BUNG KARNO
bukanlah seorang Pemikir saja, tetapi ia adalah seorang Visioner. Dan, visi itu
menjadi beban yang mesti dipikulnya.
Seorang
pemikir bekerja dengan fakta dan data. Hasil pemikirannya sangat logis. Seperti
matematika saja, satu plus satu mesti dua. Tidak bisa tiga.
Namun,
seorang visioner melihat di balik fakta. Satu plus satu tidak menjadi dua. Satu
plus satu bisa menjadi sebelas. Tambahkan Amerika Serikat pada Ethiopia — maka
hasilnya sudah pasti bukanlah dua negara — tetapi kekuatan yang dahsyat.
Bung Karno
melihat Barat sebagai satu kesatuan. Kesatuan yang memiliki perekat materi yang
sangat kuat. Selama ratusan tahun, negara-negara Barat menjarah Timur. Kekayaan
mereka adalah hasil rampasan. Bagaimana mengimbangi mereka?
Maka, ia
memunculkan ide Persatuan Asia dan Afrika. Saat itu, Nehru yang sama-sama
visioner pun masih bertanya-tanya, “Apa iya?” Bung Karno mesti mengutus
kawan-kawannya yang paling cakap untuk meyakinkan Nehru, “Ya, iya”. Setelah
Nehru dapat diyakinkannya, maka Tito, Nasser dan Chou En Lai tinggal bergabung
saja.
Sayang
sekali, kita tidak memahami visi Soekarno. Sedemikian rupanya kita tidak
memahami visi beliau, sehingga terciptalah keraguan dalam diri beliau, dalam
batin beliau. Dan, hanya 3-4 tahun setelah Konperensi di Bandung, beliau pun
barangkali mulai meragukan visinya sendiri. “Barangkali” saya katakan, karena
demikianlah “penangkapan” saya dari puluhan literatur yang saya baca tentang
kejadian-kejadian antara tahun 1955 hingga 1965.
Sekarang,
saatnya kita kembali memahami visi Bung Karno: Persatuan antara Negara-negara
Asia dan Afrika. Saatnya juga kita menempatkan Pak Harto pada perspektif
sejarah yang benar. Visi beliau tentang ASEAN adalah sebuah “kompromi” atas
visi Asia-Afrika Bung Karno.
Asia-Afrika
dipersatukan oleh Pengalaman Sejarah “Penderitaan” ketika dijajah oleh
Negara-negara barat — inilah visi Bung Karno.
Negara-negara
Asia Tenggara dipersatukan oleh “Pembangunan Integral” di wilayah ini dengan
memperhatikan sumber alam, sumber daya manusia, juga persamaan kultur dan
budaya.
Dalam
kedua-dua visi tersebut, Peran Indonesia sebagai Motor Penggerak, bahkan
sebagai “Bapak Gerakan” diakui oleh seluruh negara dan bangsa yang bergabung.
Bung Karno
adalah Arek Surabaya. Bahasanya ceplas-ceplos. Jika tidak suka dengan kebijakan
luar negeri Paman Sam, maka ia pun meneriaki dia, “Go to Hell!” Pak Harto
adalah Wong Solo, halus. Sudah gondok pun masih bisa senyum.
Ya, saya
ingin berandai-andai, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya Pak Harto pun
mulai gondok dengan kebijakan luar negeri dan kebijakan ekonomi Paman Sam yang
sangat mempengaruhi kebijakan negara-negara lain di barat. Bedanya dengan Bung
Karno, beliau sudah telanjur tergantung pada Barat. Bung Karno belum.
Kesadaran
akan ketergantungan inilah yang melahirkan dan memperkuat ASEAN dari tahun ke
tahun. Mahathir yang dianggap arogan oleh Paman Sam pun menghormati Pak Harto.
Pil ini terasa sangat pahit untuk ditelan, Paman Sam tentu tidak menyukainya.
Tumbangnya
Bung Karno di mana peran Pak Harto masih diperdebatkan seberapa besar atau
seberapa kecil — bagaimana pun juga jelas dengan restu Paman Sam dan sekutunya.
Lengsernya Pak Harto juga sama. Sejarah terulangi. Di balik kedua peristiwa
tersebut, adalah kepentingan ekonomi yang menjadi pertimbangan. Tidak ada
pertimbangan-pertimbangan lain. Apalagi kepentingan Rakyat Indonesia — sama
sekali tidak.
Visi Bung
Karno adalah Visi Harga Diri dan Martabat Manusia Indonesia. Persatuan Asia dan
Afrika dijadikannya sebuah misi untuk mencapai visi tersebut. Ketergantungan
pada Paman Sam atau siapapun jua menjadi penghalang bagi tercapainya misi
tersebut — maka penghalang itu, rintangan itu mesti disingkirkan. Adalah
kesalahan kita jika kita menganggap penyingkiran tersebut adalah terhadap Dunia
Barat, terhadap masyarakat Amerika dan Barat. Penghalang atau rintangan itu
adalah pola pikir Paman Sam, kebijakan luar negeri serta ekonominya. Dan, pola
pikir serta kebijakan itulah yang diserang oleh Bung Karno, dan mulai ditolak
oleh Pak Harto.
Bung Karno
sudah tidak bersama kita. Pak Harto sudah menjadi bagian dari sejarah kita.
Sekarang, apa yang mesti kita lakukan? Memahami visi mereka, mempelajari
kegagalan-kegagalan mereka dan tidak terjebak dalam romantisme
mengagung-agungkan atau menghujat mereka — atau mengembangkan visi baru. Namun
untuk itu, saat ini adalah seorang visioner di antara kita?
Jika ingin
melanjutkan visi Bung Karno dan Pak Harto — maka kita harus memusatkan seluruh
energi kita pada kemandirian. Kita mesti melepaskan diri dari ketergantungan.
Hal ini sudah tidak mudah. Kita sudah melakukan sekian banyak kesalahan
sehingga melepaskan diri dari ketergantungan dapat menimbulkan gejolak sosial,
kecuali “seluruh bangsa ini menjadi sadar dan siap untuk berkorban”.
Pertama: Hentikan Impor Pangan, buah-buahan
segar dan kaleng, sayuran dan sebagainya. Kita akan makan ketela, jagung, beras
merah, apa saja — tetapi Tidak Mau makan beras impor, buah-buahan impor dan
sebagainya.
Kedua: Bisnis Ritel harus dikuasai oleh
orang Indonesia, mau keturunan Arab, Cina, India, bule, mau pribumi, non pri —
siapa saja boleh. Asal orang Indonesia. Segera hentikan pemberian izin kepada
hypermarket yang berasal dari luar. Biarlah mereka mengembangkan bisnis-bisnis
besar lainnya. Untuk bisnis ritel, kita harus kembali pada pola dan pasar
tradisional kita yang mesti di upgrade dan diperbaiki.
Ketiga: Pembangunan Fisik harus merata di
seluruh kepulauan. Hentikan pembangunan pencakar langit dan gedung-gedung
apartemen. Dengan cara itu kita akan memberdayakan perekonomian desa dan
mencegah terjadinya urbanisasi secara berlebihan.
Keempat: Investasi dari Luar dicarikan
lapangan yang masih kosong, dan tidak dapat diolah dengan baik oleh orang-orang
kita sendiri. Daripada mencari nasabah untuk kartu kredit dan menciptakan
bangsa pengutang, silakan bank-bank asing membiayai industri-rumah dan sektor
bisnis serupa lainnya. Bantulah para nelayan kita, para petani kita dengan
kredit ringan.
Untuk
melaksanakan program-program ini, tentunya Pemerintah harus serius. Para wakil
rakyat harus memikirkan rakyat, bukan kantong serta kedudukan mereka. Awalnya
barangkali mereka kehilangan popularitas, namun kehilangan popularitas itu jauh
lebih baik daripada penilaian oleh generasi mendatang sebagai orang-orang yang
tidak becus dan mencelakakan seluruh bangsa dan negara.
Kelima: Hubungan Luar Negeri dengan
negara-negara Asean, Asia Barat, Amerika Serikat dan siapa saja — mesti
berlandaskan asas kesetaraan. Kita tidak bisa didikte. Kita mesti memiliki
keahlian di bidang diplomasi dan negosiasi.
Selamat
ulang tahun Bung Karno, selamat ulang tahun Pak Harto — dan salam Pancasila
untuk kita semua… Namun ucapan selamat dan salam tidak berarti sama sekali jika
kita tidak segera bangun, bangkit, dan mulai bekerja. Masih banyak pekerjaan
rumah yang mesti diselesaikan! q – o (1221-2007).
Tulisan
Bapak Anand Krishna di KR Thursday, 31 May 2007, Opini Publik : Visi Bung Karno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar