Klaus K. Klostermaier, profesor dan kepala ‘Departement of Religion’ di Universitas Manitoba, AS, dalam bukunya “A Survey of Hinduism” antara lain mengatakan: “Agama Hindu telah menghasilkan, di jaman modern ini, tidak hanya seorang Dayananda dan Tilak, tapi juga seorang Gandhi dan seorang Sarvepalli Radhakrishnan, seorang Aurobindo Ghose dan seorang Krishnamurti, warga dunia yang sesungguhnya, dan nabi-nabi dari sebuah agama universal. Apa yang kita lihat sedang terjadi atas Hindu dewasa ini adalah pembentukan satu agama baru dunia yang sebenarnya.” [N.M. Madrasuta; “Hindu sebagai Agama Dunia”; RADITYA No.49 - Agustus 2001; hal. 27-28.]
Yang menarik disini adalah pernyataan dari sang profesor yang memasukkan Jiddu Krishnamurti dalam jajaran ‘para pembaharu Hindu’ terkemuka tersebut. Kenapa menarik? Beberapa tahun silam, dalam diskusi di milis Hindu Dharma Net sempat ada yang ‘menyangsikan ke-Hindu-an’ dari Krishnamurti. Dengan tulisan dari sang profesor tadi, kesangsian serupa jadi sirna. Menurut hemat saya, ajaran Krishnamurti cenderung universal.
Tetapi bagaimana sebetulnya pokok-pokok ajarannya yang disebut sebagai universal itu? Kendati (mungkin) terlampau samar untuk dapat melihatnya secara langsung, berikut ini disajikan interpretasi dari apa yang dipublikasikan di website “Krishnamurti Foundation of America”, dengan harapan dapat memberi gambaran lebih konkrit.
POKOK AJARAN J. KRISHNAMURTI.
Pokok dari ajaran Krishnamurti terkandung dalam pernyataan yang diutarakannya pada tahun 1929, ketika mengatakan: ‘Truth is a pathless land’ –Kesujatian adalah suatu wilayah tanpa-jalur. Manusia tak bisa datang kepadanya melalui jalur organisasi apapun, melalui krida apapun, melalui dogma apapun, melalui pendeta atau ritual manapun, tidak juga melalui pengetahuan filosofis atau teknik psikologikal. Ia mesti ditemui melalui cermin hubungan, melalui pengertian terhadap kandungan-kandungan batinnya sendiri, melalui observasi dan bukan melalui analisa intelektual atau pembedahan introseptif.
Manusia telah membangun citra-citra sebagai pagar keamanan bagi dirinya sendiri —yang bersifat religius, politis, ataupun pribadi. Inilah yang kemudian termanifestasikan sebagai simbol-simbol, gagasan-gagasan, kepercayaan- kepercayaan. Penghalang yang berupa citra-citra ini mendominasi pemikiran manusia, hubungan-hubungan sosialnya, dan kehidupan sehari-harinya. Citra-citra inilah yang menjadi penyebab-penyebab dari permasalahan kita, karena mereka memisahkan antara manusia dengan manusia. Persepsinya terhadap kehidupan telah terbentuk oleh konsep-konsep yang telah mapan dalam pikirannya. Kandungan-kandungan dari kesadarannya merupakan keseluruhan dari keberadaannya. Kandungan-kandungan mana adalah umum bagi semua umat manusia.
Individualitas adalah nama dan bentuk serta budaya superfisial yang dicerapnya dari tradisi dan lingkungannya. Keunikan manusia tidaklah terletak pada yang superfisial, tetapi pada kebebasan penuh dari kandungan kesadarannya, yang umum, bagi seluruh umat manusia. Jadi ia sesungguhnya sosok individual.
“Kebebasan bukanlah suatu reaksi; kebebasan juga bukan sebuah pilihan. Kepura-puraan manusia sajalah beranggapan bahwa karena punya pilihan, maka ia bebas. Kebebasan adalah observasi murni tanpa arah, tanpa ketakutan terhadap hukuman ataupun harapan akan hadiah. Kebebasan tanpa motif; kebebasan tidak pada akhir dari evolusi manusia akan tetapi tergelar pada langkah pertama dari eksistensinya. Dalam melangsungkan observasi, seseorang mulai mengungkap kurangnya
kebebasan. Kebebasan ditemukan di dalam kewaspadaan tanpa pilih-bulu terhadap eksistensi dan aktivitas kita sehari-hari.”
“Pemikiran adalah waktu. Pemikiran terlahir dari pengalaman dan pengetahuan, yang tak terpisahkan dari waktu dan masa lampau. Waktu merupakan musuh psikologis bagi manusia. Tindakan kita berdasarkan pengetahuan dan oleh karenanya juga waktu; jadi, manusia selalu sebagai budak dari masa lalunya. Pemikiran senantiasa terbatas, makanya kita hidup dalam konflik dan perjuangan terus-menerus. (Oleh karena itu pula) tidak terjadi evolusi psikologis.”
“Manakala manusia waspada terhadap pergerakan dari pemikiran-pemikirannya sendiri, ia akan melihat keterpisahan antara sang pemikir dan pemikiran, sang pengamat dan yang diamati, yang mengalami dan pengalaman. Ia akan mengungkap bahwasanya keterpisahan ini adalah ilusi. Hanya setelah itulah ada pengamatan murni yang mengarah ke dalam tanpa diikuti oleh bayang-bayang masa lalu atau waktu. ‘Insight’ tanpa waktu ini menyertakan suatu mutasi yang mendalam, radikal dalam batin.”
“Penyangkalan total merupakan essensi dari yang positif. Bila hadir sebentuk penyangkalan terhadap semua itu, dimana pemikiran terbawa secara psikologis, hanya setelah itulah hadir kasih, yang disertai belas-kasihan dan cerdas.”
TINJAUAN SINGKAT.
Bila boleh saya memperbandingkan pernyataan-pernyataan atau ajaran-ajaran mendasar dari Krishnamurti dengan beberapa term-term sanskrit —yang sebetulnya tak banyak digunakan oleh mereka yang non-Hindu— akan kita temukan padanan maknawinya dengan ajaran Hindu, yang sifatnya mendasar. Beberapa di antaranya adalah: Penekanan pada ‘truth’ yang umumnya kita langsung terjemahkan sebagai kebenaran, agaknya akan lebih mengena bila ia tetap menggunakan istilah sanskritnya: satya.
Ia juga bisa tentang apa yang disebutnya sebagai ‘kandungan-kandungan batin’, yang banyak dibicarakan dalam Samkhya Darsana-nya Maharshi Kapilamuni. Ia juga banyak bicara prihal kebebasan, yang tiada lain dari yang dalam istilah sanskrit dan yoga-nya disebut: kaivalya, moksha, atau mukti. Ia juga banyak menekankan pada observasi atau pengamatan ke dalam, ke dalam batin kita sendiri, bahkan menganjurkannya untuk membiasakan laku-spiritual tersebut. Ini sebetulnya cukup akrab bagi yang mempraktekkan dharma-sadhana atau yoga, khususnya yang akrab dengan laku pratyahara.
‘Penyangkalan total’ adalah istilah yang dapat dibilang sulit ditemukan dalam praktek-spiritual (sadhana) lain, sebagai apa yang disebut dengan vairagya. Vairagya dikenal sebagai salah-satu dari Empat Sadhana Utama (Sadhana Cathustaya) bagi penekun Jñana Yoga. Mereka adalah: viveka (kemampuan memilah-milah antara yang maya dan yang sunyata), vairagya (penyangkalan-diri atau ketidak berpihakan terhadap segala fenomena ke-maya-an), sat sampat (pengupayaan enam, sad, prilaku atau disiplin spiritual luhur) dan mumukshutva (kerinduan atau hanya mengidam-idamkan kemahardikan).
Telah merupakan kecenderungan kuat dari sementara universalis Hindu —atau dari agama manapun— untuk tidak memisah-misahkan atau membeda-bedakan manusia, hanya lewat tampilan fisikal yang superfisial saja; seperti yang juga ditekankan oleh Krishnamurti. Ini merupakan manifestasi dari ajaran Upanishad yang lebih akrab dengan kita sebagai ‘tat tvam asi’.
Sebetulnya dari nama beliau saja, telah diperoleh gambaran jelas tentang dasar atau latar-belakang keyakinan beliau.
Demikianlah
beberapa pokok ajarannya yang terlihat secara terbatas, hanya dari apa yang
dikompilasi oleh “Krishnamurti Foundation of America” itu saja, tapi sudah
cukup memberi gambaran akan bagaimana seorang Krishnamurti ‘membahasakan’
Hinduisme.
UNIVERSAL DAN MULAINYA TINGGI.
Profesor David Bohm —fisikawan teori quantum itu- mengatakan: “...Saya berpikir khususnya tentang Einstein yang menunjukkan suatu kesamaan intensitas dan absennya penghalang dalam sejumlah diskusi-diskusi yang berlangsung antara beliau dengan saya. Sesudahnya, saya mulai menemui Krishnamurti secara teratur untuk berdiskusi, setiap saya ada di London.....Dalam diskusi-diskusi ini, kami menghampiri secara cukup mendalam banyak pertanyaan-pertanyaan yang menyita perhatian saya sehubungan dengan karya ilmiah saya. Kami menyelidiki sifat dari ruang dan waktu, dan dari sisi universal, keduanya sehubungan dengan sifat eksternalnya dan sehubungan dengan pikiran.” [David Bohm; “A Brief Introduction to Krishnamurti’s Teachings”]
Apa yang menjadikan ajaran beliau tampak universal adalah, arahannya yang selalu menuntun kepada pembedahan terhadap sang batin, pembedahan terhadap sang pikiran, terhadap sang perasaan, terhadap sang pencerapan, ingatan dan pembedahan terhadap kesadaran itu sendiri; proponen batin yang ada dan setiap saat siap dipakai oleh setiap orang, di jaman manapun ia hidup.
Mungkin saking
universalnya, atau atas alasan lain yang tak saya ketahui, bahkan Anand Krishna dalam Pengantar
buku “Meditasi”, antara lain mengatakan: “Beliau memang seorang pemberani luar
biasa!...Saya mengagumi keberaniannya. Beliau adalah seorang Buddha —Ia Yang
Sudah Terjaga, Ia Yang Sadar.”
Lain lagi dengan Roger Wheeller. Dalam sebuah wawancaranya dengan seorang Bhikkhu, Ajahn Sumedo —ketua dan pendiri “Chithurst Buddhist Monastery” di West Sussex, Inggris— ia antara lain bertanya: “Saya tidak begitu bisa mengerti. Apa hubungannya dengan pikiran yang terbiasa mengikuti dogma?”
Atas pertanyaan itu
Ajahn Sumedo antara lain mengatakan: “...Kemawasan bukanlah kemelekatan. Apa
yang dikemukakan Krishnamurti adalah kesadaran
terhadap sifat yang berubah-ubah, prilaku benda-benda yang sesungguhnya pada
saat itu. Tetapi beliau (Krishnamurti) mulai mengajar dari hal yang amat
tinggi. Kebanyakan orang tidak dapat memahaminya, walaupun seandainya mereka
(mencoba) memikirkan tentang apa yang diajarkannya itu...”. [Roger Wheeler; “Questions and Answers with Ajahn Sumedo”;
hal. 9]
Saya tidak mengutip seluruh jawabannya disini, dan hanya memilih bagian yang menyinggung ajaran Krishnamurti saja, yang dipandang oleh salah seorang siswa Ajahn Chah —guru meditasi dan Bhikkhu hutan yang sangat disegani, dari Thailand— itu sebagai ‘mulai mengajar dari hal yang amat tinggi’. Dalam kesempatan yang sama, Roger Wheeller juga mendesak dengan mengajukan pertanyaan seputar tradisi yang diterapkan oleh Ajahn Sumedo dalam mengajar di Inggris, tentunya dengan menyertakan pandangan Krishnamurti terhadap tradisi religius. Tampaknya, Roger Wheeler terobsesi cukup kuat oleh ajaran-ajaran Krishnamurti yang disebut sebagai universal itu.
Dalam pengantar buku “Meditasi”, Anand Krishna juga antara lain mengatakan bahwa, “Krishnamurti bukan untuk dibaca, tetapi untuk diselami. Jangan menjadikan beliau bahan untuk mengolah otak”, karena “Anda akan kehilangan esensinya”, paparnya menasehati. Menurut hemat saya, ajaran Krishnamurti adalah ajaran praktis. Penuntun praktis untuk menerapkan dharma-sadhana secara lebih nyata dan lebih mendalam dalam kehidupan kita. Dhyana Yoga yang diajarkannya bukanlah yoga atau meditasi seperti yang dikenal awam atau umum. Bahkan bila mengamatinya hanya sepintas, tanpa ‘modal yang cukup’, ajarannya malah bisa membingungkan.
Akhirnya, besar harapan saya bila tulisan ini dapat memberi sedikit gambaran kasar tentang inti ajaran Jiddu Krishnamurti. Sebagai universalis, ajarannya boleh jadi terlalu menyengat, menyentak serta sulit diterima oleh kebanyakan orang. Namun bagi yang lainnya, yang benar-benar mau membuka-hatinya dan berani keluar dari sekat-sekat pemikirannya yang terfragmentasi, saya rasa, ajarannya tidaklah terlalu sulit untuk dipahami. Pembelajaran-diri akan keberadaan diri manapun akan senantiasa terasa sealur dengan ajaran-ajaran para Rshi-rshi Upanishad.
Gung Dé
Denpasar, 19 Agustus 2001.
_________________________________________
Disunting kembali pada tanggal 19 Desember 2002.
Disunting kembali pada tanggal 19 Desember 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar