Jumat, 25 September 2020

Menjadi Selebriti Sejati, Sekarang dan Saat Ini Juga!

 




Selokan air kotor di depan rumah anda, air kali dan sungai yang kadang jernih dan kadang keruh – semuanya sedang menuju laut. Es Dhammo Sanantano – demikianlah Kebenaran itu adanya. Demikianlah Dharma, demikianlah Hukum Alam yang langgeng dan abadi. Demikian pula yang dikatakan oleh para bijak.

Tetapi, sesungguhnya kebenaran tadi masih belum utuh – masih separuh. Seorang Buddha – dan jika saya menggunakan istilah Buddha maksud saya adalah setiap orang yang telah memperoleh pencerahan – berupaya melihat sisi lain kebenaran. Ia ingin melihat kebenaran seutuhnya.

Dan sisi lain kebenaran yang mereka lihat, sungguh menakjubkan! Air laut menguap dan menjadi awan. Lalu awan berubah menjadi air hujan. Kemudian turunlah air hujan untuk mengisi semua mata air yang ada dan bahkan mengalir kembali lewat selokan air kotor di depan rumah anda…..

Sederhana banget! Dan seorang Buddha akan manggut-manggut. Ah, demikianlah kebenaran itu adanya, Es Dhammo Sanantano!

Air keruh menjadi jernih, lalu air jernih menjadi keruh kembali. Lalu jernih kembali, lalu keruh kembali…. Ya, sudah ah – ngapain gue pikirin! Kesadaran baru ini melegakan dirinya. Tidak ada beban lagi. Dan ia merasakan begitu ringan. Ia mulai menari dan menyanyi, “Ketahuilah, semuanya ini permainan gila – tak berarti. Tasmaat Jagrutah, Jagrutaah – oleh karena itu, bangkitlah, sadarlah!”. Dan seorang Buddha tertawa terbahak-bahak.

***

Dibekali dengan kesadaran baru tersebut, seorang Buddha mulai merayakan kehidupan. Sesungguhnya, hanya seorang Buddha yang bisa merayakan kehidupan. Dialah seorang “Selebiti Sejati”….

Yang bisa membuat anda menjadi seorang “selebriti” hanyalah kesadaran. Kesadaran yang muncul dari dalam diri sendiri. Kesadaran bahwa anda tidak membutuhkan “pemicu dari luar” untuk merayakan kehidupan.

Seorang selebriti sejati merayakan kehidupan setiap saat dan dalam keadaan apa pun juga. Hanya kesadaranlah yang bisa menghasilkan perayaan. Tanpa kesadaran, tidak ada perayaan.

Seorang Buddha bisa merayakan hidup setiap saat dan dalam setiap keadaan, karena ia sadar bahwa sesungguhnya kekeruhan dan kejernihan bukanlah dua hal yang berbeda. Air yang keruh akan menjadi jernih dan yang jernih akan menjadi keruh untuk menjadi jernih kembali. Berada di tengah kekeruhan – bahkan dalam kekeruhan – ia tidak akan mengeluh, tidak akan menderita, karena ia sadar bahwa kekeruhan itu hanya bersifat sementara. Begitu pula ketika berada di tengah kejernihan, di dalam kebersihan ia tidak akan menjadi senang, lalu angkuh sampai lupa daratan, karena ia sadar bahwa kejernihan dan kebersihan pun bersifat sementara.

Tahap pertama kesadaran Buddha, relatif mudah untuk dicapai – bahwasanya air selokan yang keruh akan menyatu dengan air laut yang bersih. Kesalahan yang terjadi selama ini yaitu bahwa kita berhenti pada tahap awal, kita lupa mengambil langkah berikutnya. Apa lagi?

Siddhartha Gautama pernah menemukan jawabannya. Lewat meditasi, lewat perenungan ia menemukan jawabannya. Ia tidak tertipu lagi oleh kekeruhan air selokan dan kejernihan air lautan. Ia menemukan – dan penemuan dia sungguh hebat – bahwa sebenarnya air keruh dalam selokan tidak pernah berpisah dari air jernih dalam lautan. Dan air jernih dalam lautan juga tidak pernah berpisah dari air keruh dalam selokan. Ada sutra – ada benang yang mengikat setiap intan pengalaman. Selokan di depan rumah anda, sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari lautan luas yang mungkin ribuan kilometer jauhnya dari rumah anda. Kemudian, lewat uap yang tak terlihat, lautan pun sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari awan di atas langit sana. Dan lewat air hujan, awan pun tidak pernah berpisah dari air dalam selokan di depan rumah anda.

Siddhartha Gautama tidak hanya melihat adanya hubungan setengah lingkaran antara air dalam selokan dan air dalam lautan, tetapi juga hubungan sisa lingkaran antara air dalam lautan dan awan, serta antara awan dan air  dalam selokan.

Dalam kesadaran ini, “yang bersih” tidak dapat dipisahkan dari “yang kotor”. “kebenaran” tidak tidak dapat dipisahkan dari “kepalsuan”. “Kebajikan” tidak dapat dipisahkan dari “Kebatilan”. Kesadaran inilah yang disebut Pencerahan Purna. Di mana, segala macam dualitas terlampaui sudah.

Pencerahan Siddhartha Gautama dapat disebut Pencerahan Purna – Lingkaran yang Sampurna. Berada dalam kesadaran dan pencerahan sampurna tersebut, Siddhartha Gautama, Sang Buddha, berbagi rasa dengan salah seorang muridnya, yaitu Sariputra.

Wejangan saat itu adalah yang terpendek, tetapi kelak akan dianggap Inti sari Ajaran Sang Buddha dan disebut Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra. Terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggris menyingkatnya menjadi The Heart Sutra. Istilah Hridaya memang dapat diartikan sebagai heart. Itulah makna tersurat. Yang tersirat adalah the essence atau “inti”. Dan sutra berarti “benang”. Inilah benang merah segala kebajikan. Tidak ada yang lebih dalam lagi. Tidak ada yang lebih tinggi lagi. Inilah intinya. Jadi Hridaya Sutra atau “Sutra Inti” ini merupakan intisari ajaran Siddhartha Gautama.

Pragyaa-Paaramitaa berarti “Suatu keadaan di mana segala-galanya telah terlampaui”. Suatu keadaan, di mana segala macam pengalaman sudah dilewati. Kata-kata ini sungguh sarat dengan makna. Di dalamnya terkandung begitu banyak makna.

Pra berarti yang tertinggi dan gyaa dari kata gyaan (biasanya ditulis jnana, dan oleh karena itu pragyaa juga ditulis prajna – a.k.) berarti pengetahuan – pengetahuan yang tertinggi. Lalu pengetahuan apa pula yang dimaksudkan? Tidak sebatas pengetahuan yang dapat anda peroleh lewat buku. Tidak pula sebatas pengalaman yang dapat anda peroleh lewat kontemplasi dan meditasi. Bahkan tidak juga sebatas pencerahan. Pragyaa berarti ketiga-tiganya, kendati tidak sebatas itu.

Jadi Pragyaa dapat diartikan sebagai “pengetahuan tertinggi yang dapat diperoleh lewat pengalaman pribadi”. Bagi saya Pragyaa berarti meditasi. Pragyaa berarti kesadaran dan pencerahan. Pragyaa berarti segala sesuatu yang dapat dialami. Pragyaa berarti the ultimate experience – pengalaman terakhir!

Kemudian Paramitaa berarti “melampaui” – melewati segala macam pengalaman, baik maupun buruk, kebajikan maupun kebatilan. Semuanya harus dilewati, dilampaui.

Wejangan Sang Buddha yang satu ini merupakan undangan bagi anda. Undangan untuk meniti jalan lebih dalam lagi. Lebih dalam ke dalam diri! Untuk menemukan hridaya – inti segala pengalaman dan melampauinya. Dalam bahasa Islam: sirr un sirr – lebih dalam dari yang terdalam.

Apakah anda sudah mulai meniti jalan ke dalam diri? Jika belum, anda harus mulai dulu. Buku ini bukan untuk para pemula.  Bagi para pemula, silakan melewati tahap-tahap Seni Memberdaya Diri 1, 2, 3, Zen dan lain-lainnya.

Jika anda sudah mulai meniti jalan ke dalam diri, sutra ini akan menjadi pelita dalam perjalanan anda selanjutnya. Bagaikan seorang sahabat yang setia, sutra ini akan selalu mendampingi anda, akan menerangi perjalanan anda.

Sutra ini memiliki kemampuan yang luar biasa, sungguh dahsyat. Dalam sekejap, sutra ini mampu menjadikan anda seorang Selebriti Sejati – seorang Buddha. Dan jika saya menggunakan kata “menjadikan”, mungkin itu pun keliru. Sutra ini akan menyadarkan anda kembali bahwa sesungguhnya anda berada disini untuk merayakan kehidupan. Bahwa selama ini anda lupa merayakan kehidupan. Dan bahwasanya penundaan perayaan tersebut disebabkan oleh ketidaksadaran anda sendiri.

Sadarlah dan jadilah seorang selebriti sejati. Buddha yang ada dalam diri anda, sedang mengundang anda, merayu anda, menggoda anda untuk merayakan kehidupan – sekarang dan saat ini juga!

 

(Sumber: Buku “Ah! Mereguk Keindahan Tak Terkatakan – Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern”, karya Anand Krishna, hal 1-12, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2000)