Sang Maestro Yoga, Bhagavan Patanjali
Bagian Kedua: Sadhana Padah
II.27
tasya
saptadhā prānta-bhūmiḥ prajñā
“Prajñā atau
Tingkat Kebijaksanaan Tertinggi dicapai dengan melewati tujuh tahap secara
berurut.”
Apa yang dimaksud dengan 7 tahap
ini?
Dalam Tradisi Yoga, Tujuh Tahapan
yang dimaksud adalah:
1. Mengetahui
Apa yang Perlu Diketahui;
2. Menghindari
Apa yang Perlu Dihindari;
3. Mencapai Apa
yang Perlu Dicapai;
4. Menemukan
dan Menggunakan Sarana yang Dibutuhkan untuk Merealisasi Tujuan tersebut
(Maksudnya, ketiga hal sebelumnya. Dan sarana yang dimaksud adalah Fakultas
untuk Memilah, yaitu Viveka—sehingga kita dapat menentukan apa yang tepat bagi
kita, dan apa yang tidak tepat);
5. Buddhi atau
Inteligensi sudah melakukan tugasnya dengan baik (untuk merealisaskan
tujuan-tujuan di atas);
6. Guna atau
Tiga Sifat Utama Kebendaan, yaitu Sattva yang Tenang, Rajas yang Aktif dan
Penuh Gairah, serta Tamas yang Statis, Malas, telah teratasi, sudah tidak
mengganggu lagi; dan
7. Purusa atau
Gugusan Jiwa Berada dalam Kesendirin-Nya, tanpa Ketergantungan pada apa pun
juga. Pengertiannya adalah, Jivātmā atau Jiwa Individu sudah menyatu, sudah
larut dalam Kesadaran Purusa, Gugusan Jiwa. Sehingga tiada lagi perpisahan
antara Jiwa yang satu dan yang lain.
Tahap Pertama: “Mengetahui Apa yang Perlu Diketahui.”
Ini menyangkut apa pun yang sudah
kita pelajari hingga saat ini, hingga titik ini, hingga sutra ini.
Ini
juga merupakan peringatan sekalus ujian. Patanjali sedang menyapa kita, menegur
manis, ”Sudah baca semua ini, sudah mengetahui apa pun yang perlu diketahui
untuk melanjutkan perjalanan dan mencapai tujuan, siap?”
Berada
di tahap ini adalah penting sekali bahwa: Pertama, kita yakin akan tujuan kita,
yaitu Samādhi atau Pencerahan. Kedua, bahwasanya apa pun yang kita perlu
ketahui untuk mencapai tujuan itu, sudah kita ketahui. Kita mesti “meyakini”
kedua hal ini, baru bisa melanjutkan perjalanan.
Jangan menjadi Pembelajar
Profesional, yang selalu menunda “Laku” dengan alasan “belum cukup tahu”. “There is neither an end, nor a limit to
knowledge,” kata Master. “Tiada akhir maupun batas untuk pengetahuan.
Tetapi, jangan membebani otakmu dengan pelajaran saja. Adalah penting bahwa kau
mempraktikkan apa saja yang telah kau pelajarai. Sambil melakukan hal itu,
sambil mempraktikkan apa yang sudah kau pelajari, ketahui, tiada yang
melarangmu untuk menambah pengetahuan, untuk terus menimba ilmu.”
Dalam
arti kata lain, sekarang yang penting adalah “Praktik!” Demikian, setelah
mengetahui dan melakoni pengetahuan itu, sampailah kita pada:
Tahap
Kedua: “Menghindari Apa yang Perlu
Dihindari.”
Hal-hal inilah yang akan
diajarkan sesaat lagi. Diajarkannya secara lebih terperinci. Untuk itulah
adanya tahapan-tahapan ini. Untuk mempersiapkan kita bagi pelajaran berikutnya.
Dalam
Bab Pertama, maupun Bab Kedua ini, Patañjali sudah menjelaskan secara garis
besar, apa saja yang perlu dihindari supaya citta,
manaḥ atau benih-benih dan gugusan
pikiran serta perasaan tidak terganggu terus, tidak menjadi sebab kleśa atau duka-derita. Masih ingat?
Jika tidak,
penting sekali bagi Anda untuk membaca ulang sutra-sutra ini. Karena, lagi-lagi, kita perlu mengingatkan diri
bahwa sutra-sutra ini bukan sekadar
filsafat; sutra-sutra ini dimaksudkan
sebagai panduan bagi Laku. Yoga-Sutra
ini dimaksudkan sebagai Workbook.
Membaca
ulang pun merupakan bagian dari Laku, dari Yoga-Sādhanā.
Masih ingat istilah Abhyāsa? Sengaja
saya tidak terjemahkan supaya jika tidak ingat, Anda akan membaca ulang
sutra-sutra terhadulu.
Abhyāsa adalah bagian terpenting dari Yoga.
Tanpa Abhyāsa, segala apa yang telah
kita baca, bahkan kita pahami, bernilai nol, nihil. Tidak berguna. So, Abhyāsa!
Tahap Ketiga:
“Mencapai Apa yang Perlu Dicapai”
Tahap Ketiga
ini masih terkait dengan apa yang sudah kita ketahui, dan lakoni hingga saat
ini, hingga sutra ini.
Selama ini, Patanjali sudah
menjelaskan cara-cara untuk mengatasi klesa. Masih ingat arti kleśa? Jika tidak, ulang dari awal!
Ingat, Abhyāsa termasuk apa saja yang
menyebabkan kleśa. Bagaimana kleśa berbenih, bertunas, dan
berkembang, berubah.
Taruhlah kita belum sepenuhnya
berhasil mengatasi kleśa, namun apkah
kita setidaknya sudah berupaya untuk mengatasinya? Apakah kita sudah
menghindari segala hal yang dapat menambah kleśa?
Ya, supaya tidak menambah kleśa.
Sebab, saat in saldo kleśa
kita sudah cukup untuk membuat kita menderita sepanjang hidup. Saldo kleśa adalah saldo yang tidak perlu
dibanggakan. Makin besar saldonya, makin banyak duka-derita kita. Saldo ini
harus dikurangi, kalau bisa dihabiskan. Jadi, jangan menambah saldo klesa,
habiskan apa yang sudah menjadi saldo kita saat ini
Tahap Keempat: “Menemukan dan Menggunakan Sarana yang
dibutuhkan untuk Mencapai Tujuan tersebut.”
Sarana yang
dimaksud adalah Viveka—Fakultas untuk
Memilah antara tindakan yang tepat dan yang tidak tepat; tindakan yang membantu
kita mencapai tujuan dan yang tidak membantu; tindakan yang menunjang evolusi
kita dan yang tidak.
Sebagaimana telah saya jelaskan
secara panjang lebar dalam Spiritual
Hypnotherapy, Viveka adalah
sarana sebelum terjadinya transformasi total mind, manah, atau gugusan
pikiran serta perasaan; sampai mind berubah
total menjadi buddhi atau
inteligensi.
Viveka
adalah bagian dari mind yang sudah
mulai bereformasi, tetapi masih belum bertransformasi total.
Tahap Kelima: “Buddhi Sudah Melakukan Tugasnya.”
Viveka bisa di analogikan sebagai kurir pembawa
berita baik, bahwasanya perkembangan buddhi,
transformasi-total mind atau manah, gugusan pikiran serta perasaan,
tinggal selangkah lagi.
Berada ti tahap kelima, mind sudah mengalami transformasi total,
sudah menjadi buddhi. Bahkan bukan
itu saja, buddhi suddah menjalankan,
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Berarti, manah atau mind sudah
tidak berkuasa. Indra dan badan sudah terkendali. Berada di tahap ini, hidup
kita sudah berada pada jalur yang benar.
Tahap Keenam: “Guna atau Tiga Sifat Kebendaan yang melekat
dengan setiap benda; bahkan dengan badan-fisik, gugusan pikiran dan perasaan
serta intelek, dalam pengertian pengembangan otak karena pengetahuan dari pihak
ketiga, dari luar diri, dan yang biasa disebut ‘kecerdasan’, sudah terlampaui.”
Melampaui
semua itu berarti Jiwa sudah sepenuhnya bebas dari kesadaran ilusif yang
membuatnya mengidentifikasikan dirinya dengan alam benda dan kebendaan.
Jiwātmā
atau Jiwa Individu yang sudah bebas demikian, sekaligus terbebaskan pula dari
identitas lain, yaitu sebagai Jiwa “Individu”. Sebab, “individualitas” pun
sesungguhnya memisahkan diri dari kesejatiannya.
Kesejatian itu adalah
Purusa, Prinsip Energi yang Tak Tergantung pada apa
pun, inilah Tahap Ketujuh. Saat itu,
Jivātmā lebur dalam Puruṣa. Lapisan Identitas palsu terakhir
pun terkupas; dan persis seperti bawang yang jika dikupas terus, akhirnya tiada
sesuatu apa pun yang tersisa—demikian pula dengan Jiwa Individu. Setelah dikupas
terus, hasilnya Ketiadaan, Kasunyatan, Kekosongan Sampurna yang Abadi.
Inilah Kemanunggalan.
Dalam keadaan ini, yang ada “hanyalah”
(kevala) Puruṣa. Cahaya Ilahi yang tak terpisahkan dari Sumbernya, yaitu Paramātmā, Sang Jiwa Agung. Saat itu,
Hyang Ada Hanyalah Itu-“Itu”-lah Kaivalya.
Jangan cepat-cepat menyimpulkan
bahwa keadaan ini hanya tercapai setelah kematian. Tidak. Tujuan Patañjali
adalah memandu kita ke tingkat kesadaran ini ketika masih berbadan. Sebab itu,
jika kita membaca ulang Sutra ini,
“Prajñā atau Tingkat Kebijaksanaan Tertinggi
dicapai dengan melewati tujuh tahap secara berurut.” Berarti,
keadaan atau tingkat ini bisa dicapai ketika kita masih berbadan. Paham?
Kata kunci dalam sutra ini adalah Prajñā—Kebijaksanan Tertinggi. Renungkan, kenapa Patañjali menggunakan
istilah ini? Kenapa Prajñā atau
Kebijaksanaan Tertinggi, jika seseorang sudah mencapai mokṣa atau Peleburan yang Sempurna?
Sudah moksa, lalu untuk apa kebijaksanaan? Mau diapakan? Kebijaksanaan menjadi
berarti jika kita masih berinteraksi dengan seseorang, sesuatu, suatu kondisi. Utuk
apa menjadi bijaksana, jika kebijaksanaannya tak terpakai?
Maksud Patañjali adalah total transformatoan of mind, manaḥ atau gugusan pikiran dan perasaan
sudah mengalami transformasi total, sudah menjelma kembali menjadi buddhi. Keadaan inilah, pencapaian
inilah yang membuat kelahiran kembali tidak perlu lagi.
Inilah Rahasia
untuk Mengakhiri Samsāra. Ketika manaḥ atau mind sudah bertransformasi, siapa lagi yang akan lahir kembali? Apa
lagi yang bisa menjadi benih bagi kelahiran ulang? Apa yang bisa menjadi alasan
bagi reinkarnasi, punarbhava atau
kejadian ulang?
Buddhi
diperuntukkan untuk mengantar kita ke atas, bukan ke bawah. Itulah tugas dan peran
buddhi, inteligensi. Inilah sebab seseorang
yang telah mencapai keadaan ini disebut Buddha, buddhi-nya sudah berkembang. Seorang Buddha boleh tampak hidup
bersama kita dan di dunia yang sama, tetapi sesungguhnya alamnya sudah
beda,sudah lain.
Seorang Buddha sudah berada dalam
kesadaran Puruṣa selagi masih
berbadan. Ia adalah Jivān Mukta,
sudah bebas dari kurungan alam benda. Badan yang masih digunakannya bukan lagi
kurungan. Ia menggunakannya sebagai alat.
Demikian kiranya maksud Patañjali.
(Sumber: Yoga Sutra Patanjali, Bagi Orang
Modern, Karya Anand Krishna, hal. 219-231, Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar