Senin, 24 Desember 2018

CUTTING THROUGH SPIRITUAL MATERIALISM


1973


CHÖGYAM TRUNGPA



 Kata-kata Bijak
Kadang keinginan untuk menjadi manusia yang spiritual terasa benar-benar sangat besar setelah merasakan ketentraman psikologis.



CUTTING THROUGH SPIRITUAL MATERIALISM

“Ego terus berusaha memperoleh dan menerapkan ajaran spiritualitas demi keuntungannya sendiri.”

“Bagi cara pikir konvesional, belas kasih hanya berarti bersikap baik dan hangat.... Tetapi dari sudut pandang ego, belas kasih yang sesungguhnya adalah kejam, karena tidak mempertimbangkan dorongan ego untuk mempertahankan dirinya. Ini ‘kebijaksanaan gila’. Ini sangat bijaksana, tetapi juga gila, karena tidak ada hubungannya dengan ego yang sesungguhnya dan orang yang berpikiran sederhana berusaha menjaga kenyamanannya.”


            Cutting through Spiritual Materialism ditulis berdasarkan ceramah yang dibawakan oleh guru dan ahli Buddhis, Chogyam Trungpa, pada tahun 1970 dan 1971. Ia sedang mendirikan pusat meditasi di Colorado dan melihat bahwa murid-muridnya memiliki pengharapan yang tidak riil mengenai jalan spiritual. Mereka sepertinya sungguh-sungguh menginginkan kebenaran, padahal motivasi mereka yang sesungguhnya adalah agar merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.
            Bagi mereka yang telah bertahun-tahun mengikuti berbagai praktik spiritual, buku ini mungkin mengejutkan. Buku ini dengan gamblang menunjukan bahwa ego bersembunyi di balik usaha kita menjadi individu yang maju secara spiritual. Padahal jelas bahwa memiliki keinginan semacam itu saja sudah merupakan tanda adanya ego.
            Bagian pertama buku ini mengulas tentang jebakan yang membuat kita terperangkap di dalam keyakinan bahwa kita sedang menuju pencerahan. Di bagian kedua Trungpa mendeskripsikan jalan spiritual yang sesungguhnya melalui konsep seperti empat kebenaran mulia, sunyata, dan Bhoddisatva. Ulasan ini difokuskan pada bagian pertama.

Dewa materialime
Apa itu “materialisme spiritual”? Dua kata itu tidak seharusnya dipadankan bersama, bukan?
            Dalam Buddhisme Tibet ada Tiga Dewa Materialisme: Dewa Materi, Dewa Bicara, Dewa Pikiran. Dewa Materi, kata Trungpa, merupakan representasi dari keinginan kita untuk menciptakan “dunia yang bisa dikendalikan, bisa diprediksi, bisa dinikmati”. Sebagai tanggapan atas kehidupan yang tak bisa diprediksi, “ambisi ego adalah menjaga dan menghibur dirinya sendiri, berusaha menghindari segala gangguan”.
            Dewa Bicara merepresentasikan keinginan kita untuk menggolongkan dan mengubah segala sesuatu menjadi konsep, sehingga kita tidak perlu secara langsung merasakan realitas. Segala sesuatu disaring melalui persepsi kita yang telah terbentuk. Sama seperti Dewa Materi, tujuan dari Dewa Materialisme tipe ini adalah berusaha membuat dunia sekitar kita dan tempat kita di dalamnya menjadi sesuatu yang solid.
            Dewa Pikiran merepresentasikan usaha kita untuk tidak kehilangan kesadaran akan diri kita yang terpisah ini. Walau mungkin tidak terlihat seperti itu, semua jenis yoga, doa, atau meditasi bisa digunakan bukan untuk meleburkan diri kita ke dalam sesuatu yang lebih besar, melainkan untuk mempertahankan kesadaran diri kita. Seseorang yang ingin mengisolasi diri mereka dari dunia dan hidup dalam goa di pegunungan, menghindari semua gangguan hidup agar bisa semakin dekat dengan Tuhan, adalah contoh klasik hasil kerja Dewa Pikiran.
            Trungpa menuliskan bahwa perasaan ego akan soliditas membuatnya berhenti menyerap sesuatu yang baru, dan karenanya ego sebenarnya hanya ingin meniru praktik spiritual, bukan diubah oleh praktik tersebut. Lagi pula, mengapa ego mau dengan tulus hati terlibat dalam sesuatu yang mungkin akan melihateliminasinya? Ego hanya mencari hal-hal yang akan mendukung identitasnnya sendiri, dan jika menjadi “religius” ternyata bisa memenuhi keinginannya ini, hal itu akan diambil sebagai tabir kesadaran ego yang lain. Inilah materialisme spiritual.
            Spiritualitas sejati, sebaliknya, akan melepaskan tabir itu dan menyingkirkan kuasa ego atas perilaku dan kesadaran kita.

Ilusi yang solid
Perbedaan yang di buat Trungpa membuat kita mengevaluasi kembali apa yang selama ini kita anggap sebagai spiritualitas kita. Apakah kita hanya ingin memperkokoh identitas kita sebagai orang baik dan spiritual, atau apakah kita siap mengoyak diri kita dan melihat apa yang sesungguhnya ada disana? Mungkin saja ada sesuatu inti diri yang, sebenarnya, kita lindungi apa pun resikonya.
            Setelah pengakuan yang mengejutkan ini, anda akan dengan bijaksana menyimpulkan bahwa Anda tidak sunguh-sungguh mengejar jalan spiritual serta hal-hal yang terlibat di dalamnya, bahwa Anda tidak ingin kehilangan diri anda dalam Pikiran universal yang lebih besar. Dan ditambah lagi, Anda mungkin berketetapan bahwa tidak mungkin ego Anda, setelah menyusup ke setiap aspek pikiran Anda, bahkan termasuk keinginan Anda yang tampak mulia untuk memiliki kehidupan yang spiritual, mau melepaskan cengkramannya atas eksistensi Anda. Anda adalah hamba tak berdaya dari dewa-dewa mental.
Tetapi di titik ini, kata Trungpa, Anda bisa terbuka pada wawasan yang sesungguhnya, karena hanya ketika Anda melihat bahwa Anda tidak lebih dari sebundel pembelaan-diri maka Anda memiliki peluang kecil untuk menjadi sebaliknya. Semakin banyak kita berpikir, kita semakin yakin bahwa kita adalah pikiran kita. Dengan begitu banyak kecemasan dan kegelisahan, rasanya tidak ada ada yang lebih riil daripada pikiran kita. Ego menginginkan kita untuk percaya bahwa tidak ada hal-hal lain dibalik pikiran kita, dan dengan meyakini hal itu, pikiran ego menjadi sebuah realitas keras yang tak bisa dihindari.
Tujuan dari meditasi, sebaliknya, adalah untuk melenyapkan semua kategori dan penentuan kita, agar ilusi soliditas bisa dilihat sebagai ilusi. Ketika kita melihat bahwa kita tidak perlu berjuang untuk membuktikan bahwa kita eksis, kita pun memiliki awal kebijaksanaan dan pencerahan.

Memulai pekerjaan yang sesungguhnya
Ego menyukai tindakan heroik dalam pencarian spiritual, kata Trungpa, seperti mengikuti retret selama seminggu atau menjadi vegetarian. Pengalaman seperti itu membuat kita merasa di atas karena kita meninggalkan kebiasaan buruk diri kita yang tak tercerahkan, tetapi kita akan selalu kembali berada di bawah bersama-sama dengan diri kita lagi. Kita bisa “menanggalkan setelan kita dan masuk ke ashram,” begitu kata Trungpa, tetapi perubahan besar macam itu justru akan memperkuat perasaan kita akan identitas, akan “Aku” yang akan mengubah hidup kita.
            Hanya ketika kita melihat bahwa ego kita mengendalikan keinginan kita untuk melenyapkan ego, maka kita bisa berhenti berusaha memiliki pengalaman pencerahan yang hebat dan membiarkan hal-hal berjalan sebagaimana adanya. Kita bisa menghentikan kegiatan belanja spiritual kita dan menetapkan untuk bekerja bersama sosok diri kita yang sesungguhnya, bukan diri yang bergembira yang menurut kita bisa dibentuk dari pengalaman ini.
            Kita berada dalam jalan spiritual jika kita bisa menertawakan kepalsuan kita, sementara para pemeluk agama yang giat dan orang yang bergabung dengan suatu aliran cenderung kehilangan semua rasa humornya. Segala sesuatu menjadi hitam-putih, mereka telah “menemukan jalan”. Perasaan lega mereka muncul karena mereka membuat dunia ini menjadi lebih sederhana: mereka tidak lagi harus menerima realitas seperti apa adanya, melainkan hidup menurut sejumlah keyakinan yang mengangkat mereka ke atas semua realitas itu. Mereka tidak akan mengakui bahwa mereka mencari ketentraman, tetapi inilah yang mereka dapatkan. Tetapi seperti yang diungkapkan Trungpa, ini semua hasil kerja ego, ingin membuat segala sesuatu lebih solid dan lebih pasti, dan untuk membuat dirinya semakin tak terkalahkan.
            Spiritualitas sejati lebih bisa, bahkan membosankan. Kita harus menyerahkan harapan kita dan mengenal kekecewaan. Kekecewaan merupakan tanda kecerdasan, kata Trungpa, karena “ia mengonfirmasikan eksistensi ego kita beserta mimpi-mimpinya”. Sebaliknya ia membuat kita mengetahui bahwa ada sesuatu di balik kendali ego, suatu kesadaran akan diri yang tidak menipu. Kita perlu berkata pada diri kita sendiri: “Saya bersedia membuka mata saya untuk melihat kehidupan sebagaimana adanya. Saya tidak bersedia melihat mereka sebagai sesuatu yang spiritual atau mistis.”
            Inilah paradok Cutting through Spiritual Materialism, diperkuat oleh Zen Mind, Beginner’s Mind karya Suzuki – bahwa jalan spiritual, begitu Anda berada di dalamnya, tidak ada yang istimewa. Kita hanya memandang kehidupan  seperti apa adanya, tidak dibangun diatas begitu banyak struktur mental–keyakinan, teori, fantasi keselamatan.

Mitos penyelamat
Trungpa berkata bahwa tak seorang pun yang akan mendengarkan dirinya jika mereka hanya bertemu dengannya secara kebetulan di jalan atau di restoran, tetapi ketika mereka tahu bahwa ia dari Tibet dan adalah reinkarnasi ke-11 dari Trungpa Tulku, mereka semua tiba-tiba menghampirinya.  Ia membahas pola yang serupa tentang seseorang yang telah menemukan seorang penasihat spiritual, bersemangat dengan guru mereka yang akan membuka pintu menuju misteri universal. Tetapi setelah melalui tahapan heroik, rasanya mengejutkan menemukan bahwa di jalan spiritual yang sesungguhnya, tak ada orang yang akan melakukan apa pun untuk Anda; dan Anda harus melakukannya melalui waktu sekarang yang membosankan.
            Rahasia Trungpa yang lain adalah bahwa kita seharusnya tidak “mencari yang baik” atau “fokus pada yang terang”. Spiritualitas sejati berarti menerima segala sesuatu, baik dan buruk, gelap dan terang, sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Berusaha menjadi baik, dan berusaha untuk tidak menjadi buruk, adalah suatu dualitas. Dalam meditasi, kita tidak berpikir secara dualistis—ini cara yang naif untuk mengada. Kita ingin merasa seperti apa adanya.

Kata penutup
Dengan tulisannya yang kaya dan bermutu tinggi serta pencapainnya sebagai pendiri pusat meditasi dan institusi pendidikan di Amerika dan seluruh dunia, Trungpa adalah salah satu tokoh utama Buddhisme di abad ke-20.
            Tetapi ia tidak seperti tipikal bikkhu Tibet. Trungpa telah melepaskan sumpahnya dan menikah, ia juga seorang peminum dan perokok berat (kematiannya disebabkan oleh sirosis hati), dan ia bercinta dengan murid-murid wanitanya. Walau demikian ia sepertinya tidak melihat hal-hal ini kontradiktif dengan profesinya sebagai guru spiritual, melainkan menganggapnya sebagai “kebijasanaan gila” atau spontanitas alami.
            Apa pun pandangan Anda tentang sosok Trungpa, Cutting through Spiritual Materialism adalah karya penting bukan hanya dalam filosofi timur melainkan dalam pemikiran spiritual pada umumnya. Berbeda dengan tokoh seperti Shunryu Suzuki dan Paramhansa Yogananda, yang membawa agama timur ke masyarakat Barat tetapi tetap mempertahankan ketimuran mereka, gaya hidup Trungpa sebagai orang Amerika modern (berpikir sangat bebas) mungkin memberinya pemahaman yang lebih besar tentang pikiran sekuler, suatu pikiran yang bisa melihat spiritualitas sebagai suatu yang terpisah yang yang bisa diperoleh.
            Trungpa memperingatkan bahwa para pencari spiritual bisa berakhir hanya sebagai kolektor pengalaman kultural yang menarik, bukan seseorang yang benar-benar memberi sesuatu dari diri mereka sendiri. Kita harus mendekati hal-hal spiritual dengan suatu “kecerdasan yang keras”, tetap waspada pada guru-guru yang saleh dan karismatik. Pendekatan bukan-omong-kosong ini menarik bagi siapa saja yang menginginkan jawaban yang sejati, bukan hanya inspirasi. Dan dalam dunia yang menawarkan ribuan jalan dan pengalaman spiritual yang memikat, buku ini ibarat mercusuar yang akan mencegah Anda menabrak karang spiritual.

Chögyam Trungpa Rinpoche
Lahir pada tahun 1939 di Tibet bagian timur, Trungpa adalah Tulku yang ke-11 atau reinkarnasi dari guru-guru Tibet Kagyu, sebuah sekolah Buddhisme yang memfokuskan pada meditasi. Ia diangkat menjadi kepala biara Surmang di akhir-akhir masa remajanya, tetapi pada tahun 1959 ketika China menginvasi Tibet, ia terpaksa melarikan diri ke India, melakukan perjalanan yang berbahaya dengan kuda dan berjalan kaki. Selama beberapa tahun berikutnya ia bekerja di sebuah sekolah untuk para lama (rahib) muda di Dalhousie, atas permintaan Dalai Lama.
Pada tahun 1963, Trungpa mendapat beasiswa untuk belajar ilmu perbandingan agama, filsfat, dan seni di Oxford University. Pada tahun 1967 ia mendirikan pusat praktik Buddhis Tibet yang pertama di Barat, Samye Ling di Skotlandia, tidak lama setelah ia mengalami kecelakaan mobil yang parah yang mengakibatkan kelumpuhan parsial di bagian kiri tubuhnya. Ia menarik kembali sumpahnya, menikah, dan pindah ke Amerika Serikat, mendirikan pusat meditasi di Vermont. Sepanjang tahun 1970-an ia membuka lebih banyak lagi pusat meditasi, banyak menulis, dan mendirikan Naropa Institut, sebuah universitas pengetahuan budaya Buddhis di Colorado. Organisasi pelatihan dan meditasinya, Shambala Training, beroperisi di banyak negara.
Trungpa wafat pada tahun 1987. Istilah yang digunakannya, “egolesness” dimasukan ke dalam Oxford English Dictionary.



(50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)


             









Mahavatar Babaji



Babaji, Seorang Yogi Modern



            Daerah paling utara di pegunungan Himalaya menyimpan begitu banyak rahasia. Salah satu di antaranya adalah Babaji, guru Lahiri Mahasaya. Beliau berada disana sejak puluhan abad, bahkan beberapa milenia. Tak pernah “mati”, beliau adalah seorang “avatara” – kemuliaan di balik bingkisan darah dan daging.
            Sri Yukteswar (murid dari Lahiri Mahasaya-pen) menjelaskan, “Keadaan Babaji, kesadaran Babaji, tidak dapat dijelaskan atau dipahami oleh manusia. Segala upaya untuk itu, akan sia-sia.
            Dalam naskah-naskah kuno di Timur, kita menemukan beberapa istilah yang menarik sekali. Seorang “siddha”, misalnya, adalah “ia yang telah mencapai kesempurnaan”. Setelah bebas dari keterikatan-keterikatan yang merantai dirinya dan membelenggu jiwanya, seseorang mencapai tingkat jivanmukta—“ terbebaskan­ dari segala macam keterikatan, walau masih hidup”. “Siddha” merupakan suatu keadaan diatas keadaan jivanmukta. Seorang “siddha” bisa juga disebut paramukta—bebas  total. Dan dalam kebebasan total itulah, kematian sekalipun terlampaui olehnya! Seorang paramukta tidak perlu lahir kembali. Namun, apabila ia lahir kembali, ia akan disebut “Avatar”—ia turun dari ketinggian yang telah dicapainya, untuk memberkati dunia ini.
            Seorang avatar bebas sepenuhnya dari hukum alam. Kalau dilihat sepintas, ia memang seperti manusia biasa. Namun, apabila diperhatikan, perbedaannya akan tampak jelas. Misalnya, kalau sedang jalan, ia tidak akan meninggalkan jejak telapak kaki. Ia juga tidak memiliki bayangan. Karena jiwanya memang sudah terbebaskan dari keterikatan materi, maka badannya pun tidak perlu tunduk pada hukum-hukum yang menggerakkan dunia materi. Hanya orang seperti dia yang dapat memahami persis kebenaran di balik siklus kelahiran dan kematian.
            Omar Khayyam, seorang penyair sufi yang sangat disalahpahami, sebenarnya bicara tentang kebenaran yang sama, dalam Rubaiyat—sebuah karya yang indah. Yesus pun persis demikian. Krishna, Rama, Buddha dan Patanjali semuanya adalah para avatar yang telah memahami kebenaran yang sama.
            Di India Selatan, juga pernah lahir seorang avatar, namanya: Agastya. Kisah-kisah tentang mukjijat yang ia tunjukkan sudah dikenal sejak 2000-an tahun yang lalu. Sampai saat ini pun kata orang, ia masih hidup. (..... Literatur kuno Jawa, Bali dan Sulawesi penuh dengan kisah-kisah ajaib tentang keberadaan Agastya di kepulauan Nusantara. Banyak pula yang mengisahkan pertemuan mereka dengan Agastya, di pegunungan Himalaya, di sekitar Manali.—a.k.)
            Babaji mengemban tugas untuk membimbing para avatar, para utusan Tuhan. Itu sebabnya belia dijuluki Mahavatar—Avatar Besar. Beliau mengaku pernah membimbing Shankara (pendiri ordo swami), Kabir (seorang mistik sufi) dan lain-lain. Pada abad ke-19, beliau membimbing Lahiri Mahasaya, dan mengajarkan Ilmu Kriya Yoga kepadanya.
            (..... Siapa sebenarnya Babaji, kapan lahirnya, tidak terjawab dalam buku ini. Paramhansa Yogananda, mengaku telah diberitahu, tetapi sengaja tidak menjelaskan dalam bukunya. Referensi tentang Babaji juga bisa didapatkan dalam kitab-kitab suci dari Timur Tengah. Kalau Anda membuka mata sedikit, Anda akan memperoleh dengan sangat mudah.
            Bagi para pembaca yang sering bertanya kepada saya, bagi para pembaca yang pernah membaca Seni Memberdaya Diri—Meditasi & Reiki—dan pernah menulis kepada saya, inilah jawaban Anda. Lama yang saya temui di Leh tidak lain adalah Babaji!—a.k.)
            Sang Mahavatar selalu berkomunikasi dengan Kristus. Secara bersama-sama mereka memancarkan getaran-getaran kasih untuk keselamatan dunia kita ini. Bersama-sama pula, mereka merencanakan teknik spiritual demi keselamatan umat manusia.
            (Saya menanyakan kepada Babaji, apa yang beliau maksudkan. Apakah yang dimaksudkan dengan “Kristus” adalah Yesus, Isa Ben Yusuf? Beliau menjawab, “Kristus adalah suatu tingkat kesadaran, bukan nama orang. Yesus pernah mencapai tingkat kesadaran tersebut. Berada pada tingkat kesadaran “Kristus” yang juga bisa disebut tingkat kesadaran “Kasih”, seorang master akan berupaya untuk membantu umat manusia. Terdorong oleh “Kasih”, ia tidak mempedulikan hujatan dan kritikan orang, dan senantiasa akan berupaya untuk menyadarkan setia orang yang mendekati dia.”
            Beliau juga menambahkan bahwa kalau Yogananda tidak menjelaskan hal ini, bukan karena ia tidak tahu, tetapi karena para pembacanya tidak akan bisa memahami dia. “Yogananda sedang menghadapi masyarakat Barat yang sangat terkondisi oleh konsep ‘Personal God’—Tuhan yang berada di suatu tempat, duduk di atas takhta. Itu sebabnya, mereka juga mempersonifikasikan Kristus. Padahal Kristus bukan ‘personil’—kekristusan adalah Keadaan.”
            “Komunikasi dengan Kristus” berarti “Berada pada tingkat kesadaran kasih”. Yang bisa menyelamatkan dunia kita ini hanyalah “kesadaran kasih’. Demikian kesimpulan saya, setelah diberi penjelasan oleh Babaji.—a.k.)
Misi Kristus dan Babaji adalah satu dan sama: bagaimana menyadarkan bangsa-bangsa di dunia ini, sehingga peperangan bisa dihentikan, sehingga api kebencian bisa dipadamkan, sehingga materialisme bisa terlampaui. Dan untuk mencapai suatu keadaan damai seperti itu, ajaran-ajaran yoga harus disebarluaskan baik di belahan barat dunia, maupun di belahan timur—demikian keyakinan Babaji.
Memang tidak ada referensi historis tentang Babaji, karena beliau tidak pernah muncul di depan umum. Beliau tidak membutuhkan publisitas. Beliau bekerja secara diam-diam.
Para nabi, para avatar seperti Isa dan Krishna mengemban suatu misi tertentu. Setelah menyelesaikannya, mereka meninggalkan dunia ini. Dipihak lain, ada juga para avatar, seperti Babaji yang misinya adalah mengarahkan proses evolusi kesadaran manusia yang butuh waktu lama. Mereka akan menghindari massa dan karena itu sejarah tidak mencatat nama mereka.
Tentang Babaji pun, saya tidak diperkenankan memberi informasi lebih banyak. Hanya sekadar keterangan singkat, sebatas apa yang harus diketahui oleh masyarakat, demi peningkatan kesadaran mereka.
(Sambil ketawa, beliau juga melarang saya, “Jangan, jangan dulu, jangan memberitahu itu.” Mendengar larangan beliau, saya justru senang, “Berarti, pada suatu ketika nanti, saya boleh memberikannya. Tadi Baba katakan ‘Jangan dulu’.” Beliau ketawa terbahak-bahak.....
Beliau mengatakan kepada saya, “Paagal {bahasa Hindi, berarti ‘Gendeng’—a.k.}, kalau belum waktunya, kamu tidak akan menceritakannya. Saya akan menuntun kamu, kepada siapa dan kapan kau harus bercerita.”—a.k.)
Tidak ada yang mengetahui tentang keluarga atau tempat lahir beliau. Biasanya beliau menggunakan bahasa Hindi, padahal bisa berkomunikasi dalam  bahasa apa saja. Kita mengenal beliau dengan nama “Babaji” yang berarti, “Bapa Yang Terhormat”.
“Kapan pun, siapa pun menyebut nama beliau dengan rasa hormat, akan mendapatkan berkah,” menurut Lahiri Mahasaya.
Fisik beliau tidak menunjukan tanda-tanda menua. Beliau selalu tampak seperti seorang pemuda berusia 25 tahun. Kulitnya bersih dan cerah. Anehnya, wajah Babaji sangat mirip wajah Lahiri Mahasaya sewaktu masih muda.
Swami Kebalananda, guru bahasa Sanskerta saya dulu, pernah bercerita tentang pengalamannya bersama Babaji, di pegunungan Himalaya: “Beliau tidak pernah tinggal lama di satu tempat. Diiringi oleh beberapa murid setia, diantaranya 2 orang Amerika, Babaji selalu berpindah tempat tinggal.
“Babaji tidak selalu melakukan perjalanan astral. Beliau lebih sering berjalan kaki, mendaki gunung sebagaimana manusia biasa.
“Kita hanya bisa melihat beliau, apabila beliau berkenan. Kadang berkumis, berjanggut, kadang tanpa kumis, tanpa janggut.
“Walaupun sebenarnya Beliau tidak butuh makanan, apabila seorang murid mempersembahkan buah-buahan atau bubur susu, beliau akan makan sedikit, semata-mata untuk menyenangkan muridnya.
“Saya masih ingat dua kejadian yang aneh. Pada suatu malam, para murid sedang duduk mengitari api yang dinyalakan untuk suatu upacara. Tiba-tiba Babaji mengambil kayu yang sudah terbakar dan memukul pundak salah seorang muridnya dengan kayu itu.
“Lahiri Mahasaya yang juga berada disitu, mengeluh, ‘Betapa Kejamnya!’
“Babaji menjawab, ‘Apakah kamu ingin melihat dia terbakar habis dalam api itu, karena karmanya dimasa lalu?’
“Dan Beliau meletakkan tangannya diatas pundak si murid, sambil menjelaskan, ‘Malam ini, saya telah membebaskan kamu dari kematian yang mengerikan. Hukum Karma pun terpenuhi sudah, dengan luka pada pundakmu.’
“Pada suatu ketika, seorang asing bergabung dengan kelompok beliau. ‘Bapak pasti Babaji. Selama berbulan-bulan saya mencari Bapak. Mohon saya diterima sebagai murid Bapak,’ orang asing itu memohon.
“Karena Babaji tidak menjawab, orang itu mendesak, ‘Jika saya tidak diterima, saya akan loncat dari ketinggian tebing ini dan bunuh diri.’
“Dengan nada dingin, Babaji menjawab, ’Loncat saja kalau begitu. Karena saya tidak dapat menerima kamu dalam keadaan saat ini.’
“Tanpa keraguan apa pun, ia langsung loncat. Semua orang yang hadir tercengang! Babaji tetap tenang dan menyuruh para muridnya untuk membawa jenasah orang itu. Beliau meletakkan tangannya  di atas jasad yang sudah tidak bernyawa dan orang itu pun langsung bangkit kembali. Babaji mengatakan kepadanya, ‘Sekarang kamu siap untuk kujadikan murid. Maut tidak akan pernah mendekati kamu lagi. Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita.’
Seorang avatar senantiasa hidup dalam kesadaran rohani. Alasan Babaji mempertahankan badan kasatnya hanya satu, ia ingin membuktikan kepada kita yang masih hidup dalam ilusi ini bahwa ilusi itu sendiri dapat dilampaui.
Bagi seorang avatar seperti Babaji, pembagian waktu sebagai masa lalu, masa kini, dan masa depan sudah tidak relevan lagi, beliau mengetahui semua tentang segala aspek kehidupan. Apa pun yang terjadi—kejadian-kejadian yang disaksikan oleh para murid—semuanya atas kehendak beliau juga.
Masih ada cerita lain yang pernah saya dengar. Sumber cerita ini adalah Ram Gopal, yang pernah saya temui di Ranbajpur, “ Pada suatu ketika, saya bergabung dengan kelompok meditasi di padepokan Lahiri Mahasaya. Beliau menyuruh saya untuk segera ke tempat permandian Dasasamedh.
“Beliau tidak menjelaskan alasannya. Saya pun tidak menanyakan. Mengikuti perintanya, saya langsung berangkat ke Dasasamedh. Malam itu adalah yang indah. Bulan purnama dan bintang-bintang cemerlang menghiasi langit. Baru duduk sebentar, perhatian saya beralih ke batu besar dekat kaki saya. Batu tersebut terangkat sendiri, dan saya melihat gua bawah tanah di baliknya. Dan ... muncullah sosok seorang wanita cantik nan anggun. Keluar dari gua, ia langsung melayang-layang. Tubuhnya dikelilingi oleh cahaya lembut. Sesaat kemudian, ia turun persis di depan saya dan mengatakan kepada saya, “Saya adalah Mataji (Bahasa Hindi, berarti Ibu—a.k.), saudari Babaji. Saya telah mengundang dia dan Lahiri Mahasaya ke sini, untuk membicarakan sesuatu yang penting.’
“Sementara saya melihat gumpalan cahaya yang sedang mendekati kami dari kejauhan, begitu berada di samping Mataji, cahaya itu berubah menjadi wujud manusia—Lahiri Mahasaya. Beliau menyalami Mataji. Masih dalam keadaan tercengang, di langit atas saya melihat gasingan cahaya yang dahsyat. Saya sudah bisa menerka, itu pasti Babaji. Betul, cahaya tersebut membumi dan berubah menjadi wujud Babaji. Beliau begitu mirip dengan Lahiri Mahasaya, hanya hanya tampak jauh lebih muda. Dan rambutnya panjang.
“Lahiri Mahasaya, Mataji dan saya bersungkem, menyalami beliau. Begitu menyentuh Wujud beliau, sepertinya ada sensasi-sensasi lembut nan indah yang menggetarkan badan saya.
“Saudariku, saya telah mengambil keputusan untuk melepaskan badan ini dan menyatu dengan Aliran Kehidupan Yang Tak Terbatas, dengan Kesdaran Murni,’ kata Babaji kepada Mataji.”
“Saya sudah tahu tentang rencana Guru. Hal itulah yang ingin saya bahas malam ini. Kenapa harus meninggalkan badan?’
“Ada badan atau tidak ada badan, apa bedanya? Dalam lautan Kesadaran yang Maha Luas, apa bedanya jika gelombang itu tampak atau tidak?’
“Mataji menggunakan dalil yang sama untuk mendesak beliau, ‘Kalau memang bagitu, apa salahnya mempertahankan badan-Mu?’
“Baik, saya tidak akan meninggalkan badan ini. Setidaknya beberapa orang di dunia ini akan selalu bisa berhubungan dengan saya. Demikianlah Kehendak Allah, yang disampaikan lewat mulutmu, ‘Babaji berjanji.
“Terpesona, saya hanya bisa mengikuti dialog mereka dengan penuh rasa kagum. Babaji memberkati saya dan berkata, ‘Jangan takut Ram Gopal. Kamu memang terpilih untuk menyaksikan kejadian ini.’
“Dan wujud beliau serta wujud Lahiri Mahasaya terangkat ke atas lagi berubah menjadi gumpalan cahaya dan lenyap dari pandangan. Sementara Mataji juga melayang dan memasuki kembali gua di bawah tanah. Batu besar, penutup mulut gua itu kembali menutupinya lagi.
“Saya langsung kembali ke padepokan Lahiri Mahasaya dan ditegur beliau, “Saya ikut senang. Keinginanmu untuk bertemu dengan Babaji dan Mataji terpenuhi sudah.’
“Yang lebih aneh lagi para murid mengaku bahwa setelah kepergian saya, Lahiri Mahasaya tidak pernah meninggalkan tempat duduknya. ‘Beliau menjelaskan bahwa seorang mster yang telah memperoleh pencerahan, bisa berada di lebih dari satu tempat yang sama!”
Ram Gopal meneruskan, “Setelah kejadian tadi, Lahiri Mahasaya baru menjelaskan kepada saya, ‘Babaji akan mempertahankan badannya sampai berakhirnya siklus dunia kita saat ini. Demikian Kehendak Ilahi. Sebagai saksi sandiwara kehidupan, beliau akan tetap berada di tengah kita, dari jaman ke jaman!”
(Paramhansa Yogananda selalu menggunakan istilah “the deathless master” bagi Babaji—Ia yang tidak pernah mati. Beliau benar, karena, “kematian” sebagaimana kita definisikan hanya bisa terjadi dalam dimensi ruang dan waktu. Dunia kita ini berada dalam dimensi yang sama. Segala sesuatu yang bisa terpikirkan  oleh kita—kelahiran dan kematian bahkan kehidupan ini sendiri—akan selalu berada dalam dimensi yang sama. Dan apabila kita menggunakan tolak ukur dimensi ruang dan waktu yang sama, maka betul: Babaji tidak akan pernah “mati”. Ia tidak akan mati dalam dimensi “ruang dan waktu” sebagaimana kita ketahui. Berakhirnya siklus dunia kita juga akan mengakhiri “badan” beliau. Beliau tidak akan pernah “mati” dalam siklus ini.
Beliau juga menepati janji beliau. Dalam setiap jaman, pasti ada orang-orang tertentu yang beliau temui. Pertemuan dengan beliau, sepenuhnya atas kehendak beliau, atas Kehendak Ilahi.
Setelah pertama kali diterbitkannya buku ini, yaitu pada tahun 1946, tiba-tiba muncul belasan buku, dimana para penulisnya mengaku pernah bertemu dengan Babaji. Aneh sekali, entah bagaimana 7 orang diantara penulis itu bisa berkumpul di kota Allahabad di India bagian utara. Pada suatu malam, sungai Ganga mengamuk dan ketujuh orang itu meninggal dalam banjir yang melanda kota tersebut. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1960-an, demikian yang saya dengan dari para swami di Benares. Beberapa hari kemudian, 4 penulis lainnya mengadakan konferensi pers secara terpisah, memohon maaf  kepada para pembaca buku mereka dan mengakui kebohongan yang mereka tulis.
Musibah berskala lebih kecil menimpa teman saya di Jepang. Ia pun mengaku pernah bertemu dengan Babaji. Selama kurang lebih 1 tahun, ia membohongi para peserta kelompok studi spiritual yang ia bina. Pada suatu hari, ia jatuh sakit—sakit keras. Para dokter tidak bisa membantu dia. Secara anatomis, tidak ada kelainan. Apabila berada di klinik dokter atau di lab, tidak terjadi apa pun. Begitu pulang ke rumah, sakit lagi—nafasnya sesak. Dokter menyarankan agar ia dirawat di rumah sakit. Setiap saat ada dokter, ada perawat, keadaannya normal. Ditinggal sebentar, tidak bisa bernafas lagi! Aneh! Akhirnya para dokter menyimpulkan bahwa penyakit dia bersifat psikosomatis.
Pada suat hari, ia berterus-terang dengan kami, “selama ini saya telah membohongi kalian, menyesatkan kalian. Tujuan saya hanya untuk mencari popularitas. Maafkan saya.” Hari itu juga, saat itu juga ia sembuh. Penderitaan fisik dan mental selama 1 tahun lebih berakhir begitu saja.
Babaji menjelaskan, “Semua itu terjadi, bukan karena saya marah, bukan karena saya membalas dendam. Tidak sama sekali. Merek membohongi orang banyak, dan untuk itu ada mekanisme alam yang bekerja. Tidak ada yang bisa luput dari hukum karma.”
Pada suatu hari dalam bulan suci Ramadhan tahun 1998/9 saya baru diizinkan untuk memberi penjelasan tentang apa yang saya ketahui mengenai diri beliau. Hari itu juga, kepada sekelompok orang yang sedang menghadiri salah satu program meditasi saya berjanji bahwa pada suatu ketika setiap orang di antara mereka akan bertemu dengan Babaji. Saya pun tidak tahu, bagaimana saya bisa mengucapkan kata-kata itu.
Malamnya Babaji menampakkan dirinya, “Kata-kata itu keluar karena aku yang menghendakinya.” Dan beliau memberi saya tugas, untuk mulai menyadur karya besar ini. “Disana-sini, berikan keterangan. Jelaskan pengalaman pribadi,” pesan beliau.
Saya tidak akan pernah berani menyadurkan buku ini, kalau saya belum punya pengalaman pribadi. Saya bukan seorang penerjemah, itu bukan profesi saya. Saya pernah mengalami sesuatu yang indah, yang luar biasa dan saya ingin berbagi rasa dengan Anda. Untuk itu, saya menggunakan buku ini—penyaduran karya klasik oleh Paramhansa Yogananda ini—sebagai sarana, sebagai perantara.
Saya mulai menyadurkan karya ini, pada hari Natal, tanggal 25 Desember 1998. Hari ini, tanggal 26 Januari 1999. Banyak sekali hal-hal aneh yang terjadi belakangan ini. Dari suatu situasi pelik, dimana penyerahan diri saya terhadap Kehendak Ilahi teruji, sampai pada bukti-bukti nyata akan akan Kehadiran Allah pada setiap saat, di setiap tempat.
Dua hari yang lalu, ada yang meneror saya lewat telepon, “Pak Krishna kau belum mengalami sesuatu apa pun, cuma menulis saja. Bolak-balik yang dibicarakan kesadaran melulu. Cuma untuk cari uang.” Kira-kira demikian kata orang yang menelepon saya. Saya tenang-tenang saja. Pengalaman saya adalah pengalaman saya pribadi. Saya tidak mengharapkan setiap orang harus selalu mempercayai saya. Saya mengenali suaranya, walaupun belum pernah ketemu orangnya. Saya tahu persis, dia siapa. Kalau membaca tulisan-tulisan saya dengan pikiran jernih, ia akan menemukan jawaban setiap pertanyaan yang ia ajukan—balasan setiap sindiran yang ia lontarkan.
Babaji menasehati saya agar tidak reaktif, “Cukup sudah apa yang kau lakukan untuk menyadarkan mereka. Sekarang duduk diam. Jangan reaktif. Kamu sudah berusaha, kalau mereka tetap juga memilih untuk jatuh dalam jurang, itulah karma mereka. Mulai saat ini, serahkan kasus ini sepenuhnya kepada Keberadaan, kepada Kehendak Ilahi. Mereka bukan tidak sadar. Kalau tidak sadar, mereka bisa disadarkan. Tetapi mereka menolak kesadaran, apa yang bisa kau lakukan? Dalam tiga bulan, Kebenaran akan mucul.”
Saya masih mendesak, “Tetapi teman saya Mas ... yang sepertinya terpengaruh oleh mereka dan ikut kehilangan kesadaran.”
“Biarkan dulu. Besok pun ia akan mengatakan sesuatu, yang tadi sudah kamu dengarkan dari orang yang menelepon kamu. Bahasa mereka sama. Demi kebaikan dia sendiri, biarkan dia jatuh, terpeleset—kakinya berdarah—setelah itu dia baru akan sadar.” Babaji menggunakan bahasa Hindi untuk berkomunikasi dengan saya.
“Dan selama 3 bulan itu, teman saya Mas ... akan hidup dalam ketidaksadaran?” saya bertanya.
“Tidak, begitu membaca tulisan ini, khususnya uraian ini, dia akan langsung sadar. Dia akan sadar pula bahwa kedudukan dia saat ini bukan suatu kebetulan. Dia telah disiapkan untuk itu. Dia tidak akan tidur lama.”
Sebelum mengakhiri pertemuan malam itu, beliau menyuruh saya membuka “Alkitab” secara acak. Kebetulan, di sudut meja di sebelah komputer saya menaruh Alkitab, Al-Quran dan Kamus Inggris-Indonesia untuk referensi. Halaman Injil yang terbuka, menceritakan kejadian sebelum Nabi Isa disalibkan. Suara mereka yang menginginkan agar Ia disalib lebih keras, lebih nyaring, sehingga terdengar lebih jelas. Isa memang tidak bersuara. Ia membisu.—a.k.)      



(“Meniti Kehidupan, Bersama Para Yogi, Fakir dan Mistik – Otobiografi PARAMHANSA YOGANANDA.” Dikisahkan kembali oleh Anand Krishna, hal 356-374. Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta,2002)