Sabtu, 11 April 2020

Mandireng Pribadi, Pilihan, Selektifitas



Kiai Ganjel


Mandireng Pribadi.

Leo : Tetap pada dirinya sendiri. Selalu bersemangat.
Bapak : Mandireng Pribadi itu tidak melihat terlalu tinggi, karena dengan melihat yang tinggi jadi minder atau dengan melihat yang rendah bisa sombong. Mandireng Pribadi ialah yang menikmati proses. Mandireng Pribadi tidak ‘muluk-muluk’—diluar kapasitas, tidak melalaikan hal kecil-kecil, tetap pada diri sendiri dan sabar.

Anak sekolah, SMP, suka hal-hal mistis dan tidak ingin sekolah?

            Ia suka total pada hal-hal itu, silakan, apa salahnya? Jangan langsung menganggap negatif. Masalah sekolah, ia tidak mampu sekolah atau ia tidak mau sekolah? Masalah diperdalam, seperti itu apa karena terobsesi atau memang itu panggilannya? Yang penting adalah Kepantasan, memberikan sesuatu alasannya mengapa, apa!? Berikan beberapa sudut pandang atau alasan-alasan sebagai pertimbangan dia.

            Guru bercerita tentang pengalaman seorang pelajar Sastra Pracis, kuliah selama enam tahun ia tinggalkan untuk melaksanakan prinsipnya menjadi Petani. Penekanannya pada memiliki prinsip, jika memiliki prinsip tidak ada yang bisa menghalangi! (ingat cerita Bima Berguru-pen)

            Ia membuat kesimpulan dari apa yang ia alami. Belajar memberikan sesuatu seolah-olah kita menjadi anak seumur itu dan menjelaskannya, mengikuti arus.

            Masalah pilihan, dari sisi anak sekolah, tugas anak sekolahan ya sekolah. Tanpa disadari kita memilih karena ikut-ikutan. Bahasa agama, panggilan kepantasan, ‘man on the right place’. Sudut pandang kita telah terwarnai tentang anak sekolah. Sesuatu kita iyakan menjadi kebenaran. Umumnya kita melihat sesuatu memakai kaca mata berwarna dan segalanya berubah sesuai warna kaca mata.

            Mengajar harus dalam kemampuannya, dalam bahasanya. Memulai dengan kaca mata salah, mengikuti dia, tidak ‘perang’, kemudian dituntun. Bapak sharing tentang mengajar, mengajar mulai dari dimana ada kesamaan, titik temu, jangan yang bertentangan atau yang memicu perdebatan. Yang sederhana, yang sepele tidak usah yang hebat-hebat. Tuntun mulai dari kesamaan. Misal dalam angka, menuntun dari 5 ke 6, kedekatan/kesamaan bukan langsung 10.

Pilihan atau Memilih.

            Tidak bisa memilih!? Memilih tidak mudah! Untuk dapat memilih harus punya,

1)      Keberanian, banyak orang tidak punya keberanian. Berani nggak melaksanakan? Berani konsekwen terhadap kebenaran? Dari sisi waktu, sesuatu itu sudah salah kok diteruskan? Itu adalah kesia-siaan. Ini bagian dalam kesungguhan. Bisa berani karena,

2)      Mengerti, karena tidak mengerti menjadi ragu-ragu, dari keraguan maka takut pun muncul. Mengerti dalam hal,

Ø      Kemampuan, sering kita bertanya mampukah saya? Bercita-cita karena diwarnai kemampuan, tidak berani ambil resiko; memang banyak berhasil tapi keberhasilan yang sepele-sepele.

Ø      Kemauan, aku mau nggak! Yang pertama adalah  ‘aku mau’, yang lain bagaimana nanti, bila berhasil hasilnya luar biasa dan resiko gagal pun besar. Bercita-cita diwarnai dengan kemauan.

3)      Menyenangi.

Gantharwa diharuskan menjadi ia yang bercita-cita yang diwarnai  kemauan. Dari sisi lain pilihan juga terjadi karena ancaman, mendapatkan hasil langsung atau kongkrit, tahu diujung nanti luar biasa dan karena iming-iming.

Seorang Guru seperti ‘air dan angin’, Guru menurunkan DiriNya menjadi atau berpola seperti murid dan bersama dia. Bapa ‘berpola manusia’ untuk menolong manusia. Sulit menjadi dia—pasien, yang minta tolong, murid. Memberi kawruh tahu resikonya apa? Hasilnya bagaimana? Menjadi cermin yang luas—didepan, dibelakang, diatas—karena dia menjadi penentu? Jangan memberi keputusan, salah-salah kita menjadi pemegang keputusan.

Bapak dengan jujur mengungkapkan, “Masalah mendasar tanya jangan di duniawi tapi tanya di dunia roh”(karena jawaban di alam duniawi banyak diwarnai oleh kedekatan sebagai keluarga, agama dsb, sehingga tidak asli lagi-pen)

Banyak mendengar, jangan memusuhi, jangan menyalahkan. Orang ingin dihargai, tidak ingin disalahkan. Tahu kesalahan karena dia menyadari sendiri, bukan kita yang memberitahu bahwa itu salah.  “Menurutmu mana yang benar?”, akal-akalan Yesus, diplomasi Yesus.

Lihat latar belakangnya!

Karena stress melihat yang nyata, lingkungan dia, mengalami kekecewaan yang besar dan akhirnya menyimpulkan.

Mau hidup seperti apa? Hidup yang bagaimana? Perlu ketelatenan dan kesabaran. Dalam keadaan stress, melamun akan mudah terlena akan godaan. Potong kompas, masalah inti…

Selektifitas atau Kebenaran.

Sering iblis itu iklan, nipu dalam bahasa kita dan dibelokan. Biar laku sepintas-sepintas lebih indah, lebih bagus. Yesus mengatakan, “Mereka seolah-olah melebihi Aku”. Butuh kemantapan, menjadi kolektor-kolektor pengertian yang prinsip atau mendasar.

Basic : Yesus sadar, Prinsip-Prinsip Kebenaran di Pegang. Secara mendasar, ia menyampaikan pesan kebenaran nggak? Merek-merek pribadi di tinggalkan, yang penting pesannya kebenaran nggak? Keaslian Kebenaran, basicnya Bersifat Keillahian. Ini kita pegang teguh.

Milikilah Karunia untuk Mengerti. Melihat dan mendengar untuk mengerti. Mengerti akan sesuatu itu apa? Itu bermanfaat nggak, kalau tidak itu pemborosan.

Masing-masing talentanya lain-lain, jadilah sportif, kita semua mutiara untuk saling melengkapi dan semua punya kelebihan.

Berpikir yang sederhana, yang lugu, Gantharwa masing-masing memurnikan kaca mata-kaca mata pribadi yang berukuran dan berwarna tertentu. Sadarilah kepenuhan pengertian sesuai dengan Panggilan. Penuhnya beda karena bidangnya lain, kepenuhan tidak sama. Pengertian tukang kayu, ya, penuhnya pengertian tukang kayu bukan masalah bintang.


(Wejangan Kyai Ganjel pada Kliwonan 28 Februari 2000 di Padepokan Gantharwa, Cibolerang Indah Blok H1 Caringin, Bandung, Jawa Barat)
(http://gantharwa.org/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar