Kiai Ganjel
Mandireng Pribadi.
Leo : Tetap pada dirinya sendiri. Selalu bersemangat.
Bapak : Mandireng Pribadi itu tidak melihat terlalu tinggi,
karena dengan melihat yang tinggi jadi minder atau dengan melihat yang rendah
bisa sombong. Mandireng Pribadi ialah yang menikmati proses. Mandireng
Pribadi tidak ‘muluk-muluk’—diluar kapasitas, tidak melalaikan hal
kecil-kecil, tetap pada diri sendiri dan sabar.
Anak
sekolah, SMP, suka hal-hal mistis dan tidak ingin sekolah?
Ia suka total pada hal-hal itu, silakan, apa salahnya? Jangan langsung menganggap
negatif. Masalah sekolah, ia tidak mampu sekolah atau ia tidak mau sekolah?
Masalah diperdalam, seperti itu apa karena terobsesi atau memang itu
panggilannya? Yang penting adalah Kepantasan, memberikan sesuatu
alasannya mengapa, apa!? Berikan beberapa sudut pandang atau alasan-alasan
sebagai pertimbangan dia.
Guru bercerita tentang pengalaman seorang pelajar Sastra Pracis, kuliah selama
enam tahun ia tinggalkan untuk melaksanakan prinsipnya menjadi Petani. Penekanannya
pada memiliki prinsip, jika memiliki prinsip tidak ada yang bisa
menghalangi! (ingat cerita Bima Berguru-pen)
Ia membuat kesimpulan dari apa yang ia alami. Belajar memberikan sesuatu
seolah-olah kita menjadi anak seumur itu dan menjelaskannya, mengikuti arus.
Masalah pilihan, dari sisi anak sekolah, tugas anak sekolahan ya
sekolah. Tanpa disadari kita memilih karena ikut-ikutan. Bahasa agama,
panggilan kepantasan, ‘man on the right
place’. Sudut pandang kita telah terwarnai tentang anak sekolah. Sesuatu
kita iyakan menjadi kebenaran. Umumnya kita melihat sesuatu memakai kaca
mata berwarna dan segalanya berubah sesuai warna kaca mata.
Mengajar harus dalam kemampuannya, dalam bahasanya. Memulai
dengan kaca mata salah, mengikuti dia, tidak ‘perang’, kemudian dituntun. Bapak
sharing tentang mengajar, mengajar mulai dari dimana ada kesamaan, titik
temu, jangan yang bertentangan atau yang memicu perdebatan. Yang sederhana,
yang sepele tidak usah yang hebat-hebat. Tuntun mulai dari kesamaan. Misal
dalam angka, menuntun dari 5 ke 6, kedekatan/kesamaan bukan langsung 10.
Pilihan
atau Memilih.
Tidak bisa memilih!? Memilih tidak mudah! Untuk dapat memilih harus punya,
1)
Keberanian, banyak orang tidak punya keberanian. Berani nggak
melaksanakan? Berani konsekwen terhadap kebenaran? Dari sisi waktu, sesuatu itu
sudah salah kok diteruskan? Itu adalah kesia-siaan. Ini bagian dalam
kesungguhan. Bisa berani karena,
2)
Mengerti, karena tidak mengerti menjadi ragu-ragu, dari keraguan
maka takut pun muncul. Mengerti dalam hal,
Ø
Kemampuan, sering kita bertanya mampukah saya?
Bercita-cita karena diwarnai kemampuan, tidak berani ambil resiko; memang
banyak berhasil tapi keberhasilan yang sepele-sepele.
Ø
Kemauan, aku mau nggak! Yang pertama adalah ‘aku mau’, yang
lain bagaimana nanti, bila berhasil hasilnya luar biasa dan resiko gagal pun
besar. Bercita-cita diwarnai dengan kemauan.
3)
Menyenangi.
Gantharwa diharuskan menjadi ia yang bercita-cita yang
diwarnai kemauan. Dari sisi lain pilihan juga terjadi karena ancaman,
mendapatkan hasil langsung atau kongkrit, tahu diujung nanti luar biasa dan
karena iming-iming.
Seorang Guru seperti ‘air dan angin’, Guru menurunkan DiriNya
menjadi atau berpola seperti murid dan bersama dia. Bapa ‘berpola manusia’
untuk menolong manusia. Sulit menjadi dia—pasien, yang minta tolong, murid.
Memberi kawruh tahu resikonya apa? Hasilnya bagaimana? Menjadi cermin yang
luas—didepan, dibelakang, diatas—karena dia menjadi penentu? Jangan
memberi keputusan, salah-salah kita menjadi pemegang keputusan.
Bapak dengan jujur mengungkapkan, “Masalah mendasar
tanya jangan di duniawi tapi tanya di dunia roh”(karena jawaban di alam
duniawi banyak diwarnai oleh kedekatan sebagai keluarga, agama dsb, sehingga
tidak asli lagi-pen)
Banyak
mendengar, jangan memusuhi, jangan menyalahkan. Orang ingin dihargai, tidak
ingin disalahkan. Tahu kesalahan karena dia menyadari sendiri, bukan kita yang
memberitahu bahwa itu salah. “Menurutmu
mana yang benar?”, akal-akalan Yesus, diplomasi Yesus.
Lihat latar belakangnya!
Karena stress melihat yang nyata, lingkungan dia, mengalami
kekecewaan yang besar dan akhirnya menyimpulkan.
Mau hidup seperti apa? Hidup yang bagaimana? Perlu
ketelatenan dan kesabaran. Dalam keadaan stress, melamun akan mudah terlena
akan godaan. Potong kompas, masalah inti…
Selektifitas
atau Kebenaran.
Sering iblis itu iklan, nipu dalam bahasa kita dan dibelokan.
Biar laku sepintas-sepintas lebih indah, lebih bagus. Yesus mengatakan,
“Mereka seolah-olah melebihi Aku”. Butuh kemantapan, menjadi kolektor-kolektor
pengertian yang prinsip atau mendasar.
Basic : Yesus
sadar, Prinsip-Prinsip Kebenaran di Pegang. Secara mendasar, ia
menyampaikan pesan kebenaran nggak? Merek-merek pribadi di tinggalkan, yang
penting pesannya kebenaran nggak? Keaslian Kebenaran, basicnya Bersifat
Keillahian. Ini kita pegang teguh.
Milikilah Karunia untuk Mengerti. Melihat dan
mendengar untuk mengerti. Mengerti akan sesuatu itu apa? Itu bermanfaat nggak,
kalau tidak itu pemborosan.
Masing-masing talentanya lain-lain, jadilah
sportif, kita semua mutiara untuk saling melengkapi dan semua punya kelebihan.
Berpikir yang sederhana, yang lugu, Gantharwa masing-masing
memurnikan kaca mata-kaca mata pribadi yang berukuran dan berwarna tertentu.
Sadarilah kepenuhan pengertian sesuai dengan Panggilan. Penuhnya beda
karena bidangnya lain, kepenuhan tidak sama. Pengertian tukang kayu, ya,
penuhnya pengertian tukang kayu bukan masalah bintang.
(Wejangan Kyai Ganjel pada Kliwonan
28 Februari 2000 di Padepokan Gantharwa, Cibolerang Indah Blok H1 Caringin,
Bandung, Jawa Barat)
(http://gantharwa.org/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar