Kamis, 30 April 2020

SEJARAH TUHAN - Karen Armstrong

sejarah-tuhan-karen-armstrong

T

uhan, yang satu, tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun Dia dipersepsi secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah. Buku ini, dengan sangat cerdas dan lugas, merekam empat milenium sejarah persepsi manusia tentang Realitas Tertinggi ini. Berawal dari masa NabiIbrahim a.s. sekitar abad kedua puluh SM., ketika monoteisme untuk pertama kali lahir di tengah agama kesukuan kaum pagan, pengarangnya kemudian melacak bagaimana ide tentang Tuhan bertumbuh, berubah, dan saling mempengaruhi dalam traddisi Yahudi, Kristen, dan Islam, melintasi berbagai fase sejarahnya hingga akhir abad keduapuluh.

Karen Armstrong, seorang pengkaji terkemuka dalam masalah agama di Eropa dan Amerika, memang layak dipuji atas karya gemilang ini. Dia berhasil menguraikan pernik-pernik perdebatan filosofis dan mistis seputar ketuhanan dalam ketiga agama monoteis—Yahudi, Kristen, Islam—lalu masuk ke dalam perbincangan tentang kelahiran fundamemtalisme dan gerakan pembaruan agama, serta pengaruh sains dan teknologi terhadap melemahnya peran agama yang menumbuhkan bibit sekularisme dan ateisme di dalam masuyarakat modern.

Tema yang teramat luas dan kompleks ini berhasil diuraikannya dengan cara yang memikat dan berimbang. Buku ini layak menjadi rujukan dalam setiap pembicaraan modern tentang Tuhan.

Silakan baca selengkapnya :

ZEN MIND, BEGINNER’S MIND


1970

SHUNRYU SUZUKI

Discover Shunryu Suzuki famous and rare quotes. Share Shunryu Suzuki quotations about enlightenment, meditation and teaching. "Leave your front door and your back door..."

Kata-kata Bijak :
Pikiran yang damai dan cerdas bisa diperoleh cukup dengan duduk dan bernapas.


ZEN MIND, BEGINNER’S MIND

“Jika pikiranmu kosong, ia akan selalu siap untuk apa saja; ia terbuka untuk segala sesuatu. Dalam pikiran seorang pemula terdapat banyak kemungkinan; dalam pikiran seorang pakar hanya terdapat sedikit kemungkinan.”
“Dalam benak seorang pemula tidak ada pikiran, ‘Aku telah mencapai sesuatu’. Semua pikiran yang egosentris akan membatasi pikiran kita yang luas. Jika kita tidak berpikir tentang pencapaian, tidak berpikir tentang diri sendiri, kita adalah seorang pemula. Maka kita pun bisa sunguh-sungguh belajae sesuatu.”

K
ata “zen” tidak lagi asing bagi kita, tetapi apa sebenarnya Zen itu? Ketika menyebar ke Jepang, Buddhisme mengembangkan praktik dan ciri khasnya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Buddhisme Zen. Salah satu praktiknya, zazen, adalah suatu model meditasi yang tidak hanya sekedar duduk dan bernapas.

Daisetz T. Suzuki merupakan orang pertama yang membawa filosofi Zen ke dunia Barat, dan dan guru Zen, Shunryu Suzuki, memperkuat pengaruh Zen dengan mendirikan Zen Center di San Francisco pada tahun 1960-an. Zen Mind, Beginner’s Mind: Informal Talks on Zen Meditation and Practice adalah bukunya satu-satunya, tetapi dipuji atas keindahan dan wawasannya yang mengubah hidup.

Apa yang dimaksud dengan istilah “pikiran seorang pemula”? Tujuan praktik Zen, Suzuki menjelaskan, adalah memiliki pikiran yang murni dan sederhana, terbuka pada berbagai kemungkinan. Biasanya pikiran kita memuji dirinya sendiri karena bisa mencapai hal-hal tertentu, tetapi pikiran egosentris semacam ini membuat kita tidak bisa sunguh-sungguh belajar dan melihat. Pikiran seorang pemula tidak berpikir tentang “aku” karena ia menyadari bahwa pikirannya hanyalah ekspresi dari Pikiran universal yang lebih besar, dan hal ini otomatis membangkitkan rasa belas kasih. Ia berhenti berpikir dualitas, dalam polaritas seperti baik dan buruk, atau setuju dan tidak setuju. Akibatnya, ia bisa menghayati momen sebagaimana adanya.

Jika Anda merasa hidup Anda semrawut dan tidak damai, buku ini bisa memberikan perubahan yang nyata.

Pikiran yang teratur, kehidupan yang teratur.
Praktik zazen dilakukan bukan untuk “mencapai” sesuatu keadaan pikiran tertentu. Saat kita melakukannya, pikiran kita hanya berkelana. Buku ini memberi panduan sederhana tentang posisi duduk yang rileks yang merupakan inti dari praktik zazen. Posisi duduk zazen menghasilkan stabilitas dan menempatkan kita kedalam suatu keadaan pikiran yang membebaskan kita dari tirani pikiran.

Bernapas adalah bagian utama dari praktik ini. Pikiran mengikuti pola bernapas, hirupan dan embusannya, serta dengan melakukan hal ini pikiran tidak lagi fokus pada “aku”, sang diri kecil yang biasanya membentuk pikiran kita. Dalam keadaan ini, alam universal kita, “alam Buddha”, mulai menjadi fokus kita. Kita beralih dari pikiran kecil, begitu Suzuki mendeskripsikannya, ke “pikiran besar”.

Mengapa bernapas menjadi sangat penting? Dengan memusatkan perhatian pada pernapasan, kita diingatkan bahwa kita sepenuhnya bergantung pada dunia yang ada disekitar kita, pada udara yang kita hirup. Kita juga diingatkan bahwa jika kita bernapas berarti kita hidup, dan karenanya tidak bergantung. Jika Anda menyadari fakta bergantung/tidak bergantung ini, Anda akan terbebaskan. Ini bukan gagasan intelektual, melainkan suatu hal yang sangat ragawi.

Melalui praktik zazen kita memahami bahwa dunia ini pada dasarnya tidak seimbang, selalu berubah dan sering kacau-balau. Inilah yang membuat dunia dan kehidupan kita yang ada di dalamnya merasakan kesengsaraan. Tetapi alam alam tak terlihat yang melatarbelakangi dunia ini, alam yang membentuk dunia, adalah sempurna; dan kesadaran tentang keselarasan yang sempurna inilah yang bisa kita rasakan dalam zazen. Pengalaman ini akan menempatkan dunia beserta semua isinya dalam sudut pandang yang tepat. Pengalaman ini membuat kita bisa berpikir, “Hmmm, memang seperti itulah dunia.”

Bagaimananpun juga, hal ini tidak lantas berarti kita tidak perlu mengambil tindakan positif. Sebaliknya, tindakan yang kita ambil setelah melakukan praktik zazen, dimana kita baru saja berada dalam keadaan selaras dengan kesempurnaan, pasti merupakan tindakan yang tepat. Biasanya tindakan kita tidak dihasilkan dari kedamaian momen ini; tindakan kita terdistorsi oleh hasrat atau ambisi, dan akibatnya menambah kekacauan. Oleh karena itu, semakin banyak waktu yang kita gunakan untuk bermeditasi, dunia kita akan semakin teratur. Jika kita memiliki pikiran yang tenang, terhubung dengan sesuatu yang nyata dan stabil, hidup kita punya suatu cara untuk menyelesaikan sendiri masalahnya. Inilah cara yang alami dan cerdas untuk menjalani hidup.

Praktik Zen.
Mungkin sepertinya mudah dimengerti, tetapi cara terbaik untuk memperlembut pikiran yang ekstrem, kata Suzuki, adalah dengan duduk, diam, dan bernapas. Bayangkan pikiran Anda seperti ombak yang dengan pernapasan yang teratur, perlahan akan semakin reda, hingga akhirnya air pikiran Anda menjadi tenang. Biarkan pikiran Anda, maka hal ini pun akan selalu terjadi. Pikiran “aku” akan menjadi Pikiran Besar, atau area diri yang murni.

Duduk dan bernapas akan menjauhkan kita dari gagasan ego bahwa kita adalah seseorang yang istimewa. Kita mengira bahwa bagian diri kita yang menginginkan hal-hal istimewa adalah siapa diri kita, padahal hakikat sejati diri kita, yang muncul dalam praktik Zen, lebih besar dari itu. Hakikat sejati diri kita selaras dengan Pikiran Besar. Maka ketika kita bersentuhan dengannya, kita akan melampaui sang aku, yang membuat kita lebih penuh belas kasih dan lebih gembira. Jika segala sesuatu didasari pada”aku”, kita akan terus berjuang sepanjang waktu.

Suzuki memperingatkan kita agar tidak berpikiran untuk mendapatkan sesuatu melalui praktik zazen. Lakukan zazen semata-mata demi zazen itu sendiri. Menggunakan analogi, ia berkata, “Memasak bukan sekadar menyiapkan makanan untuk seseorang atau dirimu sendiri; melainkan untuk mengekspresikan ketulusan Anda.” Meditasi adalah bentuk pengekspresian diri yang tertinggi.

Walau demikian praktik zazen membutuhkan disiplin. Pengulangan, kesetiaan, kesamaan, adalah jalan Zen. Tidak mencari kesenangan atau kegembiraan besar, yang justru mengindikasikan hilangnya hakikat diri kita, melainkan hanya melihat “keberadaan” (is-ness) dan keindahan setiap momen. Suzuki menggunakan katak untuk menerangkan praktik Zen. Katak itu duduk, tidak berpikir diri mereka istimewa, meski demikian duduknya mereka itu tidak mengurangi identitas mereka. Mereka jelas tetap katak. Suzuki berbicara tentang kemurnian sehubungan dengan praktik ini. Ia tidak bermaksud membuat diri kita menjadi murni, mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik, melainkan hanya melihat hal-hal sebagaimana adanya—“kualitas” mereka.

Apa itu Pencerahan?
Kita cendrung berpikir tentang pencerahan sebagai sejumlah pemahaman yang hebat, diraih melalui usaha spiritual selama bertahun-tahun. Dan memang, ada sebuah istilah Zen, satori, untuk menggambarkan kesadaran tentang hal-hal mengenai ke’Buddha’an yang datang tiba-tiba. Tetapi sering kali, kata Suzuki, pencerahan adalah hal yang sangat biasa—sebenarnya hanya merupakan pemahaman tentang suatu fakta yang sederhana. Pertama-tama muncul kesadaran tentang sebuah fakta, kemudian berusaha mengingatkan diri kita tentang fakta tersebut, yang pada gilirannya diekspresikan dalam pikiran dan tindakan.

Apa yang dimaksud dengan fakta? Yang dimaksud dengan fakta adalah segala sesuatu yang muncul dari tiada, bahwa ada suatu “ketiadaan” yang tak berbentuk dan tak berwarna yang terus menghasilkan bentuk dan warna dunia kita. Karena semuanya berasal dari tiada, maka “tiada” pastilah istimewa. Hal ini adalah kualitas yang tak bisa dilukiskan.

Akal sehat meminta kita memercayai potensialitas kreatif ini sebagai realitas dasar kehidupan, di balik semua bentuk yang ia ciptakan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus bisa melewati “pintu kekosongan”, membersihkan pikiran kita dari ilusi yang biasa kita anggap sebagai kenyataan. Setiap orang berpikir bahwa materi—dunia seperti yang kita ketahui—adalah “realitas”, padahal mereka hanyalah representasi dari sesuatu yang menciptakannya. Setiap orang bersikap seolah-olah memiliki sesuatu, kata Suzuki, karena dalam diri mereka terdapat kepingan kecil representasi tersbut. Tetapi bila kita menganggap materi ini sebagai sesuatu yang permanen dan “milik” kita, maka ini akan menimbulkan masalah.

Suzuki menunjukkan bahwa 99% pikiran kita berisi tentang diri kita sendiri dan masalah kita. Ia tidak mengabaikan kepedihan yang kita rasakan dalam pikiran kita. Tetapi orang yang mengetahui bahwa hidup pada dasarnya adalah tentang perubahan dan masalah, dan walau demikian tetap menyadari bahwa di atas semua itu ada sesuatu yang sempurna yang menjadi inti dari semuanya, akan melihat bahwa mencemaskan bagaimana kehidupan berjalan tidak akan memberikan penyelesaian. Hanya dengan merasakan kembali sumber semua ini maka kehidupan bisa diterima sepenuhnya sebagaimana adanya dan ditempatkan dalam sudut pandang yang tepat.

Orang yang dengan terbuka menerima bahwa kehidupan penuh dengan kesulitan akan terbebaskan, karena mereka memahami hakikat kehidupan—bahwa memang seperti itulah adanya. Dengan bersikap seperti ini, kita tidak lagi berpikir bahwa kitalah pusat kehidupan, dan tidak lagi merasakan penderitaan akibat bersikap egosentris. Kita adalah suatu “bagian sementara dari kebenaran”, kata Suzuki, suatu ekspresi singkat dari kebenaran esensial yang ada dalam ketiadaan. Dan jika kita bisa memahami ini, masalah kita tidak lagi memusingkan kita. Suzuki mengutarakannya dengan baik :
“karena kamu berpikir dirimu punya raga dan pikiran, kamu memiliki rasa kesepian. Tetapi jika kamu menyadari bahwa segala sesuatu hanyalah kilasan yang lenyap ke dalam keluasan alam semesta, kamu akan menjadi kuat, dan eksistensimu adakn menjadi penuh arti.”
Suziki memperingatkan kita untuk tidak mengharapkan demonstrasi nilai yang hebat dari praktiknya. Ingatlah, yang Anda lakukan hanyalah duduk dan bernapas—tidak ada yang istimewa. Tetapi ia memberi tips ini: “Teruskan saja praktik tenang dan biasa Anda, maka karakter Anda akan menguat.” Anda mungkin tidak mengalami kebangkitan spiritual yang hebat, tetapi praktik ini akan memberikan dampak pada hidup Anda. Praktik ini membuat Anda bisa memahami hal-hal sebagaimana adanya, dan bahwa yang lain “hanya ilusi”. Ini sendiri sudah termasuk pencerahan, dan bisa mendorong terjadinya revolusi tentang bagaimana Anda hidup.

Kata Penutup.
Zen Mind, Beginner’s Mind menghancurkan keyakinan bahwa kita bisa memperoleh keselamatan atau kebahagiaan dengan mencarinya di tempat lain, di luar siapa diri kita dan di mana kita berada sekarang. Kita ingin lari dari penderitaan, tetapi Suzuki berkata bahwa menemukan kesenangan dalam fananya kehidupan—yang sering kita sebut penderitaan—adalah satu-satunya cara untuk hidup di dunia ini dengan sukses. Pandangan mengenai mengatasi dan bahkan menikmati pengalaman menderita sebagai bagian dari kehidupan adalah pikiran yang radikal, tetapi bukankah pandangan ini lebih mendekati kenyataan dibandingkan dengan keyakinan bahwa kita hanya bisa bahagia jika kita memiliki kehidupan yang sempurna? Ketenangan mungkin adalah anugerah spiritual yang terbesar, bukan dalam pengertian yang fatalistis, melainkan karena mampu memahami indahnya kehidupan dengan segala ketidaksempurnaannya.

Sebagian pemikiran Suzuki mungkin sulit dipahami, tetapi Zen Mind, Beginner’s Mind bukan karya yang membutuhkan kecerdasan untuk membacanya. Bila Anda terinspirasi olehnya, Anda mungkin juga ingin membaca karya kuno Lao Tzu, Tao Te Cing. Tidak ada warna, tidak ada aroma, dan ketiadaan Tao, atau energi universal, adalah hal-hal yang juga diusahakan Suzuki agar kepada mereka pikiran kita terarah—“keberadaan” (is-ness) yang tidak menyerupai apa-apa, tidak terlihat seperti apa-apa, tetapi merupakan generator dunia. Mengenalinya dan menjadi selaras dengannya memberi cadangan kedamaian yang siap-pakai.

Kita biasanya menambah pengetahuan dengan mengumpulkan informasi, kata Suzuki,tetapi dalam Buddhisme yang benar justru sebaliknya. Tujuannya adalah membersihkan pikiran dari “materi”, agar menjadi orang yang ‘kosong’ pikirannya. Ini bukan tindakan bodoh, melainkan cara kita mengakses keabadian dan kecerdasan sempurna alam semesta.

Shunryu Suzuki
Dilahirkan di Jepang, Suzuki baru berumur 12 tahun ketika ia diambil menjadi murid Gyokujun So-on-roshi, seorang guru Zen yang dulu adalah pengikut ayahnya. Ia belajar di sebuah iniversitas Buddhis, Komazawa, kemudian di biara pelatihan Eiheiji dan Sojiji. Ketika gurunya wafat, Suzuki harus mengambil alih kedudukan sebagai pengelola kuil beserta tanggung jawabnya.

Ia pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1959 sebagai seorang pengunjung tetapi kemudian menetap di sana, di San Francisco. Ia mendirikan tiga pusat Zen, termasuk biara Zen di Ameerika.

Zen Mind, Beginner’s Mind disusun oleh marian Derby, murid Suzuki, berdasarkan ceramah yang dibawakan Suzuki di Los Altos. Trudy Dixon dan Richard Baker (yang diangkat menjadi pengganti Suzuki) menyunting tulisan tersebut dan menerbitkannya.

Suzuki wafat di San Francisco Zen Center pada tahun 1971.


(Sumber: Buku 50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)






Rabu, 29 April 2020

Menuju Sang Dia


Kiai Ganjel dan Pak Bagyo



Metode efektif (Umum, Relatif). Umum–yang paling cepat mencapai tujuan; diajarkan yang terbaik, yang populer diterima masyarakat.

Berpegang teguh pada Ajaran Jawa, "gentur topo brotone", Ngerti dan Laku. Realisasi Janji padaTuhan : Realisasi Kebenaran.

… Pernafasan, Konsentrasi… : dipercaya masyarakat umum, inilah jalan!

Bagaimana mempelajari Kebenaran dan berusaha Melaksanakan, ini luas biasa. Bagaimana membuat orang : meng-iya-kan tanpa berpikir. (Cara lain-lain)

Inti : Pendekatan Kawruh dan laku, peningkatan dan pengembangannya.

Tri Premana (hindu) :
1.      Praktek langsung
2.      Analisa
3.      Meyakini Kebenaran.

Umum digunakan ini. Dalam Gantharwa dibalik. Pengertiannya jauh tapi fisik ketinggalan. Alasan, nuntun dengan laku kapan selesainya. Guru : fokusnya Kawru, Murid : fokusnya Laku.

Metode praktis umum : Gentur Topo Brotone. Secara sederhana mulai dari diri sendiri, tidak usah banyak atau tinggi-tinggi. Misal janji bangun pagi, ‘tepati’, tidak usah dulu untuk orang lain atau Tuhan. Janji sederhana, hal-hal biasa. Disiplin : tanda iman. Misal untuk Mahasiswa, janji belajar tiga jam sehari.

Tolong sebaik mungkin, jangan lihat keberhasilan. Kita bekerja hanya untuk nama Tuhan.
Dengan ‘Jujur dan Rendah Hati’ menerima atau melihat diri sendiri.

“Makan selagi tak lapar, minum selagi tidak haus”, berbuat sesuatu jangan karena nafsu (: dampak muncul halusinasi), jangan sesuatu itu tenggelam karena emosi.

Panca Srada (Hindu):
1.      Percaya pada Tuhan
2.      Percaya pada Atma
3.      Percaya pada Hukum Karma
4.      Percaya pada Samsara/Reinkarnasi
5.      Percaya pada Moksa, Moktah, Mukti - Sempurna bersatu dengan Tuhan (:tujuan hidup)

Samsara, kenapa kelahiran dikatakan kesengsaraan? : Reinkarnasi. Umumnya ini yang terjadi, Cinta belum utuh. Lahir karena solidaritas, Kasih Yang Tinggi tidak tega melihat penderitaan makhluk di alam.

Kemanunggalan dengan Tuhan Kekal, tetap selama manusia mau.

Teman sharing : Doa bonceng Pak Joko, dimana Guru disitulah keberadaan ku.

…pasang pilot otomatis… ‘gunakan kesempatan saat sadar’ (BerLisensi/paten). Perumpamaan, secara manusia punya anak-anak dan harta, saat mati salah-salah rebutan maka pergi ke notaris dan yang berlaku yang dinotariskan, ada perkembangan kenotaris lagi dan yang berlaku yang terakhir.

… "Apapun yang terjadi kita ada dalam kesadaran notaris"…(pingsan, mati, tidur dan sadar).

Pernyataan notaris adalah dengan Lisensi : Pkx3. Sesungguhnya saya …..

Gunakan Lisensi untuk hal-hal besar.

Perubahan jabatan : pegawai – kepala bagian – manager, sesuai talenta masing-masing. Fasilitas dan tuntutan sesuai tingkatan. Roh tetap, fasilitas dan fungsi berbeda. Penderitaan : tergantung ‘mensikapi’ talenta yang dimiliki. Talenta dipandang dari kwalitas, kedudukan duniawi.

Abadi, Tuhan memberi kesempatan Abadi. Fasilitas Tuhan Abadi.

Sikap umum : jangan menyia-nyiakan Janji atau Fasilitas Allah. Jeli pada Janji atau Fasilitas Allah.
Roh : Sikap ‘Lisensi’ atau Sikap ‘Paten’ adalah Kepasrahan Total, yang akan membuat kita menerima makin banyak.

: “ Ya Bapa dengan ini Kuserahkan….
 Bisa pasrah dengan Paten/Lisensi.

Cita-cita itu makin memfokus, makin memfokus. Mau maju jangan berhenti.
…"Ayo dekat-dekatan dengan Gusti"…

 Aku(:kemauanku)……………….Lisensi(:sikap manusia dengan Allah)……………………Gusti

 “Kenalilah Allah sejauh Allah memperkenalkan Diri, sejauh mengenal sejauh itu kita bersikap, sejauh  kita bersikap disitulah keberadaanku”

“Kita akan dianggap Allah sebagaimana kita menganggap Allah” (…Hamba, Anak, Bersatu…     …Raja, Bapak, Aku adalah Dia…)


Kita ‘mbebek’(ikut-ikutan) menuju pada gusti?

            Melihat dari sisi mana, dalam hal apa? Pada awal atau mulanya Allah menciptakan ‘sesuatu’ baik adanya. ‘Semua’ selama ia Berperan dalam Panggilan, ada dalam janji full akan mancapai moksa.
: yang bicara manusia (?)

Masuk Sorga berlaku umum, ‘mati jangan berkeinginan’, hati-hati membuat perjanjian?!

‘Pelaksanaan janjinya dengan semangat lebih’, kwalitas manusia terlihat dari sini.

Janji : kemauan yang sungguh-sungguh, menghargai kebebasan, bahasa lain dari jaminan. Dari awal Allah telah menjanjikan.

‘Berperan dalam panggilan’ pasti masuk sorga.

Jaminan tidak malas dan lalai berperanan dalam panggilan, dimasukkan dalam ‘pernyataan notaris’. Janji bisa jika kita berkuasa.


(Wejangan Kyai Ganjel pada Kliwonan 22 Februari 2001, Padepokan Gantharwa, Cibolerang Indah Blok H1 Caringin, Bandung, Jawa Barat)

(http://gantharwa.org/)


Jumat, 24 April 2020

Aṣhtāvakra Gita : Sutra 1:1 - 2:25


#spiritualitys a revered Vedic sage in Hinduism. His name literally means "eight bends", reflecting the eight physical handicaps he was born with. His maternal grandfather was the Vedic sage Aruni, his parents were both Vedic students at Aruni's school. Ashtavakra studied, became a sage and a celebrated character in the mythologies of the Hindu Epics and Puranas. #themodernvedic #gita #ashtavakra #ashtavakra_gita #ashtavakra_samhita #non_dualistic_rationality #advaita #absolute #mukti
Aṣhtāvakra Gita
Ekspresi Kebenaran Paling Murni


Dengan ini dimulailah kitab Aṣhtāvakra Gita.

1:1
Janaka bertanya:
Bagaimanakah seseorang mencapai Kebijaksanaan? Dan Bagaimana Mukti, atau Kebebasan terjadi? dan bagaimana pula Ketidakterikatan dapat tercapai? Mohon jelaskanlah hal ini, Oh Paduka!

1:2
Aṣhtāvakra menjawab:
Anakku, bila Engkau menginginkan kebebasan, Engkau harus meninggalkan semua obyek keinginan dan menganggap itu sebagai racun, kembangkan sifat-sifat mulia seperti memaafkan, keteguhan hati, baik budi, puas diri, dan berpijak pada kebenaran dan anggap ini sebagai nektar kehidupan.

1:3
Untuk mencapai Mukti Engkau harus mengetahui dengan pasti bahwa atma adalah Saksi yang melihat semuanya. Engkau bukan badan yang terdiri dari pertiwi, air, api, udara, dan ether, tetapi sebagai Atma itu sendiri.

1:4
Apabila Engkau pisahkan diri diri dari ikatan tubuh ini dan berstana di dalam atma, sekarang juga Engkau mencapai kebahagiaan, damai dan bebas dari semua keterikatan.

1:5
Engkau bukan dari golongan brahmana atau yang lainnya, tidak memiliki kasta, pun tidak dapat dipersepsi oleh indriya, Engkau bebas, tak berbentuk, Saksi seluruh alam semesta, berbahagialah.

1:6
Dharma dan adharma, suka dan duka hanya ada dalam pikiran tidak dalam dirimu wahai yang meresapi segalanya! Engkau bukan pelaku, pun bukan yang menikmati hasil perbuatan, Engkau selalu dalam kebebasan.

1:7
Sebenarnya Engkau selalu dalam kebebasan sebagai Saksi Hyang Tunggal, yang membuat keterikatan adalah Engkau melihat dirimu sebagai ‘entitas yang melihat’ sebagai sesuatu yang lain.

1:8
Ibarat Engkau telah dipatuk ular besar berbisa ’rasa aku sebagai pelaku’ hanya bisa dibebaskan dengan meminum nektar pengetahuan ‘aku bukan pelaku’, karena itu berbahagialah.

1:9
Dengan keteguhan pada ideasi aku sebagai Kesadaran Murni Hyang Tunggal, bakarlah belantara kegelapan pikiran, bebaskan diri dari derita olehnya dan berbahagialah.

1:10
Halnya dunia ini, ibarat ular yang nampak dari seutas tali, demikianlah Engkau adalah ananda, Kebahagiaan Tertinggi, dari mana dunia ini termanifestasikan, berbahagialah.

1:11
Yang yakin dirinya bebas, bebaslah dia; dan yang merasa diri terikat berada dalam keterikatan; disini benarlah perkataan bahwa orang akan menjadi seperti apa yang dipikirkannya.

1:12
Atma adalah entitas yang melihat yang melingkupi semuanya, sempurna, bebas dari unsur kegiatan, tanpa ikatan, tanpa keinginan dan damai, hanya karena pengaruh ilusi menyebabkan di nampak seperti dalam keterikatan.

1:13
Dengan memusatkan pikiran tanpa tergoyahkan pada atma yang bebas dari dualisme, jauhkan diri dari keakuan yang semu, Engkau mencapai kebebasan dari pengaruh ilusi eksternal dan internal.

1:14
Anakku, Engkau telah lama tercengkram dalam asosiasi dengan tubuh ini,  bebaskan dirimu dengan pedang pengetahuan ‘aku adalah kesadaran’ dan berbahagialah.

1:15
Engkau tidak terikat, tidak berbuat, Engkau adalah yang bercahaya, murni tanpa noda, inilah yang yang menyebabkan Engkau terikat yaitu ‘Engkau’ melakukan ‘Latihan meditasi’.

1:16
Sesungguhnya Engkaulah yang meresapi alam semesta ini dan alam semesta ini terpancar dalam dirimu, Engkau adalah Kesadaran Murni, itu yang merupakan sifat aslimu, jangan berpikir kerdil.

1:17
Engkau tanpa hubungan sebab akibat, tanpa bentuk, tanpa faktor pendukung, tidak bergerak, selalu menyenangkan, tak terjangkau oleh pikiran dan tak tergoyahkan, capailah kesadaran itu selalu.

1:18
Ketahuilah segala yang berbentuk adalah tak nyata, yang tak berbentuk itulah yang kekal, dengan memegang disiplin ini saja orang menjadi bebas dari lingkaran kelahiran.

1:19
Seperti halnya cermin berada diantara obyek dan bayangannya, demikian pula atman, berada di dalam dan diluar badan.

1:20
Seperti halnya ether meresapi ruang di dalam dan diluar kendi sebagai satu kesatuan, demikian pula Brahman sebagai yang meresapi semua yang ada.

2:1
Janaka berkata:
Oh, Aku sebenarnya tak ternoda, damai, sebagai kesadaran, tak terpengaruh oleh sifat alam, selama ini aku hanya tertipu oleh ilusi.

2:2
Seperti halnya Aku yang esa menampakkan badan ini, demikian juga seluruh alam ini dalam diriKu, atau tidak akan ada sesuatu diluar itu.

2:3
Oh, dengan meninggalkan ikatan badan dan dunia ini sekarang juga, melalui usaha yang cermat Aku dapat menyaksikan dengan jelas keberadaan Paramatma.

2:4
Seperti halnya antara riak, buih dan gelembung dalam air tiada perbedaannya, demikian pula jagad ini berasal dari atma, tidak ada perbedaan dalam atma.

2:5
Seperti halnya kain kalau dianalisa hanya terdiri dari benang saja, demikian juga jagad ini kalau dianalisa hanya terdiri dari atma.

2:6
Seperti halnya sari tebu dari apa gula itu terbuat, diresapi olehnya, demikian pula jagd ini terbentuk dalam diri aku, diresapi tanpa batas olehKu.

2:7
Tanpa memiliki pengetahuan atma, dunia ini kelihatan ada demikian, dengan pengetahuan atma dunia ini tiada nampak, seperti halnya tidak mengetahui tali menyebabkan melihat ular, dengan pengetahuan tentang tali tersebut, ilusi ular pun sirna.

2:8
Sifat asliKu adalah Hang Bercahaya, aku tidak lain dari pada cahaya, ketika dunia ini tercipta, sebenarnya Akulah yang bercahaya.

2:9
Oh, imajinasi jagad raya ini nampak dalam diriKu, karena ketidaktahuan akan atma, seperti melihat perak dalam kerang, ular dalam seutas tali atau air dalam silau matahari.

2:10
Jagad raya yang tercipta dariKu, pasti akan larut kembali dalam diriKu seperti halnya, kendi ke dalam tanah, riak ke dalam air, gelang ke dalam emas.

2:11
Oh, Sembah Sujud pada Aku, keagungan diriKu, yang tak mengenal kebinasaan, walaupun kehancuran terjadi pada jagad raya ini dari Brahma sampai sehelai rumput Aku tetap ada.

2:12
Oh, Sembah Sujud pada Aku, keagungan diriKu, walaupun dengan tubuh ini Aku adalah Esa, yang tidak pergi kemana-mana, pun tanpa asal mula, namun meresapi seluruh yang ada di jagad raya ini.

2:13
Oh, Sembah Sujud pada Aku, keagungan pada diriKu, tiada yang menyamai, senantiasa menopang alam semesta ini tanpa tersentuh dengan badan ini.

2:14
Oh, Sembah Sujud pada Aku, keagungan dalam diriKu, yang tidak memiliki apapun, namun semuanya yang dapat diungkapkan dalam jangkauan pikiran dan indra ada dalam diriKu.

2:15
Pengetahuan, yang mengetahui dan objek pengetahuan ketiga hal ini tidak ada dalam kenyataan yang sesungguhnya, Aku adalah dia yang tak ternoda dimana dari ketidaktahuan ketiga ini nampak ada.

2:16
Oh, penyebab semua penderitaan ini adalah dualisme, tiada kesembuhan dari penderitaan selain dengan menyadari bahwa semua objek yang dilihat sebagai tak kekal dan melihat Aku adalah kesadaran penuh rasa bahagia yang murni tanpa noda.

2:17
Aku adalah Kesadaran Murni, namun akibat ketidaktahuan aku membayangkan sebaliknya, dengan selalu mengingat kebenaran ini, aku mencapai Kesadaran Absolut.

2:18
Aku tidak memiliki ikatan ataupun kebebasan, sehingga tanpa faktor pendukung kekeliruan itupun berakhir, jagad yang berada dalam diriKu pun pada kenyataannya tiada.

2:19
Tubuh dan jagad ini kenyataannya tidak pernah ada, hanya Kesadaran Atma yang murni itu saja yang ada, sehingga dengan apa kita membuat imajinasi sekarang?

2:20
Badan ini, surga dan neraka, keterikatan dan kebebasan demikian juga ketakutan, semua ini hanyalah produk pikiran, apa yang kulakukan dengan semua ini? Aku sebagai Kesadaran Atma?

2:21
Sekalipun diantara banyak orang aku tiada melihat dualisme, sehingga menjadi seperti orang yang terasing dari semuanya, pada apa aku mesti mengikatkan diri?

2:22
Aku bukan tubuh ini dan aku tidak memiliki tubuh, pun aku bukan jiwa, yang membuatku berada dalam keterikatan adalah keinginan akan kehidupan.

2:23
Oh, gelombang kehidupan sebenarnya lahir dan menyebar dari arus pikiran dalam kesadaran tanpa batas dalam diriKu.

2:24
Dengan melarutkan arus pikiran di dalam diriKu, fondasi alam semesta bagi unit jiwa yang malang ini mengalami kenihilan.

2:25
Sungguh menakjubkan, di dalam kesadaran tanpa batas dalam diriKu, semua makhluk muncul, bermain dan larut kembali sesuai sifat alamiahnya.



(Sumber : Buku Astavakra Samhita, alih bahasa oleh Acarya Gopalkrsnananda Avadhuta, Penerbit Paramita Surabaya 2006.
Gambar : https://id.pinterest.com/pin/490470215663609953/ )