1973
CHÖGYAM TRUNGPA
Kata-kata Bijak
Kadang keinginan
untuk menjadi manusia yang spiritual terasa benar-benar sangat besar setelah
merasakan ketentraman psikologis.
CUTTING THROUGH SPIRITUAL MATERIALISM
“Ego terus berusaha memperoleh dan menerapkan ajaran
spiritualitas demi keuntungannya sendiri.”
“Bagi cara pikir konvesional, belas kasih hanya berarti
bersikap baik dan hangat.... Tetapi dari sudut pandang ego, belas kasih yang
sesungguhnya adalah kejam, karena tidak mempertimbangkan dorongan ego untuk
mempertahankan dirinya. Ini ‘kebijaksanaan gila’. Ini sangat bijaksana, tetapi
juga gila, karena tidak ada hubungannya dengan ego yang sesungguhnya dan orang
yang berpikiran sederhana berusaha menjaga kenyamanannya.”
Cutting through Spiritual Materialism ditulis
berdasarkan ceramah yang dibawakan oleh guru dan ahli Buddhis, Chogyam Trungpa,
pada tahun 1970 dan 1971. Ia sedang mendirikan pusat meditasi di Colorado dan
melihat bahwa murid-muridnya memiliki pengharapan yang tidak riil mengenai
jalan spiritual. Mereka sepertinya sungguh-sungguh menginginkan kebenaran,
padahal motivasi mereka yang sesungguhnya adalah agar merasa nyaman dengan diri
mereka sendiri.
Bagi mereka yang telah
bertahun-tahun mengikuti berbagai praktik spiritual, buku ini mungkin
mengejutkan. Buku ini dengan gamblang menunjukan bahwa ego bersembunyi di balik
usaha kita menjadi individu yang maju secara spiritual. Padahal jelas bahwa
memiliki keinginan semacam itu saja sudah merupakan tanda adanya ego.
Bagian pertama buku ini mengulas
tentang jebakan yang membuat kita terperangkap di dalam keyakinan bahwa kita
sedang menuju pencerahan. Di bagian kedua Trungpa mendeskripsikan jalan
spiritual yang sesungguhnya melalui konsep seperti empat kebenaran mulia,
sunyata, dan Bhoddisatva. Ulasan ini difokuskan pada bagian pertama.
Dewa materialime
Apa itu
“materialisme spiritual”? Dua kata itu tidak seharusnya dipadankan bersama,
bukan?
Dalam Buddhisme Tibet ada Tiga Dewa
Materialisme: Dewa Materi, Dewa Bicara, Dewa Pikiran. Dewa Materi, kata
Trungpa, merupakan representasi dari keinginan kita untuk menciptakan “dunia yang
bisa dikendalikan, bisa diprediksi, bisa dinikmati”. Sebagai tanggapan atas
kehidupan yang tak bisa diprediksi, “ambisi ego adalah menjaga dan menghibur
dirinya sendiri, berusaha menghindari segala gangguan”.
Dewa Bicara merepresentasikan
keinginan kita untuk menggolongkan dan mengubah segala sesuatu menjadi konsep,
sehingga kita tidak perlu secara langsung merasakan realitas. Segala sesuatu
disaring melalui persepsi kita yang telah terbentuk. Sama seperti Dewa Materi,
tujuan dari Dewa Materialisme tipe ini adalah berusaha membuat dunia sekitar
kita dan tempat kita di dalamnya menjadi sesuatu yang solid.
Dewa Pikiran merepresentasikan usaha
kita untuk tidak kehilangan kesadaran akan diri kita yang terpisah ini. Walau
mungkin tidak terlihat seperti itu, semua jenis yoga, doa, atau meditasi bisa
digunakan bukan untuk meleburkan diri kita ke dalam sesuatu yang lebih besar,
melainkan untuk mempertahankan kesadaran diri kita. Seseorang yang ingin
mengisolasi diri mereka dari dunia dan hidup dalam goa di pegunungan,
menghindari semua gangguan hidup agar bisa semakin dekat dengan Tuhan, adalah
contoh klasik hasil kerja Dewa Pikiran.
Trungpa menuliskan bahwa perasaan
ego akan soliditas membuatnya berhenti menyerap sesuatu yang baru, dan
karenanya ego sebenarnya hanya ingin meniru praktik spiritual, bukan diubah
oleh praktik tersebut. Lagi pula, mengapa ego mau dengan tulus hati terlibat
dalam sesuatu yang mungkin akan melihateliminasinya? Ego hanya mencari hal-hal
yang akan mendukung identitasnnya sendiri, dan jika menjadi “religius” ternyata
bisa memenuhi keinginannya ini, hal itu akan diambil sebagai tabir kesadaran
ego yang lain. Inilah materialisme spiritual.
Spiritualitas sejati, sebaliknya,
akan melepaskan tabir itu dan menyingkirkan kuasa ego atas perilaku dan
kesadaran kita.
Ilusi yang solid
Perbedaan yang di
buat Trungpa membuat kita mengevaluasi kembali apa yang selama ini kita anggap
sebagai spiritualitas kita. Apakah kita hanya ingin memperkokoh identitas kita
sebagai orang baik dan spiritual, atau apakah kita siap mengoyak diri kita dan
melihat apa yang sesungguhnya ada disana? Mungkin saja ada sesuatu inti diri
yang, sebenarnya, kita lindungi apa pun resikonya.
Setelah pengakuan yang mengejutkan
ini, anda akan dengan bijaksana menyimpulkan bahwa Anda tidak sunguh-sungguh
mengejar jalan spiritual serta hal-hal yang terlibat di dalamnya, bahwa Anda
tidak ingin kehilangan diri anda dalam Pikiran universal yang lebih besar. Dan
ditambah lagi, Anda mungkin berketetapan bahwa tidak mungkin ego Anda, setelah
menyusup ke setiap aspek pikiran Anda, bahkan termasuk keinginan Anda yang
tampak mulia untuk memiliki kehidupan yang spiritual, mau melepaskan
cengkramannya atas eksistensi Anda. Anda adalah hamba tak berdaya dari
dewa-dewa mental.
Tetapi di titik
ini, kata Trungpa, Anda bisa terbuka pada wawasan yang sesungguhnya, karena
hanya ketika Anda melihat bahwa Anda tidak lebih dari sebundel pembelaan-diri
maka Anda memiliki peluang kecil untuk menjadi sebaliknya. Semakin banyak kita
berpikir, kita semakin yakin bahwa kita adalah pikiran kita. Dengan begitu
banyak kecemasan dan kegelisahan, rasanya tidak ada ada yang lebih riil
daripada pikiran kita. Ego menginginkan kita untuk percaya bahwa tidak ada
hal-hal lain dibalik pikiran kita, dan dengan meyakini hal itu, pikiran ego
menjadi sebuah realitas keras yang tak bisa dihindari.
Tujuan dari
meditasi, sebaliknya, adalah untuk melenyapkan semua kategori dan penentuan kita,
agar ilusi soliditas bisa dilihat sebagai ilusi. Ketika kita melihat bahwa kita
tidak perlu berjuang untuk membuktikan bahwa kita eksis, kita pun memiliki awal
kebijaksanaan dan pencerahan.
Memulai pekerjaan yang sesungguhnya
Ego menyukai
tindakan heroik dalam pencarian spiritual, kata Trungpa, seperti mengikuti
retret selama seminggu atau menjadi vegetarian. Pengalaman seperti itu membuat
kita merasa di atas karena kita meninggalkan kebiasaan buruk diri kita yang tak
tercerahkan, tetapi kita akan selalu kembali berada di bawah bersama-sama
dengan diri kita lagi. Kita bisa “menanggalkan setelan kita dan masuk ke
ashram,” begitu kata Trungpa, tetapi perubahan besar macam itu justru akan
memperkuat perasaan kita akan identitas, akan “Aku” yang akan mengubah hidup
kita.
Hanya ketika kita melihat bahwa ego
kita mengendalikan keinginan kita untuk melenyapkan
ego, maka kita bisa berhenti berusaha memiliki pengalaman pencerahan yang
hebat dan membiarkan hal-hal berjalan sebagaimana adanya. Kita bisa menghentikan
kegiatan belanja spiritual kita dan menetapkan untuk bekerja bersama sosok diri
kita yang sesungguhnya, bukan diri yang bergembira yang menurut kita bisa
dibentuk dari pengalaman ini.
Kita berada dalam jalan spiritual
jika kita bisa menertawakan kepalsuan kita, sementara para pemeluk agama yang
giat dan orang yang bergabung dengan suatu aliran cenderung kehilangan semua
rasa humornya. Segala sesuatu menjadi hitam-putih, mereka telah “menemukan
jalan”. Perasaan lega mereka muncul karena mereka membuat dunia ini menjadi
lebih sederhana: mereka tidak lagi harus menerima realitas seperti apa adanya,
melainkan hidup menurut sejumlah keyakinan yang mengangkat mereka ke atas semua
realitas itu. Mereka tidak akan mengakui bahwa mereka mencari ketentraman,
tetapi inilah yang mereka dapatkan. Tetapi seperti yang diungkapkan Trungpa,
ini semua hasil kerja ego, ingin membuat segala sesuatu lebih solid dan lebih
pasti, dan untuk membuat dirinya semakin tak terkalahkan.
Spiritualitas sejati lebih bisa, bahkan
membosankan. Kita harus menyerahkan harapan kita dan mengenal kekecewaan.
Kekecewaan merupakan tanda kecerdasan, kata Trungpa, karena “ia
mengonfirmasikan eksistensi ego kita beserta mimpi-mimpinya”. Sebaliknya ia
membuat kita mengetahui bahwa ada sesuatu di balik kendali ego, suatu kesadaran
akan diri yang tidak menipu. Kita perlu berkata pada diri kita sendiri: “Saya
bersedia membuka mata saya untuk melihat kehidupan sebagaimana adanya. Saya
tidak bersedia melihat mereka sebagai sesuatu yang spiritual atau mistis.”
Inilah paradok Cutting through Spiritual Materialism, diperkuat oleh Zen Mind, Beginner’s Mind karya Suzuki –
bahwa jalan spiritual, begitu Anda berada di dalamnya, tidak ada yang istimewa.
Kita hanya memandang kehidupan seperti
apa adanya, tidak dibangun diatas begitu banyak struktur mental–keyakinan,
teori, fantasi keselamatan.
Mitos penyelamat
Trungpa berkata
bahwa tak seorang pun yang akan mendengarkan dirinya jika mereka hanya bertemu
dengannya secara kebetulan di jalan atau di restoran, tetapi ketika mereka tahu
bahwa ia dari Tibet dan adalah reinkarnasi ke-11 dari Trungpa Tulku, mereka
semua tiba-tiba menghampirinya. Ia
membahas pola yang serupa tentang seseorang yang telah menemukan seorang
penasihat spiritual, bersemangat dengan guru mereka yang akan membuka pintu
menuju misteri universal. Tetapi setelah melalui tahapan heroik, rasanya
mengejutkan menemukan bahwa di jalan spiritual yang sesungguhnya, tak ada orang
yang akan melakukan apa pun untuk Anda; dan Anda harus melakukannya melalui
waktu sekarang yang membosankan.
Rahasia Trungpa yang lain adalah
bahwa kita seharusnya tidak “mencari yang baik” atau “fokus pada yang terang”.
Spiritualitas sejati berarti menerima segala sesuatu, baik dan buruk, gelap dan
terang, sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Berusaha menjadi baik, dan
berusaha untuk tidak menjadi buruk, adalah suatu dualitas. Dalam meditasi, kita
tidak berpikir secara dualistis—ini cara yang naif untuk mengada. Kita ingin
merasa seperti apa adanya.
Kata penutup
Dengan tulisannya
yang kaya dan bermutu tinggi serta pencapainnya sebagai pendiri pusat meditasi
dan institusi pendidikan di Amerika dan seluruh dunia, Trungpa adalah salah
satu tokoh utama Buddhisme di abad ke-20.
Tetapi ia tidak seperti tipikal
bikkhu Tibet. Trungpa telah melepaskan sumpahnya dan menikah, ia juga seorang
peminum dan perokok berat (kematiannya disebabkan oleh sirosis hati), dan ia
bercinta dengan murid-murid wanitanya. Walau demikian ia sepertinya tidak
melihat hal-hal ini kontradiktif dengan profesinya sebagai guru spiritual,
melainkan menganggapnya sebagai “kebijasanaan gila” atau spontanitas alami.
Apa pun pandangan Anda tentang sosok
Trungpa, Cutting through Spiritual
Materialism adalah karya penting bukan hanya dalam filosofi timur melainkan
dalam pemikiran spiritual pada umumnya. Berbeda dengan tokoh seperti Shunryu
Suzuki dan Paramhansa Yogananda, yang membawa agama timur ke masyarakat Barat
tetapi tetap mempertahankan ketimuran mereka, gaya hidup Trungpa sebagai orang
Amerika modern (berpikir sangat bebas) mungkin memberinya pemahaman yang lebih
besar tentang pikiran sekuler, suatu pikiran yang bisa melihat spiritualitas
sebagai suatu yang terpisah yang yang bisa diperoleh.
Trungpa memperingatkan bahwa para
pencari spiritual bisa berakhir hanya sebagai kolektor pengalaman kultural yang
menarik, bukan seseorang yang benar-benar memberi sesuatu dari diri mereka
sendiri. Kita harus mendekati hal-hal spiritual dengan suatu “kecerdasan yang
keras”, tetap waspada pada guru-guru yang saleh dan karismatik. Pendekatan
bukan-omong-kosong ini menarik bagi siapa saja yang menginginkan jawaban yang
sejati, bukan hanya inspirasi. Dan dalam dunia yang menawarkan ribuan jalan dan
pengalaman spiritual yang memikat, buku ini ibarat mercusuar yang akan mencegah
Anda menabrak karang spiritual.
Chögyam Trungpa Rinpoche
Lahir pada tahun 1939 di Tibet bagian timur, Trungpa
adalah Tulku yang ke-11 atau reinkarnasi dari guru-guru Tibet Kagyu, sebuah
sekolah Buddhisme yang memfokuskan pada meditasi. Ia diangkat menjadi kepala
biara Surmang di akhir-akhir masa remajanya, tetapi pada tahun 1959 ketika
China menginvasi Tibet, ia terpaksa melarikan diri ke India, melakukan
perjalanan yang berbahaya dengan kuda dan berjalan kaki. Selama beberapa tahun
berikutnya ia bekerja di sebuah sekolah untuk para lama (rahib) muda di
Dalhousie, atas permintaan Dalai Lama.
Pada tahun 1963, Trungpa mendapat beasiswa untuk belajar
ilmu perbandingan agama, filsfat, dan seni di Oxford University. Pada tahun
1967 ia mendirikan pusat praktik Buddhis Tibet yang pertama di Barat, Samye
Ling di Skotlandia, tidak lama setelah ia mengalami kecelakaan mobil yang parah
yang mengakibatkan kelumpuhan parsial di bagian kiri tubuhnya. Ia menarik
kembali sumpahnya, menikah, dan pindah ke Amerika Serikat, mendirikan pusat
meditasi di Vermont. Sepanjang tahun 1970-an ia membuka lebih banyak lagi pusat
meditasi, banyak menulis, dan mendirikan Naropa Institut, sebuah universitas
pengetahuan budaya Buddhis di Colorado. Organisasi pelatihan dan meditasinya,
Shambala Training, beroperisi di banyak negara.
Trungpa wafat pada tahun 1987. Istilah yang digunakannya,
“egolesness” dimasukan ke dalam Oxford English Dictionary.
(50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan
dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom
Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA
ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar