Rabu, 13 Maret 2019

SIDDARTHA


1922

HERMANN HESSE

Kata-kata Bijak
Alih-alih berjuang mencapai suatu tingkatan spiritual, miliki kedamaian dan kekuatan dengan menerima hidup sebagaimana adanya.


SIDDARTHA


“Pengetahuan yang terlalu banyak telah menahannya, terlalu banyak ayat suci, terlalu banyak aturan ritual, terlalu banyak penolakan, terlalu banyak berbuat dan berusaha. Ia penuh keangkuhan—selalu paling cerdas, selalu paling giat, selalu selangkah lebih maju dari orang lain, selalu bijaksana dan spiritual, selalu menjadi pendeta atau guru. Kedalam kependetaan ini, kedalam pikiran yang tinggi ini, kedalam spiritualitas ini, egonya merayap masuk.”

“Sebagian besar orang, Kamala, sama seperti daun-daun gugur yang terbang dan berputar-putar di udara, kemudian turun dan jatuh ke bumi. Tetapi yang lain, hanya sedikit, sama seperti bintang, bergerak pada jalan yang tetap di mana tidak ada angin yang bisa menyentuh mereka; hukum dan jalan mereka ada dalam diri mereka.”


S
ebelum menjadi Hermann Hesse si penulis terkenal, Hesse berjuang keras membesarkan ketiga putranya sementara istrinya menderita skizofrenia. Ketika penyakit itu menjadi terlalu berat untuk dihadapi, sang istri dimasukkan ke sebuah institusi dan anak-anaknya diasuh oleh teman-temannya. Hesse pindah ke sebuah rumah yang besar dan memesona, Casa Camuzzi, dekat Danau Lugano di Swiss, dan menemukan kedamaian. Ia bermeditasi di siang hari dan menulis di malam hari, serta senang berjalan-jalan dan melukis pemandangan dengan cat air. Siddartha, sebuah novel yang berlatar belakang India di masa ketika Buddha masih hidup, ditulis di tempat ini.
            Baik ayah maupun kakek Hesse adalah misionaris Kristen, tetapi kakeknya juga menguasai sembilan bahasa India dan bisa memberikan pengetahuan tentang literatur spiritual timur kepada Hesse.  Jika mempertimbangkan sifat pemberontak dan anti-kompromi sang penulis (ia dikeluarkan dari sekolah pada usia 13 tahun, dan kemudian menjadi penganut pasifisme yang lantang), tidak mengejutkan bila ahirnya ia menghasilkan buku seperti Siddartha, sebuah sintesis antara konsep Buddha, Hindu, Tao, dan Kristen yang berakhir dengan penolakan agama konvesional demi suatu bentuk spiritualitas yang bersifat sangat pribadi dan individual. Tetapi bagaimana sebenarnya kisah Sddharta dan mengapa buku ini mampu menguasai imajinasi spiritual selama 80 tahun teakhir ini?

Pencarian
Dengan cerminan dari kehidupan sendiri, Hesse memperkenalkan karakter Siddartha sebagai putra dari seorang terpelajar kasta brahmana, tenggelam dalam diskusi dan praktik agama Hindu di usia yang sangat muda.
            Ketika buku itu dimulai, Siddartha merasa gelisah. Ia telah dibesarkan dengan sekian banyak pengetahuan, tetapi ada sesuatu yang kurang: semua orang berbicara tentang Tuhan dan kesatuan segala sesuatu yang eksis, tetapi ia bertanya siapa kira-kira yang benar-benar pernah mengalaminya. Dengan mencari kemurnian karakteristik sejumlah orang muda, dan menetang kehendak sang ayah, Siddartha memutuskan untuk pergi dan bergabung dengan shramana, orang suci pengelana dengan kehidupan mereka yang keras. Ditemani oleh temannya, Govinda, sejak sat itu Siddartha tidak memiliki apa-apa kecuali selembar kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya, dan berpuasa selama berminggu-minggu. Dalam kehidupan seorang petapa ini ia bermaksud menanggalkan semua hasratnya serta menyingkirkan egonya. Dan dalam pencarian ini, rasa lapar, haus, lelah, dan pedih dijalaninya dengan gembira.

Betemu Buddha
Setelah tiga tahun, dua sahabat itu mulai mendengar tentang tokoh legendaris bernama Gotama, seorang Buddha dengan “wajah yang berkilau”, yang telah mencapai nirwana dan sekarang tidak merasakan penderitaan kehidupan pada umumnya. Mereka pergi untuk mengunjungi Gotama, dan Siddartha terpengaruh oleh penjelasannya yang sempurna mengenai alam semesta sebagai suatu rantai sebab-akibat yang tak terpatahkan dan abadi.
            Meski demikian Siddartha tidak menjadi pengikut Gotama, meyakini bahwa terbebaskan dari penderitaan bisa terjadi bukan melalui guru ataupun ajaran, melainkan dengan mengikuti jalan kita sendiri. Sekarang sendirian, ia mendapat pencerahan. Sebelumnya, ia menganggap dunia fisik sebagai maya (ilusi), sekarang ia melihat pepohonan, Matahari, Bulan dan sungai seperti baru pertama kali melihatnya, tanpa “berpikir” tentang mereka. Ia menyadari bahwa usaha kerasnya mencari pengetahuan batiniah telah membuatnya tidak bisa melihat keindahan dunia.

Turun ke Bumi
Cerita ini dilanjutkan dengan Siddartha keluar dari hutan dan masuk kota. Ia melihat seorang wanita cantik yang dijunjung oleh hamba-hamba, dengan mulut “seperti buah ara yang baru dibelah”. Ia meraskan kobaran cinta dan ketertarikan, tetapi wanita itu, Kamala, yang mengenakan pakaiannya yang mahal dan rambut yang bersinar, berpendapat alangkah lucunya bahwa seorang petapa yang basah kuyup berpikir bisa menjadi temannya. Siddartha ingin belajar darinya hal-hal mengenai cinta, tetapi ketika wanita itu bertanya apa yang bia ia berikan sebagai imbalannya, yang bisa ia katakan hanyalah bahwa ia bisa “berpikir, berpuasa, menunggu, dan membuat puisi”. Wanita itu suka puisinya, tetapi memberi tahu Siddartha, bahwa ia harus berpakaian dan terlihat rapi sebelum bisa melangkah lebih jauh.
            Siddartha mulai bekerja sebagai asisten seorang pebisnis, dengan cepat mempelajari cara berbisnis dan terbukti sangat berharga bagi atasannya. Ia sukses karena, tidak seperti atasannya, Siddartha hidup terpisah dari bisnisnya, mengambil keputusan tanpa takut rugi dan tidak berbuat curang karena tamak. Ia mampu hidup di dunia yang penuh perjuangan dan penderitaan tanpa terlalu erat terikat dengan dunia tersebut. Baginya, orang mengkhawatirkan dan memperebutkan hal-hal yang sangat tidak penting: uang, kenikmatan, ketenaran. Semua itu hanya samsara, permainan hidup, dan bukan hidup itu sendiri. Karena ia mempunyai pikiran seorang Shramana,  semua itu tidak memengaruhi dirinya.
            Tetapi Siddartha mulai tidak mampu memisahkan diri dan semakin tertarik ke dalam kehidupan manusia pada umumnya, ke dalam harta, uang dan kebanggaan. Ia jadi senang berjudi dan minum, serta menyadari bahwa ia telah menjadi salah satu dari “orang kekanak-kanakan” yang dulu ia pandang rendah. Bahkan, setelah satu malam penuh anggur dan wanita penari, ia menyadari bahwa dirinya lebih buruk dari sebagian besar mereka.

Pedagang ke pemilik perahu
Dalam kesedihannya, Siddartha lari ke hutan, siap untuk mati. Tertidur di tepi sungai, ia terbangun dan menemukan teman lamanya, Govinda, yang membantunya merefleksikan hidupnya dan menemukan dalam dirinya benih jiwanya yang dulu yang lebih murni. Tampak oleh Siddartha bahwa, orang seperti dirinya memang harus melewati tahap hasrat dan cinta hal-hal duniawi agar melihat bahwa semua itu tidak memuaskan dirinya. Hanya dengan merasa jijik melihat bagaimana jadinya sosok dirinya sekarang, ia bisa dilahirkan kembali, dan bukan sebagai petapa pengelana seperti dulu, tetapi sebagai seseorang yang merupakan bagian dari dunia tetapi tidak tergoda olehnya.
       Ia beralih dari seorang asisten menjadi pemilik perahu, belajar bagaimana cara menggunakan dayung untuk membawa orang menyeberangi sungai, dan tinggal dalam sebuah gubuk. Hidupnya sederhana, tetapi sungai berbicara kepadanya dalam cara yang tak pernah bisa dilakukan oleh seorang guru, dan ia menemukan kedamaian.
            Suatu hari seorang wanita dan putranya yang masih kecil pergi untuk menemui Buddha, yang kabarnya sudah mendekati akhir hidupnya. Kedua orang itu berada tidak jauh dari penyeberangan kapal ketika si ibu digigit ular. Tangisan mereka terdengar oleh si pemilik perahu, yang datang untuk melihat apa yang terjadi. Siddartha segera mengenali wanita itu; Kamala, cintanya yang dulu, dan anak laki-laki itu adalah putranya.

Masuk ke dalam lingkaran
Para pembaca harus membaca  buku ini untuk mencaritahu apa yang terjadi kemudian, tetapi Siddartha mempelajari cinta yang sederhana namun sangat kuat yang dimiliki para orangtua untuk anak mereka. Ia tidak lagi memandang rendah mereka yang sangat terikat pada hal-hal duniawi. Ia menyadari bahwa bukan perjuangan spiritual yang terus-menerus yang membawa ke suatu tingkat kedamaian dan pencerahan, juga bukan karena melemparkan dirinya ke dalam kenikmatan dan status duniawi. Disampaikan dalam percakapan dengan teman lamanya, Govinda, kesimpulan Siddartha adalah:

“Satu-satunya hal yang penting bagiku adalah mampu mencintai dunia, tanpa merendahkannya, tanpa membencinya dan tanpa membenci diriku sendiri—mampu menghargainya, mampu menghargai diriku sendiri dan semua makhluk dengan penuh cinta, kekaguman, dan rasa hormat.”

Yang membantunya sampai ke kesadaran ini adalah sungai. Ia mendengarkan “kidung ribun sungai”, yang terdengar seperti kehidupan dengan pergerakannya yang tiada henti untuk mencapai tujuan, perjuangannya, penderitaannya, dan kenikmatannya; walau demikian semua itu bergerak sebagai satu kesatuan. Kehidupan, meski tampak seperti kekacauan yang menyesatkan dan menakutkan, terdiri dari orang, tempat, peristiwa, dan perasaan yang terpisah, barat sebuah sungai di mana semua yang ada di dalamnya sebenarnya adalah satu arus. Dan dalam keutuhan itulah terdapat kesempurnaan.

Kata penutup
Pesan dari Siddartha adalah bahwa kita seharusnya tidak menarik diri dari kehidupan untuk bisa memiliki perasaan suci, melainkan melemparkan diri kita ke dalam berbagai hal. Dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pikiran, dan relasi, hidup sering kali tampak sangat terpisah, tetapi dilihat dari tepi, semua itu sebenarnya adalah sngai pengalaman beraliran lembut yang satu.
        Buku ini juga menunjukan bahwa baik kehidupan yang keras tanpa sensualitas dan “materi”, maupun kehidupan penuh pemikiran dan pengetahuan, sama-sama tidak bisa memberikan perkembangan spiritual seperti yang kita harapkan. Siddartha menemukan bahwa hanya ketika ia berhenti mencari nirvana maka sejumlah pencerahan datang padanya.
           Meski Siddartha diterbitkan di Jerman pada tahun 1920-an, terjemahan bahasa Inggrisnya baru pertama kali muncul pada tahun 1951, dan baru pada tahun 1960-an buku ini menjadi buku terlaris di Amerika seiring dengan terjadinya ledakan ketertarikan pada agama dan filosifi timur. Seperti yang dikatakan oleh sang penerjemah, Sherab Chodzim Kohn, karya ini sangat cocok dengan orang berjiwa bebas dan antikompromi di zaman itu, walau demikian temanya tentang kehidupan diluar hal-hal materi tetap menarik. Keabadian buku ini juga terjadi karena prsesnya yang sederhana, dan penggambaran Hesse tentang kekuatan penyembuhan sang sungai benar-benar indah.
         Siddartha merupakan buah dari perjalanan spiritual Hesse yang melelahkan (dalam bahasa Sanskerta nama itu berarti “ia yang telah mencapai tujuan”), tetapi untunglah Anda tidak perlu harus memiliki jiwa yang tersiksa agar bisa menggunakan pandangan yang ia ungkapkan dalam buku ini.

Hermann Hesse
Lahir pada tahun 1877 di Calw, Jerman, pada usia 18 tahun hesse pergi dan tinggal di Basel, Swiss, bekerja sebagai penjual buku. Novel pertamanya antara lain Peter Camenzind (1904), Beneath the Wheel (1906), dan Gertrud (1910). Pada tahun 1911 ia pergi ke India, dan pada tahun 1914 ia menerbitkan Rosshale. Kesuksesan nyata pertamanya di bidang literatur adalah Demian (1919). Di tahun yang sama Hesse membeli rumah di Montagnola, di daerah Ticino, Swiss. Di sana ia menulis Klein and Wagner, Klingsor’s Last Summer, Siddartha, Steppenwolf (1927), Narcissus and Goldmund (1930), Journey to thr East (1932), The Glass Bead Game (1943).
          Hesse menulis bagian pertama Siddartha dengan mudah, tetapi kemudian berhenti selama setahun akibat depresi. Buku ini selesai pada Mei 1922 dan diterbitkan di bulan Oktober tahun itu, serta diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa negara Asia.
          Pada tahun 1923 Hesse menjadi warga negara Swiss. Sepanjang hidupnya ia adalah seorang penganut paham perdamaian dan di masa perang ia menjadi seorang penentang besar. Pada tahun 1946 ia memenangkan Nobel bidang sastra. Ia meninggal dunia pada tahun 1962.




(50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)