Senin, 24 Desember 2018

CUTTING THROUGH SPIRITUAL MATERIALISM


1973


CHÖGYAM TRUNGPA



 Kata-kata Bijak
Kadang keinginan untuk menjadi manusia yang spiritual terasa benar-benar sangat besar setelah merasakan ketentraman psikologis.



CUTTING THROUGH SPIRITUAL MATERIALISM

“Ego terus berusaha memperoleh dan menerapkan ajaran spiritualitas demi keuntungannya sendiri.”

“Bagi cara pikir konvesional, belas kasih hanya berarti bersikap baik dan hangat.... Tetapi dari sudut pandang ego, belas kasih yang sesungguhnya adalah kejam, karena tidak mempertimbangkan dorongan ego untuk mempertahankan dirinya. Ini ‘kebijaksanaan gila’. Ini sangat bijaksana, tetapi juga gila, karena tidak ada hubungannya dengan ego yang sesungguhnya dan orang yang berpikiran sederhana berusaha menjaga kenyamanannya.”


            Cutting through Spiritual Materialism ditulis berdasarkan ceramah yang dibawakan oleh guru dan ahli Buddhis, Chogyam Trungpa, pada tahun 1970 dan 1971. Ia sedang mendirikan pusat meditasi di Colorado dan melihat bahwa murid-muridnya memiliki pengharapan yang tidak riil mengenai jalan spiritual. Mereka sepertinya sungguh-sungguh menginginkan kebenaran, padahal motivasi mereka yang sesungguhnya adalah agar merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.
            Bagi mereka yang telah bertahun-tahun mengikuti berbagai praktik spiritual, buku ini mungkin mengejutkan. Buku ini dengan gamblang menunjukan bahwa ego bersembunyi di balik usaha kita menjadi individu yang maju secara spiritual. Padahal jelas bahwa memiliki keinginan semacam itu saja sudah merupakan tanda adanya ego.
            Bagian pertama buku ini mengulas tentang jebakan yang membuat kita terperangkap di dalam keyakinan bahwa kita sedang menuju pencerahan. Di bagian kedua Trungpa mendeskripsikan jalan spiritual yang sesungguhnya melalui konsep seperti empat kebenaran mulia, sunyata, dan Bhoddisatva. Ulasan ini difokuskan pada bagian pertama.

Dewa materialime
Apa itu “materialisme spiritual”? Dua kata itu tidak seharusnya dipadankan bersama, bukan?
            Dalam Buddhisme Tibet ada Tiga Dewa Materialisme: Dewa Materi, Dewa Bicara, Dewa Pikiran. Dewa Materi, kata Trungpa, merupakan representasi dari keinginan kita untuk menciptakan “dunia yang bisa dikendalikan, bisa diprediksi, bisa dinikmati”. Sebagai tanggapan atas kehidupan yang tak bisa diprediksi, “ambisi ego adalah menjaga dan menghibur dirinya sendiri, berusaha menghindari segala gangguan”.
            Dewa Bicara merepresentasikan keinginan kita untuk menggolongkan dan mengubah segala sesuatu menjadi konsep, sehingga kita tidak perlu secara langsung merasakan realitas. Segala sesuatu disaring melalui persepsi kita yang telah terbentuk. Sama seperti Dewa Materi, tujuan dari Dewa Materialisme tipe ini adalah berusaha membuat dunia sekitar kita dan tempat kita di dalamnya menjadi sesuatu yang solid.
            Dewa Pikiran merepresentasikan usaha kita untuk tidak kehilangan kesadaran akan diri kita yang terpisah ini. Walau mungkin tidak terlihat seperti itu, semua jenis yoga, doa, atau meditasi bisa digunakan bukan untuk meleburkan diri kita ke dalam sesuatu yang lebih besar, melainkan untuk mempertahankan kesadaran diri kita. Seseorang yang ingin mengisolasi diri mereka dari dunia dan hidup dalam goa di pegunungan, menghindari semua gangguan hidup agar bisa semakin dekat dengan Tuhan, adalah contoh klasik hasil kerja Dewa Pikiran.
            Trungpa menuliskan bahwa perasaan ego akan soliditas membuatnya berhenti menyerap sesuatu yang baru, dan karenanya ego sebenarnya hanya ingin meniru praktik spiritual, bukan diubah oleh praktik tersebut. Lagi pula, mengapa ego mau dengan tulus hati terlibat dalam sesuatu yang mungkin akan melihateliminasinya? Ego hanya mencari hal-hal yang akan mendukung identitasnnya sendiri, dan jika menjadi “religius” ternyata bisa memenuhi keinginannya ini, hal itu akan diambil sebagai tabir kesadaran ego yang lain. Inilah materialisme spiritual.
            Spiritualitas sejati, sebaliknya, akan melepaskan tabir itu dan menyingkirkan kuasa ego atas perilaku dan kesadaran kita.

Ilusi yang solid
Perbedaan yang di buat Trungpa membuat kita mengevaluasi kembali apa yang selama ini kita anggap sebagai spiritualitas kita. Apakah kita hanya ingin memperkokoh identitas kita sebagai orang baik dan spiritual, atau apakah kita siap mengoyak diri kita dan melihat apa yang sesungguhnya ada disana? Mungkin saja ada sesuatu inti diri yang, sebenarnya, kita lindungi apa pun resikonya.
            Setelah pengakuan yang mengejutkan ini, anda akan dengan bijaksana menyimpulkan bahwa Anda tidak sunguh-sungguh mengejar jalan spiritual serta hal-hal yang terlibat di dalamnya, bahwa Anda tidak ingin kehilangan diri anda dalam Pikiran universal yang lebih besar. Dan ditambah lagi, Anda mungkin berketetapan bahwa tidak mungkin ego Anda, setelah menyusup ke setiap aspek pikiran Anda, bahkan termasuk keinginan Anda yang tampak mulia untuk memiliki kehidupan yang spiritual, mau melepaskan cengkramannya atas eksistensi Anda. Anda adalah hamba tak berdaya dari dewa-dewa mental.
Tetapi di titik ini, kata Trungpa, Anda bisa terbuka pada wawasan yang sesungguhnya, karena hanya ketika Anda melihat bahwa Anda tidak lebih dari sebundel pembelaan-diri maka Anda memiliki peluang kecil untuk menjadi sebaliknya. Semakin banyak kita berpikir, kita semakin yakin bahwa kita adalah pikiran kita. Dengan begitu banyak kecemasan dan kegelisahan, rasanya tidak ada ada yang lebih riil daripada pikiran kita. Ego menginginkan kita untuk percaya bahwa tidak ada hal-hal lain dibalik pikiran kita, dan dengan meyakini hal itu, pikiran ego menjadi sebuah realitas keras yang tak bisa dihindari.
Tujuan dari meditasi, sebaliknya, adalah untuk melenyapkan semua kategori dan penentuan kita, agar ilusi soliditas bisa dilihat sebagai ilusi. Ketika kita melihat bahwa kita tidak perlu berjuang untuk membuktikan bahwa kita eksis, kita pun memiliki awal kebijaksanaan dan pencerahan.

Memulai pekerjaan yang sesungguhnya
Ego menyukai tindakan heroik dalam pencarian spiritual, kata Trungpa, seperti mengikuti retret selama seminggu atau menjadi vegetarian. Pengalaman seperti itu membuat kita merasa di atas karena kita meninggalkan kebiasaan buruk diri kita yang tak tercerahkan, tetapi kita akan selalu kembali berada di bawah bersama-sama dengan diri kita lagi. Kita bisa “menanggalkan setelan kita dan masuk ke ashram,” begitu kata Trungpa, tetapi perubahan besar macam itu justru akan memperkuat perasaan kita akan identitas, akan “Aku” yang akan mengubah hidup kita.
            Hanya ketika kita melihat bahwa ego kita mengendalikan keinginan kita untuk melenyapkan ego, maka kita bisa berhenti berusaha memiliki pengalaman pencerahan yang hebat dan membiarkan hal-hal berjalan sebagaimana adanya. Kita bisa menghentikan kegiatan belanja spiritual kita dan menetapkan untuk bekerja bersama sosok diri kita yang sesungguhnya, bukan diri yang bergembira yang menurut kita bisa dibentuk dari pengalaman ini.
            Kita berada dalam jalan spiritual jika kita bisa menertawakan kepalsuan kita, sementara para pemeluk agama yang giat dan orang yang bergabung dengan suatu aliran cenderung kehilangan semua rasa humornya. Segala sesuatu menjadi hitam-putih, mereka telah “menemukan jalan”. Perasaan lega mereka muncul karena mereka membuat dunia ini menjadi lebih sederhana: mereka tidak lagi harus menerima realitas seperti apa adanya, melainkan hidup menurut sejumlah keyakinan yang mengangkat mereka ke atas semua realitas itu. Mereka tidak akan mengakui bahwa mereka mencari ketentraman, tetapi inilah yang mereka dapatkan. Tetapi seperti yang diungkapkan Trungpa, ini semua hasil kerja ego, ingin membuat segala sesuatu lebih solid dan lebih pasti, dan untuk membuat dirinya semakin tak terkalahkan.
            Spiritualitas sejati lebih bisa, bahkan membosankan. Kita harus menyerahkan harapan kita dan mengenal kekecewaan. Kekecewaan merupakan tanda kecerdasan, kata Trungpa, karena “ia mengonfirmasikan eksistensi ego kita beserta mimpi-mimpinya”. Sebaliknya ia membuat kita mengetahui bahwa ada sesuatu di balik kendali ego, suatu kesadaran akan diri yang tidak menipu. Kita perlu berkata pada diri kita sendiri: “Saya bersedia membuka mata saya untuk melihat kehidupan sebagaimana adanya. Saya tidak bersedia melihat mereka sebagai sesuatu yang spiritual atau mistis.”
            Inilah paradok Cutting through Spiritual Materialism, diperkuat oleh Zen Mind, Beginner’s Mind karya Suzuki – bahwa jalan spiritual, begitu Anda berada di dalamnya, tidak ada yang istimewa. Kita hanya memandang kehidupan  seperti apa adanya, tidak dibangun diatas begitu banyak struktur mental–keyakinan, teori, fantasi keselamatan.

Mitos penyelamat
Trungpa berkata bahwa tak seorang pun yang akan mendengarkan dirinya jika mereka hanya bertemu dengannya secara kebetulan di jalan atau di restoran, tetapi ketika mereka tahu bahwa ia dari Tibet dan adalah reinkarnasi ke-11 dari Trungpa Tulku, mereka semua tiba-tiba menghampirinya.  Ia membahas pola yang serupa tentang seseorang yang telah menemukan seorang penasihat spiritual, bersemangat dengan guru mereka yang akan membuka pintu menuju misteri universal. Tetapi setelah melalui tahapan heroik, rasanya mengejutkan menemukan bahwa di jalan spiritual yang sesungguhnya, tak ada orang yang akan melakukan apa pun untuk Anda; dan Anda harus melakukannya melalui waktu sekarang yang membosankan.
            Rahasia Trungpa yang lain adalah bahwa kita seharusnya tidak “mencari yang baik” atau “fokus pada yang terang”. Spiritualitas sejati berarti menerima segala sesuatu, baik dan buruk, gelap dan terang, sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Berusaha menjadi baik, dan berusaha untuk tidak menjadi buruk, adalah suatu dualitas. Dalam meditasi, kita tidak berpikir secara dualistis—ini cara yang naif untuk mengada. Kita ingin merasa seperti apa adanya.

Kata penutup
Dengan tulisannya yang kaya dan bermutu tinggi serta pencapainnya sebagai pendiri pusat meditasi dan institusi pendidikan di Amerika dan seluruh dunia, Trungpa adalah salah satu tokoh utama Buddhisme di abad ke-20.
            Tetapi ia tidak seperti tipikal bikkhu Tibet. Trungpa telah melepaskan sumpahnya dan menikah, ia juga seorang peminum dan perokok berat (kematiannya disebabkan oleh sirosis hati), dan ia bercinta dengan murid-murid wanitanya. Walau demikian ia sepertinya tidak melihat hal-hal ini kontradiktif dengan profesinya sebagai guru spiritual, melainkan menganggapnya sebagai “kebijasanaan gila” atau spontanitas alami.
            Apa pun pandangan Anda tentang sosok Trungpa, Cutting through Spiritual Materialism adalah karya penting bukan hanya dalam filosofi timur melainkan dalam pemikiran spiritual pada umumnya. Berbeda dengan tokoh seperti Shunryu Suzuki dan Paramhansa Yogananda, yang membawa agama timur ke masyarakat Barat tetapi tetap mempertahankan ketimuran mereka, gaya hidup Trungpa sebagai orang Amerika modern (berpikir sangat bebas) mungkin memberinya pemahaman yang lebih besar tentang pikiran sekuler, suatu pikiran yang bisa melihat spiritualitas sebagai suatu yang terpisah yang yang bisa diperoleh.
            Trungpa memperingatkan bahwa para pencari spiritual bisa berakhir hanya sebagai kolektor pengalaman kultural yang menarik, bukan seseorang yang benar-benar memberi sesuatu dari diri mereka sendiri. Kita harus mendekati hal-hal spiritual dengan suatu “kecerdasan yang keras”, tetap waspada pada guru-guru yang saleh dan karismatik. Pendekatan bukan-omong-kosong ini menarik bagi siapa saja yang menginginkan jawaban yang sejati, bukan hanya inspirasi. Dan dalam dunia yang menawarkan ribuan jalan dan pengalaman spiritual yang memikat, buku ini ibarat mercusuar yang akan mencegah Anda menabrak karang spiritual.

Chögyam Trungpa Rinpoche
Lahir pada tahun 1939 di Tibet bagian timur, Trungpa adalah Tulku yang ke-11 atau reinkarnasi dari guru-guru Tibet Kagyu, sebuah sekolah Buddhisme yang memfokuskan pada meditasi. Ia diangkat menjadi kepala biara Surmang di akhir-akhir masa remajanya, tetapi pada tahun 1959 ketika China menginvasi Tibet, ia terpaksa melarikan diri ke India, melakukan perjalanan yang berbahaya dengan kuda dan berjalan kaki. Selama beberapa tahun berikutnya ia bekerja di sebuah sekolah untuk para lama (rahib) muda di Dalhousie, atas permintaan Dalai Lama.
Pada tahun 1963, Trungpa mendapat beasiswa untuk belajar ilmu perbandingan agama, filsfat, dan seni di Oxford University. Pada tahun 1967 ia mendirikan pusat praktik Buddhis Tibet yang pertama di Barat, Samye Ling di Skotlandia, tidak lama setelah ia mengalami kecelakaan mobil yang parah yang mengakibatkan kelumpuhan parsial di bagian kiri tubuhnya. Ia menarik kembali sumpahnya, menikah, dan pindah ke Amerika Serikat, mendirikan pusat meditasi di Vermont. Sepanjang tahun 1970-an ia membuka lebih banyak lagi pusat meditasi, banyak menulis, dan mendirikan Naropa Institut, sebuah universitas pengetahuan budaya Buddhis di Colorado. Organisasi pelatihan dan meditasinya, Shambala Training, beroperisi di banyak negara.
Trungpa wafat pada tahun 1987. Istilah yang digunakannya, “egolesness” dimasukan ke dalam Oxford English Dictionary.



(50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)


             









Tidak ada komentar:

Posting Komentar