Jumat, 25 September 2020

Menjadi Selebriti Sejati, Sekarang dan Saat Ini Juga!

 




Selokan air kotor di depan rumah anda, air kali dan sungai yang kadang jernih dan kadang keruh – semuanya sedang menuju laut. Es Dhammo Sanantano – demikianlah Kebenaran itu adanya. Demikianlah Dharma, demikianlah Hukum Alam yang langgeng dan abadi. Demikian pula yang dikatakan oleh para bijak.

Tetapi, sesungguhnya kebenaran tadi masih belum utuh – masih separuh. Seorang Buddha – dan jika saya menggunakan istilah Buddha maksud saya adalah setiap orang yang telah memperoleh pencerahan – berupaya melihat sisi lain kebenaran. Ia ingin melihat kebenaran seutuhnya.

Dan sisi lain kebenaran yang mereka lihat, sungguh menakjubkan! Air laut menguap dan menjadi awan. Lalu awan berubah menjadi air hujan. Kemudian turunlah air hujan untuk mengisi semua mata air yang ada dan bahkan mengalir kembali lewat selokan air kotor di depan rumah anda…..

Sederhana banget! Dan seorang Buddha akan manggut-manggut. Ah, demikianlah kebenaran itu adanya, Es Dhammo Sanantano!

Air keruh menjadi jernih, lalu air jernih menjadi keruh kembali. Lalu jernih kembali, lalu keruh kembali…. Ya, sudah ah – ngapain gue pikirin! Kesadaran baru ini melegakan dirinya. Tidak ada beban lagi. Dan ia merasakan begitu ringan. Ia mulai menari dan menyanyi, “Ketahuilah, semuanya ini permainan gila – tak berarti. Tasmaat Jagrutah, Jagrutaah – oleh karena itu, bangkitlah, sadarlah!”. Dan seorang Buddha tertawa terbahak-bahak.

***

Dibekali dengan kesadaran baru tersebut, seorang Buddha mulai merayakan kehidupan. Sesungguhnya, hanya seorang Buddha yang bisa merayakan kehidupan. Dialah seorang “Selebiti Sejati”….

Yang bisa membuat anda menjadi seorang “selebriti” hanyalah kesadaran. Kesadaran yang muncul dari dalam diri sendiri. Kesadaran bahwa anda tidak membutuhkan “pemicu dari luar” untuk merayakan kehidupan.

Seorang selebriti sejati merayakan kehidupan setiap saat dan dalam keadaan apa pun juga. Hanya kesadaranlah yang bisa menghasilkan perayaan. Tanpa kesadaran, tidak ada perayaan.

Seorang Buddha bisa merayakan hidup setiap saat dan dalam setiap keadaan, karena ia sadar bahwa sesungguhnya kekeruhan dan kejernihan bukanlah dua hal yang berbeda. Air yang keruh akan menjadi jernih dan yang jernih akan menjadi keruh untuk menjadi jernih kembali. Berada di tengah kekeruhan – bahkan dalam kekeruhan – ia tidak akan mengeluh, tidak akan menderita, karena ia sadar bahwa kekeruhan itu hanya bersifat sementara. Begitu pula ketika berada di tengah kejernihan, di dalam kebersihan ia tidak akan menjadi senang, lalu angkuh sampai lupa daratan, karena ia sadar bahwa kejernihan dan kebersihan pun bersifat sementara.

Tahap pertama kesadaran Buddha, relatif mudah untuk dicapai – bahwasanya air selokan yang keruh akan menyatu dengan air laut yang bersih. Kesalahan yang terjadi selama ini yaitu bahwa kita berhenti pada tahap awal, kita lupa mengambil langkah berikutnya. Apa lagi?

Siddhartha Gautama pernah menemukan jawabannya. Lewat meditasi, lewat perenungan ia menemukan jawabannya. Ia tidak tertipu lagi oleh kekeruhan air selokan dan kejernihan air lautan. Ia menemukan – dan penemuan dia sungguh hebat – bahwa sebenarnya air keruh dalam selokan tidak pernah berpisah dari air jernih dalam lautan. Dan air jernih dalam lautan juga tidak pernah berpisah dari air keruh dalam selokan. Ada sutra – ada benang yang mengikat setiap intan pengalaman. Selokan di depan rumah anda, sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari lautan luas yang mungkin ribuan kilometer jauhnya dari rumah anda. Kemudian, lewat uap yang tak terlihat, lautan pun sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari awan di atas langit sana. Dan lewat air hujan, awan pun tidak pernah berpisah dari air dalam selokan di depan rumah anda.

Siddhartha Gautama tidak hanya melihat adanya hubungan setengah lingkaran antara air dalam selokan dan air dalam lautan, tetapi juga hubungan sisa lingkaran antara air dalam lautan dan awan, serta antara awan dan air  dalam selokan.

Dalam kesadaran ini, “yang bersih” tidak dapat dipisahkan dari “yang kotor”. “kebenaran” tidak tidak dapat dipisahkan dari “kepalsuan”. “Kebajikan” tidak dapat dipisahkan dari “Kebatilan”. Kesadaran inilah yang disebut Pencerahan Purna. Di mana, segala macam dualitas terlampaui sudah.

Pencerahan Siddhartha Gautama dapat disebut Pencerahan Purna – Lingkaran yang Sampurna. Berada dalam kesadaran dan pencerahan sampurna tersebut, Siddhartha Gautama, Sang Buddha, berbagi rasa dengan salah seorang muridnya, yaitu Sariputra.

Wejangan saat itu adalah yang terpendek, tetapi kelak akan dianggap Inti sari Ajaran Sang Buddha dan disebut Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra. Terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggris menyingkatnya menjadi The Heart Sutra. Istilah Hridaya memang dapat diartikan sebagai heart. Itulah makna tersurat. Yang tersirat adalah the essence atau “inti”. Dan sutra berarti “benang”. Inilah benang merah segala kebajikan. Tidak ada yang lebih dalam lagi. Tidak ada yang lebih tinggi lagi. Inilah intinya. Jadi Hridaya Sutra atau “Sutra Inti” ini merupakan intisari ajaran Siddhartha Gautama.

Pragyaa-Paaramitaa berarti “Suatu keadaan di mana segala-galanya telah terlampaui”. Suatu keadaan, di mana segala macam pengalaman sudah dilewati. Kata-kata ini sungguh sarat dengan makna. Di dalamnya terkandung begitu banyak makna.

Pra berarti yang tertinggi dan gyaa dari kata gyaan (biasanya ditulis jnana, dan oleh karena itu pragyaa juga ditulis prajna – a.k.) berarti pengetahuan – pengetahuan yang tertinggi. Lalu pengetahuan apa pula yang dimaksudkan? Tidak sebatas pengetahuan yang dapat anda peroleh lewat buku. Tidak pula sebatas pengalaman yang dapat anda peroleh lewat kontemplasi dan meditasi. Bahkan tidak juga sebatas pencerahan. Pragyaa berarti ketiga-tiganya, kendati tidak sebatas itu.

Jadi Pragyaa dapat diartikan sebagai “pengetahuan tertinggi yang dapat diperoleh lewat pengalaman pribadi”. Bagi saya Pragyaa berarti meditasi. Pragyaa berarti kesadaran dan pencerahan. Pragyaa berarti segala sesuatu yang dapat dialami. Pragyaa berarti the ultimate experience – pengalaman terakhir!

Kemudian Paramitaa berarti “melampaui” – melewati segala macam pengalaman, baik maupun buruk, kebajikan maupun kebatilan. Semuanya harus dilewati, dilampaui.

Wejangan Sang Buddha yang satu ini merupakan undangan bagi anda. Undangan untuk meniti jalan lebih dalam lagi. Lebih dalam ke dalam diri! Untuk menemukan hridaya – inti segala pengalaman dan melampauinya. Dalam bahasa Islam: sirr un sirr – lebih dalam dari yang terdalam.

Apakah anda sudah mulai meniti jalan ke dalam diri? Jika belum, anda harus mulai dulu. Buku ini bukan untuk para pemula.  Bagi para pemula, silakan melewati tahap-tahap Seni Memberdaya Diri 1, 2, 3, Zen dan lain-lainnya.

Jika anda sudah mulai meniti jalan ke dalam diri, sutra ini akan menjadi pelita dalam perjalanan anda selanjutnya. Bagaikan seorang sahabat yang setia, sutra ini akan selalu mendampingi anda, akan menerangi perjalanan anda.

Sutra ini memiliki kemampuan yang luar biasa, sungguh dahsyat. Dalam sekejap, sutra ini mampu menjadikan anda seorang Selebriti Sejati – seorang Buddha. Dan jika saya menggunakan kata “menjadikan”, mungkin itu pun keliru. Sutra ini akan menyadarkan anda kembali bahwa sesungguhnya anda berada disini untuk merayakan kehidupan. Bahwa selama ini anda lupa merayakan kehidupan. Dan bahwasanya penundaan perayaan tersebut disebabkan oleh ketidaksadaran anda sendiri.

Sadarlah dan jadilah seorang selebriti sejati. Buddha yang ada dalam diri anda, sedang mengundang anda, merayu anda, menggoda anda untuk merayakan kehidupan – sekarang dan saat ini juga!

 

(Sumber: Buku “Ah! Mereguk Keindahan Tak Terkatakan – Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern”, karya Anand Krishna, hal 1-12, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2000)

 

 

Rabu, 17 Juni 2020

Evolusi Supramental

(1872-1950)

Sri Aurobindo


Metode atau teknik  apa pun yang digunakan, dibutuhkan ketekunan dan keteguhan hati. Karena  dalam melakoni metode atau teknik tersebut, perlawanan alami  yang beragam dan kompleks akan ada di sana untuk merintanginya.

 

Sri Aurobindo merupakan salah satu pribadi mistik yang dengan sepenuhnya mengapresiasi transformasi Manusia Ilahiah. Suatu keadaan “transfomasi ilahi” yang oleh para Siddha (ia yang telah mencapai kesempurnaan) dipandang sebagai fakta kebenaran.

Pandangan yang penuh inspirasi dari Sri Aurobindo di ekspresikan dalam bukunya The Life Divine dan The Synthesis of Yoga dan pengalaman-pengalamannya mengenai Transformasi Diri ditunjukkan dalam Letters on Yoga.  Dua karya yang terakhir, terutama menjelaskan secara detail banyaknya tahapan dan kesulitan yang terkait dalam transformasi semacam itu. Jauh dari suatu akhir, dengan sendirinya immortality, kehidupan yang kekal secara fisik telah mempresentasikan kepada Aurobindo tahapan berikutnya dari Evolusi Kemanusiaan. Dan itu haruslah berasal dari transformasi spiritual, puncak dari sebuh proses, manakala Kesadaran Ilahiah turun ke dimensi lebih rendah (lower planes) dari consciousness atau kesadaran, bahkan lebih jauh turun ke level benda atau materi yang tanpa perasaan atau nurani (inconscient levels of matter).

Deskripsi Aorubindo mengenai proses transformasi ini dan dampaknya secara menyolok sama dengan apa yang dialami oleh para Siddha dan Ramalinga, terutama yang berkenaan dengan “Debu Keemasan” dan “Tubuh Keemasan”. Cinta kasihnya yang besar bagi kemanusiaan dan orientasinya ke dunia fisik serta tindakannya, juga serupa dengan apa yang dilakukan oleh para Siddha. Keragaman pengalaman dan orientasi mungkin bisa memberikan kita semacam tuntunan untuk disiplin dan gaya hidup.

Aurobindo Ghose lahir di Calcutta pada tanggal 15 Agustus 1873. Ia belajar di Inggris sejak umur lima sampai dua puluh tahun. Kembali ke India pada tahun 1892, Aurobindo bekerja sebagai seorang guru bahasa Prancis dan Inggris, dan kemudian sebagai sekretaris pribadi pangeran Baroda. Ia menikah di tahun 1901. Bagaimanapun juga dalam banyak tahun yang dilewati, energinya terpakai dalam tahap awal gerakan Kemerdekaan India. Dia aktif sebagai salah satu dari pemimpin yang utama. Dia oleh pemerintah Inggris dituduh telah melakukan kegiatan subversi lalu di penjara dan dilepaskan setelah diadili karena kurangnya bukti-bukti.

Bertemu Dengan Vishnu Bhaskar Lele.

Ditengah-tengah kegiatan berpolitik, pada tanggal 30 Desember 1907, Aurobindo bertemu dengan seorang yogi—praktisi yoga, yang bernama Vishnu Bhaskar Lele. Itulah pertama kalinya ia punya niat bertemu dengan seorang yogi. Ia berkata kepada Lele, “Saya ingin melakukan yoga tapi untuk pekerjaan, untuk suatu aksi, bukan untuk sannyasi—kehidupan dengan meyangkal keduniawian ataupun nirvana. Kedua orang itu pada akhirnya mengadakan pertemuan selama tiga hari di kamar yang tertutup. Lele berkata, “Duduklah dalam meditasi, tetapi jangan berpikir. Berfokuslah hanya pada perhatiannmu. Kamu akan mengamati bahwa pikiran-pikiran akan mulai masuk. Sebelum pikiran itu masuk lemparkanlah keluar dari fokusmu sehingga perhatian dan konsentrasimu mampu mencapai keheningan total.” Kemudian ia mencatat, “Hasil pertama adalah sebuah jajaran pengalaman-pengalaman yang luar biasa kuatnya dan perubahan-perubahan akan sebuah kesadaran yang begitu radikal yang tak pernah saya niatkan,… dan yang benar-benar bertentangan dengan ide-ide saya, karena hal-hal itu membiarkan saya untuk melihat dengan intensitas yang gilang gemilang kenyataan bahwa dunia adalah permainan atau sebuah sandiwara dalam proses sebuah produksi film, dari bentuk-bentuk yang kosong dalam universalitas yang impersonal (yang bukan berasal dari manusia, tapi berasal dari Brahman atau Tuhan yang absolut).

“Dalam ruang-ruang jati diri yang begitu luas, tubuh kelihatan hanya sebuah kerangka dan tengkorak yang sedang mengembara”.

“Tiba-tiba aku terlempar ke dalam sebuah kondisi yang melampaui pikiran dan menjangkau dunia yang tak terbatas, sebuah infinitas, tak ternoda oleh gerakan mental atau vital apapun, tak ada ego, tak nampak dunia nyata yang kasat mata fisik, hanyalah bila seseorang melihat indera-indera yang tak bergerak, maka sesuatu yang bisa ditangkap atau dihubungkan adalah keheningan yang teramat sangat dari sebuah  dunia yang tanpa bentuk, kosong melompong, void, bayangan-bayangan yang tercipta adalah tanpa substansi, tak ada sesuatupun bahkan tak ada yang bisa disebut banyak – tak ada apa-apa, hanyalah ketiadaan bentuk yang absolut, tanpa keterkaitan, kebakaan – hampa – susah diterangkan, tak terperikan, tak terpikirkan, absolut, tetapi itulah kenyataan yang supreme dan satu-satunya yang nyata. Hal ini bukanlah sebuah realisasi mental atau sesuatu yang dengan sekilas bisa dilihat di atas, di suatu tempat, tak ada abstraksi – itulah yang positif, realitas satu-satunya yang positif – meski bukanlah sebuah dunia fisikal yang membutuhkan ruangan, menyebar, melingkupi atau sepertinya membanjiri dan menenggelamkan, kemiripan pada dunia fisik ini, tak meninggalkan ruang ataupun semesta alam sebagai suatu realitas, melainkan jati diri sendiri, tak membiarkan apapun untuk  nampak benar-nyata. Sebagaimana nyatanya, positif atau substansial….pengalaman itu membawakan kedamaian yang tak terlukiskan, keheningan yang penuh kecemerlangan, kebebasan, kelegaan yang tak terbatas.

Aurobindo telah berhasil masuk ke keadaan “Nirvikalpa Samadhi” atau “That”. Menurut literatur rahasia Hindu dan Vedanta yang oleh pengikut Buddhisme disebut sebagai “Nirvana”, “Liberasi” (Pembebasan), inilah bagian terakhir dan tradisi mistik di seluruh dunia, yang tak banyak orang pernah mencapainya, meskipun telah diusahakan dengan susah payah selama bertahun-tahun. Tetapi titik akhir ini hanyalah merupakan permukaan dari pengalaman-pengalaman yang lebih tinggi lagi. Ia mencatat : “Saya tinggal di Nirvana di siang dan malam hari, sebelum mulainya hal-hal lain. Hal-hal lain masuk dan bermodifikasi di sana…pada akhirnya semuanya menghilang ke dalam super consciousness (kesadaran super)…”.

“Aspek dari dunia maya (ilusi) akan memberikan tempat bagi seseorang manakala ilusi hanyalah suatu fenomena permukaan kecil saja, dengan Realitas Ketuhanan yang besar di belakangnya dan suatu Realitas Ketuhanan Tertinggi di atasnya, dengan Realitas Ketuhanan yang intens yang berada di hati segala sesuatu yang pada mulanya nampak hanya sebagai bentuk cinematis-gambar bergerak dan bayangan. Dan ini bukan sebuah pemenjaraan kembali di indera-indera, bukanlah sebuah penyusutan atau kejatuhan dari pengalaman yang tertinggi, kedatangannya boleh dikatakan sebagai peninggian dan peluasan yang konstan dari Sang Kebenaran… Nirvana dalam kesadaranku yang terbebaskan, menghasilkan apa yang menjadi permulaan dari realisasi atau kesadaran, sebuah langkah awal ke sesuatu yang sempurna, bukan sebagai kemungkinan pencapaian kebenaran yang satu-satunya atau bahkan kulminasi dari suatu akhir”.

Nirvana bukanlah sekaligus menjadi akhir suatu jalan setapak spiritualitas sehingga tak ada yang bisa exploited, dijelajahi lagi, digali lagi jauh di luar itu… Itu adalah suatu akhir dari jalan yang rendah melalui Sifat Alami yang rendah dan adalah langkah awal dari Evolusi yang lebih tinggi”.

 Aurobindo terus berada dalam keadaan ini sementara dia mengedit suratkabar hariannya, mengorganisir pertemuan-pertemuan rahasia dan berpidato kepada kumpulan dan pertemuan politik. Sebelum sebuah pertemuan pertama diadakan, ia ragu-ragu untuk memulai sebuah pidato, “Lele memintaku untuk berdoa, tetapi saya begitu dalam larut dalam Kesadaran dan Keheningan Brahman sehingga saya tak bisa berdoa. Ia menjawab bahwa itu tak masalah; ia dan beberapa orang akan berdoa. Saya hanya datang saja ke pertemuan, memberikan namaskar, menunduk kepada para hadirin dan Tuhan dan menunggu, kata-kata meluncur dari mulutku datang dari sumber lain dan bukan dari pikiranku.”

Aurobindo mengikuti instruksi-instruksi ini dan kemampuannya berpidato datang seolah-olah seperti didiktekan. “Dan sejak itu, pidato, tulisan, buah pikiran dan aktifitas luar telah datang kepadaku dari sumber yang sama di atas pikiran otak”. Inilah pengalamannya yang pertama dengan Nurani Yang Super (super Conscient). Pidatonya bagus memukau, “Coba untuk menyadari kekuatan yang ada padamu, cobalah untuk mengemukakannya, dan oleh karenanya apapun yang engkau perbuat bukanlah berasal dari kamu sendiri tetapi dari Sang Kebenaran yang bersemayam di hati kamu….bukan karenamu, tetapi dari Dia yang ada dalam kamu. Apakah yang bisa diperbuat oleh kekuatan-kekuatan dunia kepada Dia yang ada di sekitar kamu, yang Abadi, yang Tak Dilahirkan dan Tak Dapat Mati, yang tak tembus oleh pedang, yang tak terbakar oleh api?... Penjara takkan mampu mengurungNya, dan tiang gantungan tak mampu mengakhiriNya, apakah yang kutakutkan, bila engkau sadar bahwa Dia ada dalam dirimu?”.

Untuk kedua kalinya Aurobindo ditahan oleh polisi Inggris. Dia diambil pada suatu fajar, 4 Mei 1908. Selama latihan-latihan harian di halaman penjara Alipore, serentetan pengalaman spiritual membawakan perubahan di dalam kesadarannya. Ia mulai melihat Tuhan dalam semua orang. Dalam kurungan besi di pengadilan yang berlangsung selama enam bulan, vision yang sama mengikuti dia, “Saya melihat kepada Dewan Penuntut pengadilan dan saya tidak melihatnya sebagai Penuntut. Aku melihat Lord Krishna, Tuhan, yang duduk di sana dan Dia tersenyum, “Sekarang apakah engkau takut?, Saya berada di setiap orang dan berpotensi membatalkan aksi-aksi dan kata-kata mereka”.

Pencarian sebuah “Rahasia”.

Setelah pembebasannya dari penjara Alipore, Aurobindo kembali melakukan pekerjaan revolusionernya. Melalui pengalaman-pengalamannya di penjara Alipore, ia telah mencapi “kesadaran di atas pikiran” (overmind consciousness), dimana kebenaran, yang tak terpisah dari eksistensi seperti Kedamaian, Cinta Kasih, Keindahan, Kekuatan, Pengetahuan, Kemauan dan sebagainya telah dialami secara penuh, tetapi tak tergantung satu sama lain. Batasan-batasan dari kesadaran dengan jelas terlihat juga. Di dalamnya seseorang mengalami, tetapi hanya satu kebenaran pada suatu waktu. “Melihat semuanya tetapi melihat semua dari sudut pandangannya sendiri”. Dengan kestrukturan bentuknya, kesadaran di atas pikiran haruslah terbagi dalam satuan dan makin banyak ia turun ke dimensi mental yang lebih rendah, dia akan menjadi lebih terbagi-bagi. Apa yang diperlukan, kemudian adalah suatu kebenaran bagi tubuh dan alam materi, bukan hanya sebuah kebenaran akan spirit dan alam roh.

Suatu Kekuatan Lain diperlukan – sesuatu yang dapat bertahan ke arah bawah, sebuah kekuatan yang bisa difragmentasikan yang diperuntukkan bagi sifat-sifat manusia. Aurobindo memulai penyelidikan untuk mencari Kunci sebuah kehidupan yang benar di bumi ini. “Hidup, bukanlah sebuah keheningan yang jauh atau suatu Hidup—diluar jangkauan—Ekstasi dalam diri sendiri yang diangkat tinggi-tinggi dan Hidup itu senndiri adalah yoga, communion atau Persatuan dengan Tuhan. Aurobindo mengatakan, “Sudah jelas bahwa pikiran tak dapat mengubah sifat alami manusia secara radikal. Engkau dapat terus mengubah institusi – pendirian, adat kebiasaan manusia dengan tak terbatas dan masih juga ketidak sempurnaan akan memecahkan institusi itu… mestinya harus ada sebuah kekuatan lain yang tak hanya dapat bertahan tapi juga mengatasi tarikan ke bawah itu”. Aurobindo menamakan Kekuatan yang tersembunyi itu sebagai “Suatu Rahasia”, “Kesadaran Supramental” (Supramental Consciousness).

Di bulan Februari 1910, kurang dari satu tahun setelah pembebasannya dari penjara, ia diperingatkan bahwa ia akan ditahan lagi dan di deportasi ke kepulauan Andaman. Suara Tuhan berbicara kepadanya, “Pergilah ke Chandernagore”, sepuluh menit kemudian di pergi dengan sebuag perahu melaju menuruni Sungai Gangga.

Di Chandernagore, pada tahun 1910, ia menemukan “rahasia” yang sedang dicarinya. Situasi di sekitar penemuan itu tak pernah diceritakan olehnya. Bagaimanapun juga, dari tulisan-tulisannya kemudian nampaknya, untuk mendapatkan “rahasia” itu dia harus mengalami keadaan seperti neraka keidupan, karena orang tak akan dapat naik lebih tinggi dari pada tangga yang telah dituruni. “Untuk setiap ketinggian yang telah kita kuasai kita harus berbelok untuk membawa kekuatan itu turun, juga cahayanya ke aktifitas tidak abadi (mortal) yang lebih rendah”. Karena bila Ketuhanan harus turun kepada kita, untuk mentransformasi sifat-sifat manusia, kemajuannya tak terkandung banyak dalam kenaikan kita ke atas, tidak seperti waktu memuntahkan keluar apa saja yang menarik kita mundur, semua yang mengaburkan dan menutupi pembersihan atau pemurnian subconscient, sub nurani atau alam bawah sadar, dengan segala rasa takut, nafsu keinginan, rasa sakit dan distortion, penyimpangan menjadi kepentingan yang harus dilakukan. 

Pada tahap terendah kesadaran manusia, terletaklah alam bawah sadar, subconscient yang merupakan hasil evolusi zat hidup di dalam Materi. Ia mengandung semua kebiasaan-kebiasaan hidup, termasuk penyakit dan kematian. Di Chandernagore, Sri Aurobindo mencapai kedalaman batin paling akhir dari subconscient fisik. Dan dia berkata, “Bukan, bukan dengan empryrean (dengan yang surgawi) saya menyibukkan diri, saya sebenarnya mengharapkan yang demikian itu. Pada kenyataannya saya mengalami suatu keadaan yang berlawanan dengannya”.

“Pada saat yang sama ia mencapai batas-batas yang lebih tinggi dari overmind (pikiran yang lebih tinggi) dimana ‘gelombang-gelombang warna yang hebat’ melebur, berfusi dengan dengan Cahaya putih”. Aurobindo menghubungkan keadaan demikian sama dengan batu karang hitam sebagai berikut, “Daku telah menggali dalam jangka lama, ditengah suatu horor-kengerian, ketakutan dari kotoran rawa lumpur… Sebuah Suara berseru: Pergilah ke tempat kemana orang tak pernah pergi! Galilah lebih dalam, dan lebih dalam sampai engkau mencapai batu fondasi yang kokoh dan ketuklah pada gerbang yang tak berkunci”.

Ia mendapatkan dirinya sendiri pada dasar dari lubang dasar Materi “tanpa nurani”, tatkala tanpa dissolusi (pelenyapan, pelarutan):

“Ia menabrak masuk ke dalam Ruang dan Waktu dimensi lain”. “Cahaya yang menakjubkan yang tertutup rapat dan tak terduga dalamnya atau tak masuk akal kemilauannya”. “Sebuah peralihan malam dan siang yang sangat indah dan anggun, semua nilai-nilai duniawi berubah”. “Yang tinggi di atas bertemu dengan yang rendah di bawah, semuanya dalam rencana yang satu”.

Ia menembus masuk ke alam Supramental yang adalah basis atau asal mula dari semua materi dan mengalami iluminasi dalam sel-sel tubuhnya. Rahasia dari transformasi itu adalah Kesadaran di atas adalah Kesadaran di bawah, “Mereka harus memasuki keterbatasan yang terakhir bila mereka ingin mencapai ketidakterbatasan terakhir”; “Surga dengan meriah dan rasa riang terpesona memimpikan bumi yang sempurna. Bumi dengan kesedihan dan kesengsaraannya memimpikan surga yang sempurna. Mereka dijauhkan dari kesatuannya oleh rasa ketakutan yang mempesona”.

Supramental Kuning Keemasan.

Penguraian tentang “Supramental” mengingatkan keterangan yang sama oleh Delapan Belas Siddha atau Soruba Samadhi dan “Samadhi Keemasan” dan juga oleh Ramalinga dengan “Aneka Keemasan”.

Murid utama Aurobindo, “Sang Bunda” setelah perjalanan pertamanya menulis sebagai berikut: “Terkesan adanya suatu kekuatan, kehangatan, keemasan, bukan cair bentuknya, seperti pijaran cahaya debu, dan masing-masing pijaran itu (mereka tak dapat disebut partikel atau pecahan-pecahan, bahkan bukan titik-titik, kecuali jika dimaksudkan sebagai titik menurut pengertian matematik, sebuah titik yang tak memerlukan ruang) seperti emas yang cerah, hidup, debu emas yang hangat, orang tak bisa mengatakannya sebagai cemerlang, juga tak bisa dikatakan gelap, bukan juga bisa dikatakan terbuat dari cahaya seperti bagaimana kita memahaminya. Bisa disebutkan tak lain dari sebuah kumpulan titik-titik kecil dari emas. Ingin saya katakan, bahwa itu telah menyentuh kedua mataku, wajahku. 

Dan dengan kekuatan yang hebat. Pada saat yang sama, sebuah perasaan damai yang melimpah ruah, kedamaian dari semua kekuatan. Begitu kaya, begitu penuh. Bagaikan suatu gerakan yang tercepat, kecepatannya tak terbatas melampaui apapun yang pernah dibayangkkan orang dan pada saat yang sama, itu adalah kedamaian absolut, keterangan absolut; …Hal itu memberikan perasaan ‘tiada gerakan’ yang sempurna, benar-benar tak dapat dijelaskan, tetapi inilah yang menjadi Asal Mula dan Penopang dari seluruh evolusi kehidupan di bumi… dan saya telah mengamati bahwa dalam status kesadaran sedemikian itu Kecepatan melampaui tenaga atau kekuatan, yang memadatkan sel-sel untuk  mengubah mereka menjadi bentuk individu”.

Penjelasan ini juga mengingatkan akan ungkapan-ungkapan yang sarat dengan kandungan arti dari para Siddha: “Diamlah dalam keheningan dan ketahuilah bahwa Aku adalah Tuhan”, karena immobilitas (keadaan dari tanpa gerakan—keadaan yang dialami ketika menyelam dalam meditasi yang mendalam, hening, kosong-melompong, suwung) adalah landasan dari kekuatan supramental.

Pondicherry.

Setelah dua bulan di Chandernagore, Aurobindo mendengar suara lagi, yang memintanya, “Pergilah ke Pondicherry”. Tak lama setelah itu, ia berangkat diam-diam dengan kapal, menghindar dari penangkapan polisi kerajaan Inggris.

 Pondicherry adalah bagian dari koloni Prancis di pantai tetangga India. Pada masa itu, tempat itu sangat tenang, nampaknya terpencil. Itu adalah tempat terakhir, dan orang boleh mengharapkan mulainya sebuah evolusi spiritual. Bagaimanapun juga, ternyata tempat itu mempunyai masa lampau yang berkaitan. Seorang profesor disana bernama Jouveau Dubreuil, menemukan bahwa beratus-ratus tahun yang lalu, tempat itu dinamakan Vedpuri, dan menjadi pusat dari studi Veda di Selatan, dan menurut tradisi Siddha Agastyar adalah pelindungnya. Ia menemukan bahwa pada suatu kali sebuah universitas Veda didirikan di sana di tempat yang tepat dimana Sri Aurobindo pada akhirnya menetapkan tempat tinggalnya yang permanen. Nama Tamil yang berlaku sampai kini, yaitu Puducheri (Kota baru), berapa ratus tahun yang lalu telah direferensikan sebagai Poduka oleh orang Yunani, Ptolomeus, pada abad kedua masehi dan jjuga oleh penulis-penulis sebelumnya.

Selama tahun-tahun awalnya di Pondicherry, Aurobindo mengalami kesukaran dengan pengikut-pengikut revolusionernya yang datang dan tinggal menginap di rumahnya. Mereka menunggunya untuk mulai lagi aktivitas revolusinya, tetapi Aurobindo harus berkutat pada masalah-masalah lain yang harus mendapat perhatiannya. Tatkala pada suatu hari ia didesak untuk memulai perjuangan politiknya lagi, ia dengan cepat menjawab, “Bukan sebuah revolusi menentang pemerintahan Inggris yang dengan mudah bisa diusahakan oleh siapapun, tetapi sebuah pemberontakan terhadap seluruh sifat-sifat universal”.

 Aurobindo untuk pertama kalinya membaca kitab suci Veda, tulisan rahasia kuno dalam bentuk aslinya, selama beberapa tahun pertama dia tinggal di Pondicherry. Dalam tulisan-tulisan itu ia dapat mengenali pengalaman-pengalaman yang diperolehnya, dan lalu menerjemahkan sebagian dari padanya, menurut pengalamannya. Tetapi seperti penulis-penulis Veda, para rishi di zaman kuno, bukanlah kesadaran jati diri untuk dirinya sendiri yang dicari oleh Aurobindo.

Pada tahun 1910, Paul Richard, seorang penulis kebangsaan Prancis, datang ke Pondicherry, ia datang untuk kedua kalinya di tahun 1914, menyatakan keinginannya untuk bertemu Aurobindo. Ia mengusukan agar mereka berdua  menerbitkan sebuah jurnal filosofi bulanan dengan dua bahasa berjudul, Arya, merupakan ulasan dari sintesis yang anggun. Dari tahun 1914 sampai 1920 Aurobindo menerbitkan jurnalnya sama baiknya dengan kebanyakan dari hasil karya tulisnya – hampir 5000 halaman dan juga menulis beberapa buah buku. Diantaranya adalah The Life Divine, yang memberikan pandangan dari filosofi fundamentalnya untuk menguraikan Yoga Integralnya dan yang isinya kontras dengan disiplin yoga lainnya. Essays on Gita, yang menginterpretasikan Bhagavad Gita menurut pandangan dari Aurobindo, berdasarkan turunnya “Kesadaran Supramental”, The Secret of Veda - Rahasia Veda, The Ideal of Human Unity – Tujuan akhir dari Kesatuan Masyarakat Manusia, The Human Cycle – Siklus manusia. Tiga yang terakhir menggambarkan kemungkinan-kemungkinan masa depan dari masyarakat manusia.

Menurut Aurobindo, ide-ide dari buku-buku itu datang sebagai curahan deras inspirasi, tanpa usaha, “Saya tak berbuat usaha apapun dalam menulis. Saya dengan sederhana membiarkannya kepada Kuasa yang Tertinggi untuk bekerja. Dan bila tidak terjadi, saya tak melakukan usaha apapun. Pada masa lalu keintelektualan saya, saya kadang-kadang mencoba untuk memaksa diri dan tidak setelah saya mulai mengembangkan puisi dan prosa dengan yoga. Bolehkah kuingatkan padamu juga, tatkala saya menulis Arya, dan juga ketika saya menulis surat-surat ini atau menjawab surat-surat, saya tak pernah berpikir… apa yang kutuliskan keluar begitu saja dari pikiran yang hening, siap dibentuk dari atas”.

Pada tahun 1920 dia berhenti menulis, edisi terakhir dari Arya diterbitksn. Selama 30 tahun berikutnya, tulisannya dibatasi pada sejumlah besar korespondensi, dan juga tulisan mengenai puisi syair kepahlawanan, Savitri, terdiri dari 23.813 baris yang merangkum sebagian besar dari visionnya mengenai evolusi kemanusiaan dengan jelas, pekerjaannya dengan sub-suara hati nurani dan kontra nurani, juga pengalamannya dengan dimensi Kesadaran yang lebih tinggi.

Krisis Transformasi

Aurobindo melihat kemanusiaan pada persimpangan jalan dalam evolusinya, “Bila penyingkapan spiritual di atas bumi adalah kebenaran yang tersembunyi dari kelahiran kita ke Materi, apabila jika secara fundamental sebuah evolusi kesadaranlah yang terjadi di alam, maka manusia sebagai mana dia sekarang tidaklah merupakan suatu akhir dari evuolusi itu; manusia terlalu tidak sempurna untuk mengekspresikan roh, pikiran itu sendiri adalah suatu bentuk dan instrumen yang sangat terbatas, pikiran hanya suatu jangka waktu tengah bagi Kesadaran, eksistensi mental bisa jadi adalah makhluk transisi saja. Bila kemudian manusia tak mampu untuk melebihi mentalitas, dia haruslah dilangkahi, dilampaui dan oleh karenanya mind yang super dan manusia yang super – harus bermanifestasi atau menjelma untuk memegan pimpinan dari ciptaan, tetapi bila pikiran mampu untuk membuka kepada apa yang melmpauinya,lalu tak ada alasan mengapa manusia sendiri tak harus tiba pada supermind dan supermanhood (tingkatan manusia super) atau paling tidak meminjamkan mentalitas, hidup dan tubuhnya kepada sebuah evolusi dari masa yang lebih besar dari Sang Roh yang bermanifestasi di alam ini”.

Memenurut Aurobindo, manusia telah mencapai “sebuah krisis transformasi” yang krusial (penting, menentukan) seperti krisis yang telah menandai kemunculan dari Hidup dalam materi atau krisis yang menandai kemunculan Pikiran dalm hidup. Tak nampak seperti krisis-krisis sebelumnya, bagaimanapun juga, masyarakat manusia “boleh jadi adalah kolaborator (teman kerjasama) kesadaran dari evolusi kita sendiri”.

Bagi Aurobindo, bagaimanapun juga bukanlah kekuatan manusia yang akan membawakan transformasi, tetapi kesadaran yang makin bertambah yang pasrah kepada Kekuatan Ilahi. Keterbatasan dari pikiran manusia, sifat vital dan fisiknya adalah terlalu besar. Sehubungan dengan tubuh fisik, Aurobindo berkata, “Dalam tradisi spiritual tubuh telah dipandang sebagai sebuah sandungan, yang tak mampu untuk menspiritualkan atau menstranmutasi, sebagai beban berat yang membebani jiwa dan mencegah kenaikannya baik untuk pemenuhan spiritual ke dalam yang Maha Tinggi atau peleburan dari makhluk individu ke yang Maha Tinggi. Tetapi sementara konsepsi mengenai peranan dari tubuh dalam tujuan kita dipandang cukup cocok untuk sebuah sadhana (disiplin spiritual) yang memandang materi/bumi hanya sebagai bidang ketidaktahuan atau kebodohan dan kehidupan di bumi sebagai persiapan untuk pengunduran diri yang aman… maka hal ini tidaklah cukup bagi sebuah sadhana yang menganggap bahwa suatu kehidupan Ilahiah di atas bumi dan pembebasan yang sifatnya dari bumi sebagai bagian dari tujuan total akan perwujudan roh di atas bumi”.

Bila total transformasi dari makhluk adalah tujuan kita, maka sebuah trnsformasi dari tubuh haruslah merupakan bagian yang sangat dibutuhkan dan harus ada, tanpa hal itu maka tak mungkin kehidupan Ilahiah terjadi sempurna di atas bumi.

Materi yang tersupramentliskan (supramentallized matter) akan merespon terhadap kehendak kesadaran dan dengan demikian memanifestasikan kualitas dari spirit atau roh, immortalitas (keabadian), kepatuhan, kepuasan, kelegaan, keindahan, kilau dan kebahagian surgawi. Akan terjadi juga perubahan-perubahan fisiologi yang signifikan atau berarti, “Trasformasi menunjukkan bahwa semua susunan materi yang murni akan digantikan oleh konsentrasi atau pemadatan dari kekuatan energi yang masing-masing mempunyai model vibrasi yang berbeda; sebagai ganti organ-organ yang digerakkan oleh niatan kesadaran. Tak ada perut, lambung, tak ada jantung lagi, tak ada aliran, tak ada paru-paru semuanya menghilang dan memberikan tempatnya kepada sebuah permainan getaran atau vibrasi yang mempresentasikan secara simbolis peranan dari organ-organ tubuh”. Tubuh akan terbentuk oleh “energi yang terkonsentrasikan atau dipadatkan yang akan mematuhi kehendak”, tidak seperti makhluk roh atau jiwa yang kecil yang membawa onggokan daging tubuh manusia.

“Perubahan dalam kesadaran akan merupakan faktor utama, gerakan awal, modifikasi fisikal akan menjadi faktor yang lebih rendah, sebuah akibat”.

Aurobindo bukanlah sekedar ahli berteori atau penulis fiksi ilmiah. Ia menulis dengan dasar pengalamannya dan pengalaman-pengalamannya berdasarkan “transformasi”, melewati tiga tahapan:

Pertama, Tahap Pencerahan di tahun 1920-1926, dimana banyak kekuatan-kekuatan dan fenomena-fenomena yang ajaib, mukjizat dengan kekuatan Kesadaran Supramental yang dialaminya pertama kali di tahun 1910.

Kedua, Tahap Pengasingan Diri, hidup dalam seklusi atau retret. Pada tahapan dimana Aurobindo dan murid utamanya, Bunda, Mirra Richard, telah bereksperimen dengan pengetesan atas tubuhnya sendiri. Efek-efek dari banyak eksperimen, bekerja pada level sub-conscient dan in-conscient dari tahun 1926-1940.

Ketiga, Mengenai bidang usaha-usahanya melingkupi seluruh kemanusiaan dan dunia dari tahun 1940 sampai sekarang.

Pada menjelang akhir tahapan pertama, pada tanggal 24 Nopember 1926, ia tiba-tiba mengakhiri manifestasi dari mukjizat-mukjizat dan kekuatan-kekuatan dan mengumumkan peristirahatannya ke kehidupan menyendiri. Ashramnya secara resmi didirikan di bawah pimpinan Bunda. Pada waktu itu ia mendeklarasikan, “Saya tak berniat untuk memberikan persetujuan pada edisi baru yang gagal total di masa lalu, suatu pembukaan spiritual sebagian dan cepat berlalu, dimana tak ada perubahan yang radikal dan benar dalam hukum mengenai sifat-sifat eksternal”.

Dari tahun 1926 sampai 1940 ia dan Bunda bereksperimen dengan berpuasa, tidur, disiplin dalam hal makanan, hukum-hukum alam dan kebiasaan-kebiasaan, mengetes tubuh mereka sendiri pada tahap sellular atau sel-sel, dan sub-conscient atau bawah sadar. Sepertinya dia berlomba dengan waktu, tidak seperti apa yang para Siddha jelaskan yaitu dengan menggunakan ramuan kaya kalpa untuk memperpanjang kehidupan sehingga cukup panjang untuk kekuatan-kekuatan spiritual yang lebih halus masuk dalam menyempurnakan proses menuju ke Ketuhanan.

“Secara fundamental”, kata Bunda, “Pertanyaannya adalah untuk mengetahui dalam perlombaan menuju transformasi, siapa dari yang kedua hal itu yang akan mencapai pertama-tama, satu yang ingin mentransformasikan tubuh dalam image dari kebenaran Ilahian atau kebiasaan lama dari dalam tubuh yang secara perlahan-lahan mengalami pembusukan”.

Pekerjaan kemudian berlangsung ke level dari apayang disebutkan oleh Aurobindo sebagai “ ‘pikiran dalam tingkatan  sel-sel’ (The cellular mind)…pikiran tersembunyi dari tubuh, dari sel-sel, molekul dan sel darah merah dan putih… pikiran tubuh ini adalah sebuah kebenaran yang sungguh nyata dan berwujud, karena ketidakjelasannya dan kemelekatan mekanisnya kepada gerakan-gerakan masa lampau, dan keterlupaan tanpa mutu dan penolakan dari yang baru, kami menemukan di dalamnya satu dari halangan-halangan utama bagi pembebasan dari Kekuatan Supermind dan transformasi dari berfungsinya tubuh. Sebaliknya, sekali diubah secara efektif ia akan menjadi satu dari instrumen-instrumen yang sangat bernilai bagi stabilisasi dari Cahaya dan Kekuatan Supramental Sifat Alam Materi”.

Untuk mempersiapkan sel-sel, keheningan mental, kedamaian vital, kesadaran kosmis adalah syarat pendahuluan bagi dimungkinkannya kesadaran fisikal dan cellular (hingga bagian terkecil atau terhalus dari fisik) untuk berkembang besar dan meng-universalkan dirinya sendiri. Tetapi kemudian akan menjadi jelas bahwa “Tubuh ada dimana-mana” dan itu takkan dapat mengubah apapun tanpa mentransformasikan segala sesuatu.

“Saya telah menggali dalam dan lama ditengah rasa nyeri serta kengerian kotoran dan rawa lumpur. Sebuah tempat tidur untuk nyanyian Sungai emas, sebuah rumah untuk api yang tak dapat mati. Luka-lukaku manganga lebar, seribu-satu jenis luka…”

Aurobindo dan Bunda menemukan bahwa tranformasi sempurna, lengkap tak mungkin bagi individu bila tidak ada transformasi minimum atas semua orang. “Untuk membantu masyarakat manusia keluar…” Aurobindo berpendapat, “Tidak cukup bagi seseorang individu, betapapun besarnya dia, karena untuk mencapai pemecahan terakhir secara individual, karena bahkan bila Cahaya indah turun ia tak dapat datang untuk tinggal, sampai wilayah yang lebih rendah itu juga dipersiapkan guna menanggung tekanan dari penurunan itu”.

“Bila seseorang ingin melakukan transformasi” kata Bunda, “Secara absolut tidak mungkin untuk melakukannya secara total, karena setiap makhluk fisik betapapun sempurnanya dia, bahkan kalaulah terdiri dari spesies yang kesemuanya superior, terbuat dari karya yang serta merta spesial, tetap saja tak akan pernah sempurna karena terbatas dan parsial”.

Fase Ketiga

Dengan pencerahan, kesadaran atau realization ini periode dari pekerjaan individu berakhir tahun 1940. Sri Aurobindo dan Bunda mulai dengan fase ketiga dari pekerjaan transformasi mereka. Selama fase ini orientasinya adalah menuju ke transformasi global.

“Ashram ini telah diciptakan…bukan untuk kehidupan dalam penyangkalan yang duniawi tetapi sebagai pusat dan sebuah lahan untuk evolusi, suatu bentuk kehidupan yang lain”. Diorganisasikan dan terbuka bagi semua tipe dari aktivitas yang sifatnya kreatif, juga bagi semua tipe individu, laki-laki, wanita dan anak-anak dari semua kelas sosial. Aktivitas di dunia adalah alat atau cara yang utama, “Kehidupan spiritual menemukan ekspresinya yang paling potensial dalam diri seseorang yang hidup sebagai oang biasa dalam kekuatan yoga… dengan union atau penyatuan dari kehidupan batin dan kehidupan sehari-hari masyarakat kemanusiaan pada akhirnya akan terangkat ke atas untuk menjadi perkasa dan Ilahiah”.

“Masing-masing dari Anda”, kata Bunda, “Mewakili satu dari kesulitan-kesulitan yang harus diatasi untuk terwujudnya transformasi. Dan ini menimbulkan banyak rintangan! Bahkan lebih dari sebuah kesulitan, saya percaya bahwa saya telah mengatakannya kepadamu, sebelum setiap orang mempresentasikan suatu ketidak-mungkinan untuk dipecahkan; dan bila semua ketidak-mungkinan ini dipecahkan, pekerjaan akan diselesaikan”… dan “kamu tak lagi melakukan yogamu hanya untuk dirimu sendiri saja, tapi kamu melakukannya untuk setiap orang, tanpa harus menginginkannya, secara otomatis…”.

“Terimalah hidup, ia (pencari atau seeker dari integral yoga) tak hanya harus menanggung bebannya sendiri, tetapi juga sebagian besar dari beban dunia akan mengikuti sebagai suatu penerusan dari beban yang sudah cukup berat baginya. Oleh sebab itu, yoganya mempunyai lebih banyak ciri sebagai sebuah pertempuran; tetapi ini bukan hanya sebuah pertempuran pribadi, ini adalah perang kolektif yang ditunjukan kepada sebuah negara terpandang. Ia tidak hanya harus mengatasi kekuatan-kekuatan ego kepalsuan dan kekacauan, tetapi untuk mengatasinya sebagai representasi dari kekuatan sama yang berlawanan dan tak pernah kenal lelah di dunia ini. Karakternya secara representatif memberikan kapasitas resistensi yang keras kepala, sesuatu yang hampir selalu terjadi berulang kali. Seseorang sering kali mendapatkan bahkan setelah ia memenangkan pertempuran pribadinya dengan gigih, ia masih harus memenangkannya lagi dan sekali lagi, sesuatu yang kelihatannya seperti perang yang tak berkesudahan, karena eksistensi, keberadaan jatidiri atau batinnya sudah sedemikian membesarnya sehingga tak hanya berisi jatidiri keberadaannya dengan kebutuhan dan pengalaman yang jelas tetapi juga dalam semangat solidaritas dengan keberadaan makhluk lainnya, karena di dalam dia jugalah jagad raya terkandung”.

Fase ketiga tumbuh dari suatu dilema yang di coba oleh Sri Aurobindo dan Bunda untuk akhir dari fase kedua. Menghadapi resistensi kolektif dari sub-conscient dan in-conscient, mereka bertanya apakah mereka harus mengerjaka transformasi diri secara individual dengan mengisolasi diri dari orang-orang lain, lalu kembali lagi untuk menolong umat manusia sebagai pemimpin yang evolusioner. Mereka memutuskan untuk berlawanan dengan strategi ini karena bagi Aurobindo, itu akan menghasilkan sebuah “jurang pemisah” diantara mereka dan para sahabat manusia lain.

Aurobindo juga mengekspresikan sebuah pandangan yang nampaknya bermuatan konflik, “Ada kemungkinan bahwa sekali dimulai, usaha Supramental boleh jadi takkan maju dengan cepat, bahkan pada tahap pertama yang menentukan mungkin diperlukan usaha dalam waktu berabad-abad yang panjang untuk mencapai tahapan, semacam kelahiran yang permanen. Tetapi itu bukanlah sama sekali tak dapat dihindarkan, karena prinsip dari perubahan-perubahan itu secara alamiah nampaknya merupakan sebuah persiapan yang panjang tersembunyi, samar-samar, yang diikuti oleh sebuah perkumpulan yang begitu cekatan dan tiba-tiba dan curahan atau pengendapan dari elemen-elemen baru kepada kelahiran baru; sebuah perubahan yang cepat, sebuah transformasi yang dalam kilauan waktunya nampak sebagai suatu mukjizat. Bahkan bila seandainya perubahan yang menentukan pertama-tama dicapai, pastilah bahwa seluruh masyarakat manusia sudah tak mampu untuk naik ke level itu. Pasti akan terjadi sebuah pemisahan, yaitu mereka yang dapat hidup di level spiritual dan mereka yang hanya dapat hidup dalam curahan cahaya yang turun masuk ke level mental dan juga di bawah ini semua, akan ada kumpulan orang-orang yang mendapat pengaruh dari atas tetapi belum siap bagi Cahaya yang datang. Tetapi bahkan itupun adalah sebuah transformasi dan era permulaan jauh di luar jangkauan yang sampai kini belum pernah dicapai”.

Apakah ada perbedaan yang berarti antara pemisahan yang tak terhindarkan itu? Kalau tidak maka ini bukanlah alasan mengapa Sri Aurobindo dan Bunda tak membawakan “supramental” itu turun masuk ke dalam tubuh mereka sendiri dan mematoknya disana. Lebih jauh lagi, bukankah tak mungkin bahwa pencapaian dari “Anak emas” oleh ke 18 Siddha, oleh Swami Ramalinga dan juga oleh tokoh Taoist dari Cina “Ta Lo Chin Hsien” (Golden immortals - Dewa-dewa yang telah mencapai keabadian keemasan) adalah fase permulaan dari kumpulan transformasi panjang dari seluruh masyarakat manusia?

Dalam sebuah usaha untuk mencoba mencari solusi atas isu-isu ini, pengarang  buku ini mengunjungi Pondicherry dan Vadalur tatkala buku ini mendekati penyelesaian. Ia ingat kembali akan sebuah kutipan yang dilihat beberapa tahun yang lampau dimana Bunda dan atau Aurobindo sebenarnya berkata, “Apa yang mereka coba untuk digapai telah dicapai oleh Swami Ramalinga paling tidak mendekati 100 tahun yang lalu”. Pada kunjungan-kunjungan lebih awal ke Ashram Aurobindodi bulan September 1972 dan maret 1973, pengarang buku ini telah mencoba untuk bertemu dengan Bunda untuk menghantarkan buku mengenai 18 Siddha dan untuk mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan tentang adanya hubungan antara transformasi supramental oleh Aurobindo dengan ke 18 Siddha. Bunda pada waktu itu berada dalam pengasingan diri, sehingga pertanyaan-pertanyaan itu tetap mengantung.

Pengarang tak tahu bahwa pertanyaan yang serupa telah diajukan oleh T.R Thulsiram, penghuni Ashram Aurobindo sejak 1969, yang menjabat sebagai auditor publik dan akuntan selama bertahun-tahun. Pada tanggal 4 dan 5 Juli 1990, pengarang bertemu T.R Thulsiram di Pondicherry dan mengetahui bahwa ia telah menerbitkan dua jilid buku yaitu “Arut Perum Jothi” dan “Deathless Body” pada tahun 1980, yang mendokumentasikan pertukaran pikirannya dengan Bunda dalam subjek mengenai Ramalinga, juga apa yang telah ditulis oleh Aurobindo mengenai Ramalinga. 

Dalam studinya yang melelahkan, Thulasiram mengamati, “Sri Aurobindo tiba pada kepercayaan pada bagian hidupnya yang kemudian beberapa praktisi yoga atau Yogi telah mencapai transformasi Supramental sebagai Siddhi perseorangan yang diolah melalui Siddhi-Yoga dan bukan sebagai dharma dari alam”.

Pada tanggal 11 Juli 1970 Bunda membaca surat dari Thulsiram yang dikirimkan melalui Satprem, sekretaris Bunda. Sebagai lampiran kepada surat Thulsiram adalah petikan dari tulisan-tulisan Ramalinga dimana ia menguraikan transformasi dari tubuh fisik menjadi tubuh cahaya. Menurut Satprem, Ia (Bunda) tak ragu-ragu atas keaslian dari pengalaman-pengalamannya. Ia menyukai apa yang disebut Ramalinga mengenai “Cahaya Berkat” (The Grace Light) dan mengatakan bahwa itu cocok dengan pengalaman-pengalaman Bunda sendiri. Untuk lebih tepat lagi, Bunda mengatakan bahwa “Grace Light” bukanlah “Supramental Light” tetapi merupakan aspek darinya atau lebih tepat adalah suatu aktivitas dari Supramental. Ia mengatakan nampaknya sejumlah individu, baik yang terkenal maupun tidak, pada kenyataannya benar-benar telah mempunyai pengalaman-pengalaman yang serupa selama berabad-abad dan juga sekarang. Perbedaannya dengan sekarang adalah tidak lagi sebagai kemungkinan individu, tetapi sebagai kemungkinan kolektif dan ini adalah persis dengan apa yang dikerjakan oleh Sri Aurobindo dan Bunda, untuk mendirikan sebuah fakta adanya kesadaran di atas bumi dan kemungkinan bagi semua orang.

Thulsiram tak berhasil mendapatkan lebih jauh lagi klarifikasinya dari Bunda mengenai pertanyaan-pertanyaan dalam suratnya. Ia juga telah menulis bahwa, “Satprem salah mengartikan dematerialisasi dari Ramalinga sebagai kematian dan dengan salah melaporkan kepada Bunda tentang kematian ini”. Dan Bunda pada November 1973 pergi meninggalkan dunia fana ini sebelum pertanyaan-pertanyaan itu dijawab. Bagaimanapun juga, studi yang dilakukan oleh Thulsiram sangat menarik dan terlalu banyak untuk dicantumkan disini dan memberikan banyak bukti-bukti meyakinkan bahwa pengalaman transformasi dari Thulsiram, Ramalinga, Aurobindo  dan Bunda, pada dasarnya adalah sama. Warna keemasan (Golden hue) yang dimanifestasikan tatkala Aurobindo meninggalkan tubuhnya adalah sama dengan “Tubuh keemasa” (Golden body) dari imortalitas yang ditunjukkan oleh Ramalinga dan 18 Siddha.

Meninggalkan Dunia Fana.

Mendekati akhir tahun 1950, Sri Aurobindo mulai menunjukan gejala Uraemia, suatu penyakit darah yang telah terjadi berulang-ulang selama beberapa tahun. Kontras dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, bagaimanapun juga ia mengindikasikan bahwa dia tak akan menggerakkan kekuatan yoganya untuk menyembuhkan penyakitnya.

Waktu ditanya mengapa, “Tak dapat kujelaskan, emgkau takkan mengerti”, Aurobindo menjawab. Pada tanggal 4 Desember, gejala itu hilang sama sekali, tetapi pada waktu larut malam itu, jelas bahwa dia “menarik dirinya” dengan sengaja. Pada pukul 1:26 pagi 5 Desember 1950 dengan ditemani oleh Bunda dan beberapa murid, ia mencapai Maha Samadhi (roh keluar secara sadar dari tubuh fisik).

Meskipun pertama-tama diumumkan bahwa ia akan dikubur pada tanggal 5 Desember, diputuskan untuk menunda sampai tubuhnya menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Ada spekulasi mungkin dia akan kembali, karena tubuhnya nampak seperti masih hidup. Tubuh itu berubah menjadi berkilau “Diselimuti oleh warna biru keemasan yang berkilau di sekitar tubuhnya” Bunda menerangkan. Banyak orang lain juga meninggalkan catatan bahwa mereka telah menyaksikan kilauan keemasan di sekitar tubuhnya. Selama lebih dari empat hari tubuh itu dibiarkan tak terjamah dengan warna keemasan yang tetap ada. Pada tanggal 8 Desember, Bunda meminta Sri Aurobindo dalam “pertemuan okult” mereka untuk sadar kembali, kembali ke kehidupan tetapi ia menjawab, “Saya telah meninggalkan tubuh ini dengan sengaja, saya takkan mengambilnya kembali. Saya akan bermanifestasi lagi dalam tubuh Supramental yang pertama yang dibentuk dengan metode Supramental”.….”Kekurangan penerimaan dari bumi dan manusia”, kata Bunda pada tanggal 8 Desember, “Mungkin adalah penyebab keputusan yang diambil oleh Sri Aurobindo mengenai tubuhnya”. Pada tanggal 9 Desember di pagi hari, setelah lebih dari 100 hari, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda pertama pembusukkan dan disemayamkan di halaman Ashram.

Tulisan Sri Aurobindo terus memberikan kita sebuah vision, sebuah pandangan ke depan mengenai evolusi kolektif kita dan indikator yang penting untuk setiap individu mengenai bagaimana mendatangkan Transformasi Ilahiah (Divine Transformatioan) seperti yang kita ketahui. Orientasi Sri Aurobinso kepada “dunia” dan keeratan pengalamannya dengan para Siddha dapat menyumbangkan kepada kita pedoman yang berharga dan praktis.

 

(Sumber:

1.    Buku “Babaji dan Tradisi 18 Siddha Kriya Yoga” Jilid 2, karya M. Govindan, M.A. hal 92-137

2.      Gambar Sri Aurobindo, https://id.pinterest.com/pin/307792955786851984/

3. Gambar buku di bawah: https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/buku-lainnya/7n2ai7-jual-babaji-jilid-2-dan-tradisi-18-siddha-kriya-yoga-m-govindan-m-a)


 

 


Jumat, 15 Mei 2020

THE POWER OF NOW


1999


ECKHART TOLLE

  
Kata-kata Bijak :
Ubahlah hidup Anda dengan menyadari bahwa satu-satunya waktu yang pernah Anda miliki adalah sekarang.

THE POWER OF NOW

“Jangan mencari keadaan lain selain keadaan yang Anda alami sekarang; jika tidak, Anda akan membangkitkan konflik dan penolakan bawah sadar dalam diri Anda. Ampuni diri Anda karena tidak merasa damai. Saat Anda sepenuhnya menerima kegelisahan Anda, kegelisahan Anda akan berubah menjadi kedamaian. Segala sesuatu yang And terima sepenuhnya akan membawa Anda ke sana, akan membawa Anda ke dalam kedamaian. Inilah keajaiban penyerahan.”

“Tidak menolak hidup berarti berada dalam keadaan tentram, rileks, dan ringan. Untuk mencapai keadaan ini tidak lagi harus tergantung dengan berada di jalan tertentu, baik atau jahat. Tampaknya bertentangan, tetapi jika ketergantungan jiwa Anda pada suatu hal lenyap, kondisi umum kehidupan Anda, hal-hal eksternal, cendrung meningkat tajam.”

S
ebuah tulisan spiritual modern yang luar biasa. The Power of Now: A Guide to Spiritual Enlighment pertama kali diterbitkan di Kanada. Ketika diluncurkan di Amerika Serikat, tak terduga buku ini menjadi hit dan membuat Eckhart Tolle menjadi seorang guru yang banyak di cari.

Meski mayoritas tulisan spiritual dan New Age berisi konsep surgawi untuk “mencapai sesuatu yang transenden”, The Power of Now secara intens berfokus pada masalah yang kita hadapi hari ini dan sosok diri kita sekarang ini. Ini mungkin buku yang paling praktis dari semua buku  panduan praktis, kesuksesan, atau spiritual, karena buku ini menolak kecendrungan umum kita untuk membayangkan suatu masa depan yang gemerlap tanpa sungguh-sungguh menggenggam waktu sekarang.

Buku ini juga merupakan sintesis pemikiran Buddhisme, Kristen, Taoisme dan tradisi lainnya, memuaskan kerinduan abad ke-21 kita untuk berpikir melampaui batas-batas agama konvensional, dan mengakui pada dasarnya semua agama mengutarakan hal yang sama.

Tolle baru mendalami buku-buku spiritual setelah ia melihat kebenaran buku-buku itu dalam suatu kilasan pencerahan ketika ia berusia 29 tahun. Kisah tentang kejadian ini yang di tulis di beberpa halaman pertama, kenangan akan sejumlah autobiografi spiritual terkenal, membawa kita masuk ke dalam buku ini, yang ditulis dalam bentuk tanya jawab. Transformasi dirinya yang terjadi tiba-tiba dari membenci dirinya sendiri hingga merasakan kedamaian dan kegembiraan batin awalnya mungkin sulit dipercaya, tetapi buku ini penting untuk dibaca.

Anda Bukan Pikiran Anda

Peradaban kita dibangun berdasarkan pencapaian pikiran, tulis Tolle, dan banyak di antaranya yang luar biasa. Kita biasanya keliru memandang pikiran kita, yang berada dalam keadaan terus-menerus berpikir, sebagai kita. Tetapi ada “makhluk” di balik pikiran kita yang merupakan “Aku” yang sesungguhnya. Menyelaraskan diri denganNya membuat kita bisa mengendalikan pikiran kita dan menempatkan emosi ke dalam sudut pandang yang tepat.

Sebelum kita bisa memiliki kendali atas pikiran kita, pikiran itu yang mengendalikan kita. Pikiran terus bercakap-cakap dengan dirinya sendiri dan ini sulit untuk dihentikan. Pikiran punya banyak pendapat, tetap semua pendapat itu didasari pada apa yang telah terjadi di masa lalu. Akibatnya kita jadi sulit merasakan hal-hal yang ada di waktu sekarang sebagai suatu yang baru. Hari ini tidak pernah sebagus saat hebat yang akan datang atau yang pernah ada.

Anda mungkin yakin bahwa suara yang terus-menerus berpikir ini adalah “Anda”, padahal nyatanya ia hanyalah bagian dari siapa diri Anda. Kita ketagihan berpikir, kata Tolle, karena dengan berpikir sepanjang waktu, ego memberi kita semacam identitas. Tetapi terus-menerus berpikir membuat kita tidak bisa menikmati waktu sekarang.

Bagaimana cara membebaskan diri kita dari tindakan berpikir yang kompulsif? Kita mulai dengan menempatkan pikiran kita ke sudut pandang yang tepat, yaitu dengan mengamati apa yang ia katakan dan pikirkan, menjadi saksi lautan pikiran dan emosi yang bergulung-gulung yang kita rasakan setiap hari. Anda tentu saja akan terus menggunakan pikiran Anda untuk memecahkan masalah dan bertahan hidup, tetapi dengan mengamatinya secara objektif dan merengkuh diri Anda sesungguhnya yang ada di balik pikiran tersebut, kata Tolle, Anda sedang mengambil satu langkah terpenting menuju tercapainya pencerahan. Jika Anda bisa diam dan menghentikan benak Anda dari berpikir, meski hanya sejenak, Anda tidak akan masuk ke keadaan melamun atau koma. Hal yang berlawanan akan terjadi: Anda akan mendapat pemhaman tiba-tiba tentang waktu sekarang dan tentang segala sesuatu yang ada di sekitar Anda, dan  tiba-tiba saja Anda merasa lebih menyatu.

Kehidupan Baru Waktu Sekarang.

Mengingat pikiran kita biasanya bekerja, untuk mencapai keadaan “sekarang” sepertinya sangat sulit. Tetapi dengan mengakui bahwa keadaa “sekarang” itu eksis, akan membantu kita meningkatkan jumlah waktu di mana kita sepenuhnya “terjaga”. Kita bisa mengakui kepada diri kita sendiri bahwa, misalnya, dalam satu jam terakhir kita sama sekali hanyut dalam emosi atau pikiran tentang kecemasan atau penyesalan. Kita bisa mengakui bahwa kita tidak bisa menghentikan pikiran kita. Setiap kali menyadari bahwa kita tidak hidup di waktu sekarang, kemungkinan kita melakukan hal itu di masa depan akan semain besar.

Tolle berpendapat bahwa kita bisa semakin masuk ke dalam “sekarang” melalui rutinitas kehidupan sehari-hari: mencuci tangan, duduk di mobil, melangkah, bernapas—menyadari semua gerakan ini. Jika gerakan itu dilakukan secara mekanis dan otomatis, berarti kita tidak sepenuhnya merasakan waktu sekarang.

Hukum dasar Tolle adalah bahwa semakin kita menolak situasi kita sekarang ini, semakin menyakitkan rasanya. Sudah tentu, jika kita berpikir “ini tidak mungkin terjadi”, kenyataan bahwa hal ini memang terjadi membuat peristiwa tersebut jadi tak tertahankan. Menungu dan menanti-nanti hari dimana kita akan bahagia atau kaya, misalnya, hanya akan membuat penolakan terhadap situasi sekarang ini jadi semakin kuat. Pikiran bahwa kita bisa berada di tempat lain, dengan seseorang yang lain, melakukan sesuatu yang lai, bisa mengubah kehidupan kita menjadi sebuah neraka. Apakah ada jalan keluar? penulis memberikan solusi yang justru bertentangan: kita harus memaafkan situasi ini dan menerimanya: bahkan sekalipun kita membenci situasi tersebut, tetapi jangan terus-menerus berkata kepada diri kita sendiri, “Ini tidak terjadi, tidak mungkin.”

Tolle juga berbicara tentang kebencian orang terhadap waktu sekarang. Ia mendeskripsikan keadaan normal pikiran sebagai “suatu tingkat kegelisahan, ketidakpuasan, kejenuhan, atau kegugupan yang nyaris tiada henti—semacam gangguan yang melatarbelakangi”. Kita selalu berusaha menghindar dari kerasnya momen sekarang, baik dengan membuatnya menjadi sesuatu membosankan atau sebaliknya, menjadi menarik melalui minuman dan narkoba, atau melamunkan impian masa depan atau mengenang masa lalu. Perasaan menyesal atau menginginkan sesuatu tercipta jika kita gagal mengapresiasi waktu sekarang, satu-satunya waktu yang pernah kita miliki. Tetapi dengan menerima sepenuhnya apa yang sedang terjadi, kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Kita bisa mulai melihat bahwa kehidupan kita, keberadaan kita, tidak sama dengan situasi hidup kita.

Tolle menantang kita untuk memikirkan waktu sekarang, yang sebenarnya bebas dari masalah. Masalah hanya eksis ketika saatnya tiba, maka semakin kita hidup di waktu sekarang, semakin sedikit kehidupan yang kita berikan untuk masalah tersebut. Ia meminta kita untuk tidak memberi penilaian tentang berbagai situasi, sehingga situasi tersebut bukan lagi situasi baik atau buruk melainkan hanya situasi. Tahanlah rasa takut Anda dan jangan berlama-lama membenci situasi tersebut, maka kita akan menemukan bahwa ada solusi yang muncul.

Bila kita bertindak dari sosok diri kita yang terdalam, bukan diri kita yang terus-menerus berjuang menjadi sesuatu, kita akan bebas dari rasa takut. Ironisnya, keadaan rileks ini membuat kita jadi lebih mudah meraih keberhasilan dalam berbagai situasi kehidupan kita. Kita menerima berbagai hal yang muncul dan cepat beradaptasi dengan mereka, tidak remuk ketika hal-hal tidak terjadi seperti yang kita rencanakan.

Relasi Masa Kini.

Dalam sebuah bab yang mengulas tentang relasi yang tercerahkan, Tolle berkata bahwa “sebagian besar ‘relasi cinta’ segera menjadi relasi cinta/benci”. Adalah sesuatu yang dianggap normal jika kita tiba-tiba berubah dari cinta dan sayang menjadi pertentangan, dan kembali lagi ke cinta; seperti kata pepatah, tidak tahan hidup dengan seseorang, tidak tahan hidup tanpa mereka. Kita percaya bahwa jika kita bisa melenyapkan keadaan negatif, semuanya akan baik-baik saja. Tetapi Tolle berkata bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi. Baik cinta maupun benci saling bergantung satu sama lain, dan merupakan “aspek yang berbeda dari disfungsi yang sama”.

Ketika kita jatuh cinta, orang yang kita cintai membuat kita merasa utuh, tetapi kelemahannya adalah tumbuh ketergantungan terhadap orang tersebut dan takut pada segala kemungkinan kehilangan dirinya. Ego memiliki kebutuhan akan keutuhan, tetapi relasi romantis bukan tempat yang tepat untuk mencari keutuhan karena akan membuat kita merasa tergantung pada sesuatu atau seseorang di luar diri kita. Kita semua memiliki  kepedihan dalam diri kita yang tampaknya jadi sembuh saat kita jatuh cinta, padahal kepedihan itu masih ada di sana dan terasa kembali ketika bulan madu sudah selesai.

Tujuan relasi jangka panjang yang sejati, kata Tolle, bukan bukan untuk membuat kita merasa bahagia atau lengkap, melainkan untuk mengeluarkan kepedihan yang ada dalam diri kita sehingga kepedihan tersebut bisa diubah; untuk membuat kita menjadi lebih sadar. Dan jika kita menerima hal ini kita akan pindah ke level lain, dan relasi tersebut akan berkembang dengan wajar, bebas dari pengharapan kita yang tidak riil.

Jika relasi Anda saat ini tampak seperti “drama gila”, alih-alih berusaha lari dari relasi ini, Anda justru harus masuk lebih dalam lagi dan menerima kenyataan ini. Tolle menyatakan bahwa relasi intim tidak pernah lebih sulit dari yang sekarang ada, tetapi relasi tersebut mungkin juga menawarkan peluang terbesar untuk memperoleh kemajuan spiritual.

Kata Penutup.

Alih-alih menampilkan rencana besar untuk meraih sukses, The Power of Now meminta kita untuk lebih hadir dalam rutinitas kehidupan sehari-hari, untuk melihat apakah kita bisa memberi arti pada setiap momen. Apakah ada yang perlu disesalkan kecuali bahwa kita tidak lebih hadir dalam situasi, atau lebih “ada” dalam relasi yang sekarang sudah jilang?

Sebagian penyakit mental disebabkan karena tidak mampu menghentikan percakapan internal. Sebaliknya, orang yang memiliki kesehatan mental yang sangat baik akan mampu mendiamkan pikiran mereka, dan dari keheningan ini, ia mengakses diri yang sesungguhnya yang menawarkan solusi sempurna untuk masalah kita.

Meski buku ini memiliki gaya pengungkapan personal yang umum terdapat pada buku-buku spiritual, The Power of Now tampak baru, bahkan revolusioner, dan buku ini merupakan salah satu buku yang paliing praktis untuk mengubah kehidupan Anda dengan cara yang bisa dipergunakan terus-menerus.

Pastikan Anda membaca buku ini. Jika Anda memang membutuhkannya, bacalah lebih dari sekali. Gaya penulisannya sangat jelas sehingga ketika pertama kali membaca Anda akan berpikir bahwa Anda sudah “memahami pesannya”. Tetapi karya ini baru akan dipahami sepenuhnya jika ajarannya dipraktekkan.

Eckhart Tolle.

Lahir di Jerman, Tolle lulus dari University of London dan Cambridge University, tempat dimana ia enjadi peneliti dan penyelia.

Selama satu dekade terakhir ia menjadi guru spiritual bagi kelompok dan individual di Eropa dan Amerika Utara, serta bermukim di Vancouver, British Columbia.

The Power of Now telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa. Buku-buku Tolle lainnya yaitu Practicing the Power of Now dan Stilness Speaks.



(Sumber:
1.      Buku 50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA.
2.      Gambar: https://www.penguinrandomhouse.com/authors/67665/eckhart-tolle)