebebasan akan datang tanpa kesulitan. Pikiran
akan bergerak kembali ke ‘sumbernya’ manakala ia kehilangan ketertarikannya
terhadap objek-objek eksternal. Tatkala kemurnian batin dan disiplin mental
tercapai, kerinduan akan kebebasanpun terbit dengan sendirinya.
Seorang penekun yang terberkati dengan keempat
kwalifikasi luhur ini selanjutnya harus mendekati seorang Guru, yang akan
memberinya bimbingan dalam pengetahuan sejati. Sang Guru sendiri adalah yogi
yang telah memiliki pengetahuan menyeluruh tentang kitab-kitab suci dan juga
telah memantapkan pengetahuannya itu melalui pengalaman langsung. Penekun harus merenung dan bermeditasi
terhadap Sang Diri dan secara bersungguh-sungguh bekerja-keras mencapai tujuan
Realisasi Sang Diri-Jati.
Sang penekun atau
sadhaka harus merenung dan bermeditasi. Ia harus menjalani tiga sadhana pokok yakni: Sravana, Manana dan Nididhyasana. Sravana adalah mendengarkan sabda-sabda suci —Sruti; Manana adalah merenung
secara mendalam; Nididhyasana adalah kontemplasi atau meditasi yang
konstan dan mendalam. Sesudahnyalah hadir Atma-Sakshatkara atau
realisasi langsung.
____________________
Dicuplik dari: PETUJUK-PETUNJUK PRAKTIS ke dalam JÑANA YOGA.
·
Appendiks II: Jangan pusingkan siapa saya!
Kawan, jangan pusingkan diri Anda tentang
siapa saya;
kalian tak akan pernah tahu.
Saya tak menghendaki Anda menerima apapun
yang saya katakan.
Saya tak menginginkan apapun dari siapapun di
antara kalian;
saya tidak menginginkan popularitas;
saya tak menginginkan sanjungan kalian,
kepengikutan kalian.
Karena saya berkasih-kasihan dengan hidup,
saya tak menginginkan apapun.
Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah begitu penting;
yang
penting adalah fakta bahwa kalian mematuhi
dan mengijinkan
pertimbangan kalian dinodai oleh otoritas.
Pertimbangan
kalian, pikiran kalian, kasih-sayang kalian,
kehidupan
kalian ternodai oleh hal-hal yang tak punya nilai,
dan di
dalamnyalah tersembunyi penderitaan.
~J. Krishnamurti; Early Talks, 1930.
Tampak jelas kalau ini merupakan pengingatan atau penegasan
dari seseorang yang tak berkeinginan untuk ‘digurukan’, seperti yang diharapkan
oleh mereka yang dengan sengaja, sistematis dan bersungguh-sungguh mempersiapkan beliau sebagai seorang
“Gurujagat”. Oleh karenanya, pernyataan ini juga merupakan sebuah deklarasi
pemberontakan atau pembebasan terhadap apa yang didengung-dengungkan oleh
orangtua angkatnya di Masyarakat Theosofi, yang berklimaks pada pembubaran “The Order of the Star in the East” —yang dipersiapkan untuknya— di Ommen, Belanda, pada
tanggal 2 Agustus 1929.[1]
Lebih jauh lagi, halnya dengan predikat “Guru Dunia” yang
dilekatkan oleh sementara orang pada sosoknya itu, ada baiknya kita simak
tanya-jawab berikut[2]:
Tanya: Makna dan nilai apa yang Anda berikan kepada istilah “Guru Dunia”? Apakah
setiap orang yang telah mencapai kebebasan adalah seorang “Guru Dunia”?
JK: Jangan pusingkan diri Anda dengan
istilah-istilah, label-label dan frasa-frasa. Saya melihat seorang “Guru Dunia”
sebagai seseorang yang telah
Merealisasikan Kesujatian.
Samudera
tak bisa dibawa ke sungai, makanya sungai harus mencari samudera. Demikian juga
halnya dengan mencapai status bebas ini, yang bisa kita andaikan
samudera; individu mesti pergi menuju samudera itu; samudera tak bisa datang
kepadanya karena ia terkondisi.
Buat
saya realitas dari “Guru Dunia” bukan pada sebutan, melainkan dalam fakta
pencapaian kebebasan ini, kecerahan ini. Buat saya realitasnya adalah seseorang
bisa mencapai kekebasan dari kesadaran-kedirian, mencapai kesucian itu,
kemerdekaan dari si diri, yang memberinya ketenteraman, ketenangan, kelembutan,
kekuatan dan ketidak-melekatan yang penuh kasih-sayang dari semua hal.
Kita biasanya suka menerka-nerka, untuk kemudian
menyimpulkan, menamai atau memberi predikat. Dan bila banyak orang ternyata
punya terkaan yang sama, kitapun kemudian menobatkan terkaan itu sebagai
‘benar’ adanya. Jadi di dalam menerka-nerka itu kita juga mencocokkan terkaan kita itu dengan terkaan-terkaan orang-orang.
Hendak ‘menerka’ siapa JK itu tentulah bukan sesuatu yang mudah bagi
awam, atau bagi kalangan intelektual sekalipun. Intelektualitas —bukan
intelijensia— kita malah sering kedapatan menjadi penghalang besar bagi
pengembangan spiritualitas itu sendiri.
Bali, Minggu, 28 Januari 2007.
Appendiks III: I am God!
I am strong, I no longer falter;
the divine spark is burning in me;
I have beheld in a waking dream,
the Master of all things and I am radiant
with his eternal joy.
I have gazed into the deep pool of knowledge
and many reflections have I beheld.
I am the stone in the sacred temple.
I am the humble grass that is mown down and
trodden upon.
I am the tall and stately tree that courts
the very heavens.
I am the animal that is hunted.
I am the criminal who is hated by all.
I am the noble man who is honoured by all.
I am sorrow, pain and fleeting pleasure;
the passions and the gratifications;
the bitter wrath and the infinite compassion;
the sin and the sinner.
I am the lover and the very love itself.
I am the saint, the adorer, the worshipper
and the follower.
I am God.[1]
Mungkin, antara lain, karena inilah orang-orang bisa saja
mengatakan kalau JK bisa disalib; kalau ini disampaikannya di jaman kehidupan
Jesus. Sampai-sampai seorang Osho sendiri pernah mengatakan: “J. Krishnamurti
bisa merupakan bahaya besar, beliau bisa disalib —beliau punya intelijensia
yang lebih tinggi
dibanding Jesus Kristus manapun, dan jauh lebih
intelektual-jenius ketimbang Socrates manapun...”
Padahal, kalau kita
cermati, dan pernah membaca Bhagavad Gita, esensi dari apa yang beliau
sampaikan itu tak beda jauh dengan apa yang disabdakan oleh Sri Krishna di
Kuruksetra ribuan tahun lalu. Entah karena terobsesi oleh julukan ‘Guru Jagat’
dan disebut-sebut serta dipercaya sebagai titisan Sri Krishna dan Jesus oleh
sementara kalangan theosofis, beliau melontarkan mahavakya Upanishad —Aham
Brahma asmi, Akulah Tuhan!— ini.
Bali, Rabu, 12 Desember 2018.
[1] Dari: J. Krishnamurti;
“The Path”; The Star Publishing Trust, Eerde, Ommen, Holland, 1928.
[2] Dari: Osho; “Sermons in Stones”, Ch.1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar