Sumber: Pinterest
Babaji, Seorang Yogi Modern
Daerah
paling utara di pegunungan Himalaya menyimpan begitu banyak rahasia. Salah satu
di antaranya adalah Babaji, guru Lahiri Mahasaya. Beliau berada disana
sejak puluhan abad, bahkan beberapa milenia. Tak pernah “mati”, beliau adalah
seorang “avatara” – kemuliaan di
balik bingkisan darah dan daging.
Sri Yukteswar (murid dari Lahiri Mahasaya-pen) menjelaskan, “Keadaan Babaji,
kesadaran Babaji, tidak dapat dijelaskan atau dipahami oleh manusia. Segala
upaya untuk itu, akan sia-sia.
Dalam
naskah-naskah kuno di Timur, kita menemukan beberapa istilah yang menarik
sekali. Seorang “siddha”, misalnya, adalah “ia yang telah mencapai kesempurnaan”.
Setelah bebas dari keterikatan-keterikatan yang merantai dirinya dan
membelenggu jiwanya, seseorang mencapai tingkat jivanmukta—“ terbebaskan dari segala macam keterikatan, walau
masih hidup”. “Siddha” merupakan suatu keadaan diatas keadaan jivanmukta. Seorang “siddha” bisa juga
disebut paramukta—bebas total. Dan dalam kebebasan total itulah,
kematian sekalipun terlampaui olehnya! Seorang paramukta tidak perlu lahir
kembali. Namun, apabila ia lahir kembali, ia akan disebut “Avatar”—ia turun
dari ketinggian yang telah dicapainya, untuk memberkati dunia ini.
Seorang
avatar bebas sepenuhnya dari hukum alam. Kalau dilihat sepintas, ia memang
seperti manusia biasa. Namun, apabila diperhatikan, perbedaannya akan tampak
jelas. Misalnya, kalau sedang jalan, ia tidak akan meninggalkan jejak telapak
kaki. Ia juga tidak memiliki bayangan. Karena jiwanya memang sudah terbebaskan
dari keterikatan materi, maka badannya pun tidak perlu tunduk pada hukum-hukum
yang menggerakkan dunia materi. Hanya orang seperti dia yang dapat memahami
persis kebenaran di balik siklus kelahiran dan kematian.
Omar Khayyam, seorang penyair sufi yang
sangat disalahpahami, sebenarnya bicara tentang kebenaran yang sama, dalam Rubaiyat—sebuah karya yang indah. Yesus pun persis demikian. Krishna, Rama, Buddha dan Patanjali semuanya adalah para avatar
yang telah memahami kebenaran yang sama.
Di India
Selatan, juga pernah lahir seorang avatar, namanya: Agastya. Kisah-kisah tentang mukjijat yang ia tunjukkan sudah
dikenal sejak 2000-an tahun yang lalu. Sampai saat ini pun kata orang, ia masih
hidup. (..... Literatur kuno Jawa, Bali
dan Sulawesi penuh dengan kisah-kisah ajaib tentang keberadaan Agastya di
kepulauan Nusantara. Banyak pula yang mengisahkan pertemuan mereka dengan
Agastya, di pegunungan Himalaya, di sekitar Manali.—a.k.)
Babaji mengemban tugas untuk membimbing
para avatar, para utusan Tuhan. Itu sebabnya belia dijuluki Mahavatar—Avatar Besar. Beliau mengaku pernah
membimbing Shankara (pendiri ordo
swami), Kabir (seorang mistik sufi)
dan lain-lain. Pada abad ke-19, beliau membimbing Lahiri Mahasaya, dan mengajarkan Ilmu Kriya Yoga kepadanya.
(..... Siapa sebenarnya Babaji, kapan
lahirnya, tidak terjawab dalam buku ini. Paramhansa Yogananda, mengaku telah
diberitahu, tetapi sengaja tidak menjelaskan dalam bukunya. Referensi tentang
Babaji juga bisa didapatkan dalam kitab-kitab suci dari Timur Tengah. Kalau
Anda membuka mata sedikit, Anda akan memperoleh dengan sangat mudah.
Bagi para pembaca yang sering
bertanya kepada saya, bagi para pembaca yang pernah membaca Seni Memberdaya Diri—Meditasi & Reiki—dan
pernah menulis kepada saya, inilah jawaban Anda. Lama yang saya temui di Leh
tidak lain adalah Babaji!—a.k.)
Sang
Mahavatar selalu berkomunikasi dengan Kristus. Secara bersama-sama mereka
memancarkan getaran-getaran kasih untuk keselamatan dunia kita ini.
Bersama-sama pula, mereka merencanakan teknik spiritual demi keselamatan umat
manusia.
(Saya menanyakan kepada Babaji, apa yang
beliau maksudkan. Apakah yang dimaksudkan dengan “Kristus” adalah Yesus, Isa
Ben Yusuf? Beliau menjawab, “Kristus adalah suatu tingkat kesadaran, bukan nama
orang. Yesus pernah mencapai tingkat kesadaran tersebut. Berada pada tingkat
kesadaran “Kristus” yang juga bisa disebut tingkat kesadaran “Kasih”, seorang
master akan berupaya untuk membantu umat manusia. Terdorong oleh “Kasih”, ia
tidak mempedulikan hujatan dan kritikan orang, dan senantiasa akan berupaya
untuk menyadarkan setia orang yang mendekati dia.”
Beliau juga menambahkan bahwa kalau
Yogananda tidak menjelaskan hal ini, bukan karena ia tidak tahu, tetapi karena
para pembacanya tidak akan bisa memahami dia. “Yogananda sedang menghadapi
masyarakat Barat yang sangat terkondisi oleh konsep ‘Personal God’—Tuhan yang
berada di suatu tempat, duduk di atas takhta. Itu sebabnya, mereka juga
mempersonifikasikan Kristus. Padahal Kristus bukan ‘personil’—kekristusan
adalah Keadaan.”
“Komunikasi dengan Kristus” berarti
“Berada pada tingkat kesadaran kasih”. Yang bisa menyelamatkan dunia kita ini
hanyalah “kesadaran kasih’. Demikian kesimpulan saya, setelah diberi penjelasan
oleh Babaji.—a.k.)
Misi Kristus dan Babaji adalah satu dan sama: bagaimana
menyadarkan bangsa-bangsa di dunia ini, sehingga peperangan bisa dihentikan,
sehingga api kebencian bisa dipadamkan, sehingga materialisme bisa terlampaui.
Dan untuk mencapai suatu keadaan damai seperti itu, ajaran-ajaran yoga harus
disebarluaskan baik di belahan barat dunia, maupun di belahan timur—demikian
keyakinan Babaji.
Memang tidak ada referensi historis tentang Babaji,
karena beliau tidak pernah muncul di depan umum. Beliau tidak membutuhkan
publisitas. Beliau bekerja secara diam-diam.
Para nabi, para avatar seperti Isa dan Krishna mengemban
suatu misi tertentu. Setelah menyelesaikannya, mereka meninggalkan dunia ini.
Dipihak lain, ada juga para avatar, seperti Babaji yang misinya adalah
mengarahkan proses evolusi kesadaran manusia yang butuh waktu lama. Mereka akan
menghindari massa dan karena itu sejarah tidak mencatat nama mereka.
Tentang Babaji pun, saya tidak diperkenankan memberi
informasi lebih banyak. Hanya sekadar keterangan singkat, sebatas apa yang
harus diketahui oleh masyarakat, demi peningkatan kesadaran mereka.
(Sambil
ketawa, beliau juga melarang saya, “Jangan, jangan dulu, jangan memberitahu itu.”
Mendengar larangan beliau, saya justru senang, “Berarti, pada suatu ketika
nanti, saya boleh memberikannya. Tadi Baba katakan ‘Jangan dulu’.” Beliau
ketawa terbahak-bahak.....
Beliau
mengatakan kepada saya, “Paagal {bahasa Hindi, berarti ‘Gendeng’—a.k.}, kalau
belum waktunya, kamu tidak akan menceritakannya. Saya akan menuntun kamu,
kepada siapa dan kapan kau harus bercerita.”—a.k.)
Tidak ada yang mengetahui tentang keluarga atau tempat
lahir beliau. Biasanya beliau menggunakan bahasa Hindi, padahal bisa
berkomunikasi dalam bahasa apa saja.
Kita mengenal beliau dengan nama “Babaji” yang berarti, “Bapa Yang Terhormat”.
“Kapan pun, siapa pun menyebut nama beliau dengan rasa
hormat, akan mendapatkan berkah,” menurut Lahiri Mahasaya.
Fisik beliau tidak menunjukan tanda-tanda menua. Beliau
selalu tampak seperti seorang pemuda berusia 25 tahun. Kulitnya bersih dan
cerah. Anehnya, wajah Babaji sangat mirip wajah Lahiri Mahasaya sewaktu masih
muda.
Swami
Kebalananda, guru bahasa Sanskerta
saya dulu, pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Babaji, di pegunungan
Himalaya: “Beliau tidak pernah tinggal lama di satu tempat. Diiringi oleh
beberapa murid setia, diantaranya 2 orang Amerika, Babaji selalu berpindah
tempat tinggal.
“Babaji tidak selalu melakukan perjalanan astral. Beliau
lebih sering berjalan kaki, mendaki gunung sebagaimana manusia biasa.
“Kita hanya bisa melihat beliau, apabila beliau berkenan.
Kadang berkumis, berjanggut, kadang tanpa kumis, tanpa janggut.
“Walaupun sebenarnya Beliau tidak butuh makanan, apabila
seorang murid mempersembahkan buah-buahan atau bubur susu, beliau akan makan
sedikit, semata-mata untuk menyenangkan muridnya.
“Saya masih ingat dua kejadian yang aneh. Pada suatu
malam, para murid sedang duduk mengitari api yang dinyalakan untuk suatu
upacara. Tiba-tiba Babaji mengambil kayu yang sudah terbakar dan memukul pundak
salah seorang muridnya dengan kayu itu.
“Lahiri Mahasaya yang juga berada disitu, mengeluh,
‘Betapa Kejamnya!’
“Babaji menjawab, ‘Apakah kamu ingin melihat dia terbakar
habis dalam api itu, karena karmanya dimasa lalu?’
“Dan Beliau meletakkan tangannya diatas pundak si murid,
sambil menjelaskan, ‘Malam ini, saya telah membebaskan kamu dari kematian yang
mengerikan. Hukum Karma pun terpenuhi sudah, dengan luka pada pundakmu.’
“Pada suatu ketika, seorang asing bergabung dengan
kelompok beliau. ‘Bapak pasti Babaji. Selama berbulan-bulan saya mencari Bapak.
Mohon saya diterima sebagai murid Bapak,’ orang asing itu memohon.
“Karena Babaji tidak menjawab, orang itu mendesak, ‘Jika
saya tidak diterima, saya akan loncat dari ketinggian tebing ini dan bunuh
diri.’
“Dengan nada dingin, Babaji menjawab, ’Loncat saja kalau
begitu. Karena saya tidak dapat menerima kamu dalam keadaan saat ini.’
“Tanpa keraguan apa pun, ia langsung loncat. Semua orang
yang hadir tercengang! Babaji tetap tenang dan menyuruh para muridnya untuk
membawa jenasah orang itu. Beliau meletakkan tangannya di atas jasad yang sudah tidak bernyawa dan
orang itu pun langsung bangkit kembali. Babaji mengatakan kepadanya, ‘Sekarang
kamu siap untuk kujadikan murid. Maut tidak akan pernah mendekati kamu lagi.
Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita.’
Seorang avatar senantiasa hidup dalam kesadaran rohani.
Alasan Babaji mempertahankan badan kasatnya hanya satu, ia ingin membuktikan
kepada kita yang masih hidup dalam ilusi ini bahwa ilusi itu sendiri dapat
dilampaui.
Bagi seorang avatar seperti Babaji, pembagian waktu
sebagai masa lalu, masa kini, dan masa depan sudah tidak relevan lagi, beliau
mengetahui semua tentang segala aspek kehidupan. Apa pun yang
terjadi—kejadian-kejadian yang disaksikan oleh para murid—semuanya atas
kehendak beliau juga.
Masih ada cerita lain yang pernah saya dengar. Sumber
cerita ini adalah Ram Gopal, yang pernah saya temui di Ranbajpur, “ Pada suatu
ketika, saya bergabung dengan kelompok meditasi di padepokan Lahiri Mahasaya.
Beliau menyuruh saya untuk segera ke tempat permandian Dasasamedh.
“Beliau tidak menjelaskan alasannya. Saya pun tidak menanyakan.
Mengikuti perintanya, saya langsung berangkat ke Dasasamedh. Malam itu adalah
yang indah. Bulan purnama dan bintang-bintang cemerlang menghiasi langit. Baru
duduk sebentar, perhatian saya beralih ke batu besar dekat kaki saya. Batu
tersebut terangkat sendiri, dan saya melihat gua bawah tanah di baliknya. Dan
... muncullah sosok seorang wanita cantik nan anggun. Keluar dari gua, ia
langsung melayang-layang. Tubuhnya dikelilingi oleh cahaya lembut. Sesaat
kemudian, ia turun persis di depan saya dan mengatakan kepada saya, “Saya
adalah Mataji (Bahasa Hindi, berarti
Ibu—a.k.), saudari Babaji. Saya telah mengundang dia dan Lahiri Mahasaya ke
sini, untuk membicarakan sesuatu yang penting.’
“Sementara saya melihat gumpalan cahaya yang sedang
mendekati kami dari kejauhan, begitu berada di samping Mataji, cahaya itu
berubah menjadi wujud manusia—Lahiri Mahasaya. Beliau menyalami Mataji. Masih
dalam keadaan tercengang, di langit atas saya melihat gasingan cahaya yang
dahsyat. Saya sudah bisa menerka, itu pasti Babaji. Betul, cahaya tersebut
membumi dan berubah menjadi wujud Babaji. Beliau begitu mirip dengan Lahiri
Mahasaya, hanya hanya tampak jauh lebih muda. Dan rambutnya panjang.
“Lahiri Mahasaya, Mataji dan saya bersungkem, menyalami
beliau. Begitu menyentuh Wujud beliau, sepertinya ada sensasi-sensasi lembut
nan indah yang menggetarkan badan saya.
“Saudariku, saya telah mengambil keputusan untuk
melepaskan badan ini dan menyatu dengan Aliran Kehidupan Yang Tak Terbatas,
dengan Kesdaran Murni,’ kata Babaji kepada Mataji.”
“Saya sudah tahu tentang rencana Guru. Hal itulah yang
ingin saya bahas malam ini. Kenapa harus meninggalkan badan?’
“Ada badan atau tidak ada badan, apa bedanya? Dalam
lautan Kesadaran yang Maha Luas, apa bedanya jika gelombang itu tampak atau
tidak?’
“Mataji menggunakan dalil yang sama untuk mendesak
beliau, ‘Kalau memang bagitu, apa salahnya mempertahankan badan-Mu?’
“Baik, saya tidak akan meninggalkan badan ini. Setidaknya
beberapa orang di dunia ini akan selalu bisa berhubungan dengan saya.
Demikianlah Kehendak Allah, yang disampaikan lewat mulutmu, ‘Babaji berjanji.
“Terpesona, saya hanya bisa mengikuti dialog mereka
dengan penuh rasa kagum. Babaji memberkati saya dan berkata, ‘Jangan takut Ram
Gopal. Kamu memang terpilih untuk menyaksikan kejadian ini.’
“Dan wujud beliau serta wujud Lahiri Mahasaya terangkat
ke atas lagi berubah menjadi gumpalan cahaya dan lenyap dari pandangan.
Sementara Mataji juga melayang dan memasuki kembali gua di bawah tanah. Batu
besar, penutup mulut gua itu kembali menutupinya lagi.
“Saya langsung kembali ke padepokan Lahiri Mahasaya dan
ditegur beliau, “Saya ikut senang. Keinginanmu untuk bertemu dengan Babaji dan
Mataji terpenuhi sudah.’
“Yang lebih aneh lagi para murid mengaku bahwa setelah
kepergian saya, Lahiri Mahasaya tidak pernah meninggalkan tempat duduknya.
‘Beliau menjelaskan bahwa seorang mster yang telah memperoleh pencerahan, bisa
berada di lebih dari satu tempat yang sama!”
Ram Gopal meneruskan, “Setelah kejadian tadi, Lahiri
Mahasaya baru menjelaskan kepada saya, ‘Babaji akan mempertahankan badannya
sampai berakhirnya siklus dunia kita saat ini. Demikian Kehendak Ilahi. Sebagai
saksi sandiwara kehidupan, beliau akan tetap berada di tengah kita, dari jaman
ke jaman!”
(Paramhansa
Yogananda selalu menggunakan istilah “the deathless master” bagi Babaji—Ia yang
tidak pernah mati. Beliau benar, karena, “kematian” sebagaimana kita
definisikan hanya bisa terjadi dalam dimensi ruang dan waktu. Dunia kita ini
berada dalam dimensi yang sama. Segala sesuatu yang bisa terpikirkan oleh kita—kelahiran dan kematian bahkan
kehidupan ini sendiri—akan selalu berada dalam dimensi yang sama. Dan apabila
kita menggunakan tolak ukur dimensi ruang dan waktu yang sama, maka betul:
Babaji tidak akan pernah “mati”. Ia tidak akan mati dalam dimensi “ruang dan
waktu” sebagaimana kita ketahui. Berakhirnya siklus dunia kita juga akan
mengakhiri “badan” beliau. Beliau tidak akan pernah “mati” dalam siklus ini.
Beliau
juga menepati janji beliau. Dalam setiap jaman, pasti ada orang-orang tertentu
yang beliau temui. Pertemuan dengan beliau, sepenuhnya atas kehendak beliau,
atas Kehendak Ilahi.
Setelah
pertama kali diterbitkannya buku ini, yaitu pada tahun 1946, tiba-tiba muncul
belasan buku, dimana para penulisnya mengaku pernah bertemu dengan Babaji. Aneh
sekali, entah bagaimana 7 orang diantara penulis itu bisa berkumpul di kota
Allahabad di India bagian utara. Pada suatu malam, sungai Ganga mengamuk dan
ketujuh orang itu meninggal dalam banjir yang melanda kota tersebut. Peristiwa itu
terjadi sekitar tahun 1960-an, demikian yang saya dengan dari para swami di
Benares. Beberapa hari kemudian, 4 penulis lainnya mengadakan konferensi pers
secara terpisah, memohon maaf kepada
para pembaca buku mereka dan mengakui kebohongan yang mereka tulis.
Musibah
berskala lebih kecil menimpa teman saya di Jepang. Ia pun mengaku pernah
bertemu dengan Babaji. Selama kurang lebih 1 tahun, ia membohongi para peserta
kelompok studi spiritual yang ia bina. Pada suatu hari, ia jatuh sakit—sakit
keras. Para dokter tidak bisa membantu dia. Secara anatomis, tidak ada
kelainan. Apabila berada di klinik dokter atau di lab, tidak terjadi apa pun.
Begitu pulang ke rumah, sakit lagi—nafasnya sesak. Dokter menyarankan agar ia
dirawat di rumah sakit. Setiap saat ada dokter, ada perawat, keadaannya normal.
Ditinggal sebentar, tidak bisa bernafas lagi! Aneh! Akhirnya para dokter
menyimpulkan bahwa penyakit dia bersifat psikosomatis.
Pada
suat hari, ia berterus-terang dengan kami, “selama ini saya telah membohongi kalian,
menyesatkan kalian. Tujuan saya hanya untuk mencari popularitas. Maafkan saya.”
Hari itu juga, saat itu juga ia sembuh. Penderitaan fisik dan mental selama 1
tahun lebih berakhir begitu saja.
Babaji
menjelaskan, “Semua itu terjadi, bukan karena saya marah, bukan karena saya
membalas dendam. Tidak sama sekali. Merek membohongi orang banyak, dan untuk
itu ada mekanisme alam yang bekerja. Tidak ada yang bisa luput dari hukum
karma.”
Pada
suatu hari dalam bulan suci Ramadhan tahun 1998/9 saya baru diizinkan untuk
memberi penjelasan tentang apa yang saya ketahui mengenai diri beliau. Hari itu
juga, kepada sekelompok orang yang sedang menghadiri salah satu program
meditasi saya berjanji bahwa pada suatu ketika setiap orang di antara mereka
akan bertemu dengan Babaji. Saya pun tidak tahu, bagaimana saya bisa
mengucapkan kata-kata itu.
Malamnya
Babaji menampakkan dirinya, “Kata-kata itu keluar karena aku yang
menghendakinya.” Dan beliau memberi saya tugas, untuk mulai menyadur karya
besar ini. “Disana-sini, berikan keterangan. Jelaskan pengalaman pribadi,”
pesan beliau.
Saya
tidak akan pernah berani menyadurkan buku ini, kalau saya belum punya
pengalaman pribadi. Saya bukan seorang penerjemah, itu bukan profesi saya. Saya
pernah mengalami sesuatu yang indah, yang luar biasa dan saya ingin berbagi
rasa dengan Anda. Untuk itu, saya menggunakan buku ini—penyaduran karya klasik
oleh Paramhansa Yogananda ini—sebagai sarana, sebagai perantara.
Saya
mulai menyadurkan karya ini, pada hari Natal, tanggal 25 Desember 1998. Hari
ini, tanggal 26 Januari 1999. Banyak sekali hal-hal aneh yang terjadi
belakangan ini. Dari suatu situasi pelik, dimana penyerahan diri saya terhadap
Kehendak Ilahi teruji, sampai pada bukti-bukti nyata akan akan Kehadiran Allah
pada setiap saat, di setiap tempat.
Dua
hari yang lalu, ada yang meneror saya lewat telepon, “Pak Krishna kau belum
mengalami sesuatu apa pun, cuma menulis saja. Bolak-balik yang dibicarakan
kesadaran melulu. Cuma untuk cari uang.” Kira-kira demikian kata orang yang
menelepon saya. Saya tenang-tenang saja. Pengalaman saya adalah pengalaman saya
pribadi. Saya tidak mengharapkan setiap orang harus selalu mempercayai saya.
Saya mengenali suaranya, walaupun belum pernah ketemu orangnya. Saya tahu
persis, dia siapa. Kalau membaca tulisan-tulisan saya dengan pikiran jernih, ia
akan menemukan jawaban setiap pertanyaan yang ia ajukan—balasan setiap sindiran
yang ia lontarkan.
Babaji
menasehati saya agar tidak reaktif, “Cukup sudah apa yang kau lakukan untuk
menyadarkan mereka. Sekarang duduk diam. Jangan reaktif. Kamu sudah berusaha,
kalau mereka tetap juga memilih untuk jatuh dalam jurang, itulah karma mereka.
Mulai saat ini, serahkan kasus ini sepenuhnya kepada Keberadaan, kepada
Kehendak Ilahi. Mereka bukan tidak sadar. Kalau tidak sadar, mereka bisa
disadarkan. Tetapi mereka menolak kesadaran, apa yang bisa kau lakukan? Dalam
tiga bulan, Kebenaran akan mucul.”
Saya
masih mendesak, “Tetapi teman saya Mas ... yang sepertinya terpengaruh oleh
mereka dan ikut kehilangan kesadaran.”
“Biarkan
dulu. Besok pun ia akan mengatakan sesuatu, yang tadi sudah kamu dengarkan dari
orang yang menelepon kamu. Bahasa mereka sama. Demi kebaikan dia sendiri,
biarkan dia jatuh, terpeleset—kakinya berdarah—setelah itu dia baru akan
sadar.” Babaji menggunakan bahasa Hindi untuk berkomunikasi dengan saya.
“Dan
selama 3 bulan itu, teman saya Mas ... akan hidup dalam ketidaksadaran?” saya
bertanya.
“Tidak,
begitu membaca tulisan ini, khususnya uraian ini, dia akan langsung sadar. Dia
akan sadar pula bahwa kedudukan dia saat ini bukan suatu kebetulan. Dia telah
disiapkan untuk itu. Dia tidak akan tidur lama.”
Sebelum
mengakhiri pertemuan malam itu, beliau menyuruh saya membuka “Alkitab” secara
acak. Kebetulan, di sudut meja di sebelah komputer saya menaruh Alkitab,
Al-Quran dan Kamus Inggris-Indonesia untuk referensi. Halaman Injil yang
terbuka, menceritakan kejadian sebelum Nabi Isa disalibkan. Suara mereka yang
menginginkan agar Ia disalib lebih keras, lebih nyaring, sehingga terdengar
lebih jelas. Isa memang tidak bersuara. Ia membisu.—a.k.)
(“Meniti Kehidupan,
Bersama Para Yogi, Fakir dan Mistik – Otobiografi PARAMHANSA YOGANANDA.”
Dikisahkan kembali oleh Anand Krishna, hal 356-374. Diterbitkan oleh PT Gramedia
Pustaka Utama Jakarta,2002)
maaf mao tanya bukunya beli dimana?
BalasHapusCoba Mas Rian cari di Gramedia, kalau tidak ketemu mas bisa cek di Yayasan Anand Ashram https://www.anandashram.or.id/...bagian Toko buku.
BalasHapus