Kamis, 30 April 2020

ZEN MIND, BEGINNER’S MIND


1970

SHUNRYU SUZUKI

Discover Shunryu Suzuki famous and rare quotes. Share Shunryu Suzuki quotations about enlightenment, meditation and teaching. "Leave your front door and your back door..."

Kata-kata Bijak :
Pikiran yang damai dan cerdas bisa diperoleh cukup dengan duduk dan bernapas.


ZEN MIND, BEGINNER’S MIND

“Jika pikiranmu kosong, ia akan selalu siap untuk apa saja; ia terbuka untuk segala sesuatu. Dalam pikiran seorang pemula terdapat banyak kemungkinan; dalam pikiran seorang pakar hanya terdapat sedikit kemungkinan.”
“Dalam benak seorang pemula tidak ada pikiran, ‘Aku telah mencapai sesuatu’. Semua pikiran yang egosentris akan membatasi pikiran kita yang luas. Jika kita tidak berpikir tentang pencapaian, tidak berpikir tentang diri sendiri, kita adalah seorang pemula. Maka kita pun bisa sunguh-sungguh belajae sesuatu.”

K
ata “zen” tidak lagi asing bagi kita, tetapi apa sebenarnya Zen itu? Ketika menyebar ke Jepang, Buddhisme mengembangkan praktik dan ciri khasnya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Buddhisme Zen. Salah satu praktiknya, zazen, adalah suatu model meditasi yang tidak hanya sekedar duduk dan bernapas.

Daisetz T. Suzuki merupakan orang pertama yang membawa filosofi Zen ke dunia Barat, dan dan guru Zen, Shunryu Suzuki, memperkuat pengaruh Zen dengan mendirikan Zen Center di San Francisco pada tahun 1960-an. Zen Mind, Beginner’s Mind: Informal Talks on Zen Meditation and Practice adalah bukunya satu-satunya, tetapi dipuji atas keindahan dan wawasannya yang mengubah hidup.

Apa yang dimaksud dengan istilah “pikiran seorang pemula”? Tujuan praktik Zen, Suzuki menjelaskan, adalah memiliki pikiran yang murni dan sederhana, terbuka pada berbagai kemungkinan. Biasanya pikiran kita memuji dirinya sendiri karena bisa mencapai hal-hal tertentu, tetapi pikiran egosentris semacam ini membuat kita tidak bisa sunguh-sungguh belajar dan melihat. Pikiran seorang pemula tidak berpikir tentang “aku” karena ia menyadari bahwa pikirannya hanyalah ekspresi dari Pikiran universal yang lebih besar, dan hal ini otomatis membangkitkan rasa belas kasih. Ia berhenti berpikir dualitas, dalam polaritas seperti baik dan buruk, atau setuju dan tidak setuju. Akibatnya, ia bisa menghayati momen sebagaimana adanya.

Jika Anda merasa hidup Anda semrawut dan tidak damai, buku ini bisa memberikan perubahan yang nyata.

Pikiran yang teratur, kehidupan yang teratur.
Praktik zazen dilakukan bukan untuk “mencapai” sesuatu keadaan pikiran tertentu. Saat kita melakukannya, pikiran kita hanya berkelana. Buku ini memberi panduan sederhana tentang posisi duduk yang rileks yang merupakan inti dari praktik zazen. Posisi duduk zazen menghasilkan stabilitas dan menempatkan kita kedalam suatu keadaan pikiran yang membebaskan kita dari tirani pikiran.

Bernapas adalah bagian utama dari praktik ini. Pikiran mengikuti pola bernapas, hirupan dan embusannya, serta dengan melakukan hal ini pikiran tidak lagi fokus pada “aku”, sang diri kecil yang biasanya membentuk pikiran kita. Dalam keadaan ini, alam universal kita, “alam Buddha”, mulai menjadi fokus kita. Kita beralih dari pikiran kecil, begitu Suzuki mendeskripsikannya, ke “pikiran besar”.

Mengapa bernapas menjadi sangat penting? Dengan memusatkan perhatian pada pernapasan, kita diingatkan bahwa kita sepenuhnya bergantung pada dunia yang ada disekitar kita, pada udara yang kita hirup. Kita juga diingatkan bahwa jika kita bernapas berarti kita hidup, dan karenanya tidak bergantung. Jika Anda menyadari fakta bergantung/tidak bergantung ini, Anda akan terbebaskan. Ini bukan gagasan intelektual, melainkan suatu hal yang sangat ragawi.

Melalui praktik zazen kita memahami bahwa dunia ini pada dasarnya tidak seimbang, selalu berubah dan sering kacau-balau. Inilah yang membuat dunia dan kehidupan kita yang ada di dalamnya merasakan kesengsaraan. Tetapi alam alam tak terlihat yang melatarbelakangi dunia ini, alam yang membentuk dunia, adalah sempurna; dan kesadaran tentang keselarasan yang sempurna inilah yang bisa kita rasakan dalam zazen. Pengalaman ini akan menempatkan dunia beserta semua isinya dalam sudut pandang yang tepat. Pengalaman ini membuat kita bisa berpikir, “Hmmm, memang seperti itulah dunia.”

Bagaimananpun juga, hal ini tidak lantas berarti kita tidak perlu mengambil tindakan positif. Sebaliknya, tindakan yang kita ambil setelah melakukan praktik zazen, dimana kita baru saja berada dalam keadaan selaras dengan kesempurnaan, pasti merupakan tindakan yang tepat. Biasanya tindakan kita tidak dihasilkan dari kedamaian momen ini; tindakan kita terdistorsi oleh hasrat atau ambisi, dan akibatnya menambah kekacauan. Oleh karena itu, semakin banyak waktu yang kita gunakan untuk bermeditasi, dunia kita akan semakin teratur. Jika kita memiliki pikiran yang tenang, terhubung dengan sesuatu yang nyata dan stabil, hidup kita punya suatu cara untuk menyelesaikan sendiri masalahnya. Inilah cara yang alami dan cerdas untuk menjalani hidup.

Praktik Zen.
Mungkin sepertinya mudah dimengerti, tetapi cara terbaik untuk memperlembut pikiran yang ekstrem, kata Suzuki, adalah dengan duduk, diam, dan bernapas. Bayangkan pikiran Anda seperti ombak yang dengan pernapasan yang teratur, perlahan akan semakin reda, hingga akhirnya air pikiran Anda menjadi tenang. Biarkan pikiran Anda, maka hal ini pun akan selalu terjadi. Pikiran “aku” akan menjadi Pikiran Besar, atau area diri yang murni.

Duduk dan bernapas akan menjauhkan kita dari gagasan ego bahwa kita adalah seseorang yang istimewa. Kita mengira bahwa bagian diri kita yang menginginkan hal-hal istimewa adalah siapa diri kita, padahal hakikat sejati diri kita, yang muncul dalam praktik Zen, lebih besar dari itu. Hakikat sejati diri kita selaras dengan Pikiran Besar. Maka ketika kita bersentuhan dengannya, kita akan melampaui sang aku, yang membuat kita lebih penuh belas kasih dan lebih gembira. Jika segala sesuatu didasari pada”aku”, kita akan terus berjuang sepanjang waktu.

Suzuki memperingatkan kita agar tidak berpikiran untuk mendapatkan sesuatu melalui praktik zazen. Lakukan zazen semata-mata demi zazen itu sendiri. Menggunakan analogi, ia berkata, “Memasak bukan sekadar menyiapkan makanan untuk seseorang atau dirimu sendiri; melainkan untuk mengekspresikan ketulusan Anda.” Meditasi adalah bentuk pengekspresian diri yang tertinggi.

Walau demikian praktik zazen membutuhkan disiplin. Pengulangan, kesetiaan, kesamaan, adalah jalan Zen. Tidak mencari kesenangan atau kegembiraan besar, yang justru mengindikasikan hilangnya hakikat diri kita, melainkan hanya melihat “keberadaan” (is-ness) dan keindahan setiap momen. Suzuki menggunakan katak untuk menerangkan praktik Zen. Katak itu duduk, tidak berpikir diri mereka istimewa, meski demikian duduknya mereka itu tidak mengurangi identitas mereka. Mereka jelas tetap katak. Suzuki berbicara tentang kemurnian sehubungan dengan praktik ini. Ia tidak bermaksud membuat diri kita menjadi murni, mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik, melainkan hanya melihat hal-hal sebagaimana adanya—“kualitas” mereka.

Apa itu Pencerahan?
Kita cendrung berpikir tentang pencerahan sebagai sejumlah pemahaman yang hebat, diraih melalui usaha spiritual selama bertahun-tahun. Dan memang, ada sebuah istilah Zen, satori, untuk menggambarkan kesadaran tentang hal-hal mengenai ke’Buddha’an yang datang tiba-tiba. Tetapi sering kali, kata Suzuki, pencerahan adalah hal yang sangat biasa—sebenarnya hanya merupakan pemahaman tentang suatu fakta yang sederhana. Pertama-tama muncul kesadaran tentang sebuah fakta, kemudian berusaha mengingatkan diri kita tentang fakta tersebut, yang pada gilirannya diekspresikan dalam pikiran dan tindakan.

Apa yang dimaksud dengan fakta? Yang dimaksud dengan fakta adalah segala sesuatu yang muncul dari tiada, bahwa ada suatu “ketiadaan” yang tak berbentuk dan tak berwarna yang terus menghasilkan bentuk dan warna dunia kita. Karena semuanya berasal dari tiada, maka “tiada” pastilah istimewa. Hal ini adalah kualitas yang tak bisa dilukiskan.

Akal sehat meminta kita memercayai potensialitas kreatif ini sebagai realitas dasar kehidupan, di balik semua bentuk yang ia ciptakan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus bisa melewati “pintu kekosongan”, membersihkan pikiran kita dari ilusi yang biasa kita anggap sebagai kenyataan. Setiap orang berpikir bahwa materi—dunia seperti yang kita ketahui—adalah “realitas”, padahal mereka hanyalah representasi dari sesuatu yang menciptakannya. Setiap orang bersikap seolah-olah memiliki sesuatu, kata Suzuki, karena dalam diri mereka terdapat kepingan kecil representasi tersbut. Tetapi bila kita menganggap materi ini sebagai sesuatu yang permanen dan “milik” kita, maka ini akan menimbulkan masalah.

Suzuki menunjukkan bahwa 99% pikiran kita berisi tentang diri kita sendiri dan masalah kita. Ia tidak mengabaikan kepedihan yang kita rasakan dalam pikiran kita. Tetapi orang yang mengetahui bahwa hidup pada dasarnya adalah tentang perubahan dan masalah, dan walau demikian tetap menyadari bahwa di atas semua itu ada sesuatu yang sempurna yang menjadi inti dari semuanya, akan melihat bahwa mencemaskan bagaimana kehidupan berjalan tidak akan memberikan penyelesaian. Hanya dengan merasakan kembali sumber semua ini maka kehidupan bisa diterima sepenuhnya sebagaimana adanya dan ditempatkan dalam sudut pandang yang tepat.

Orang yang dengan terbuka menerima bahwa kehidupan penuh dengan kesulitan akan terbebaskan, karena mereka memahami hakikat kehidupan—bahwa memang seperti itulah adanya. Dengan bersikap seperti ini, kita tidak lagi berpikir bahwa kitalah pusat kehidupan, dan tidak lagi merasakan penderitaan akibat bersikap egosentris. Kita adalah suatu “bagian sementara dari kebenaran”, kata Suzuki, suatu ekspresi singkat dari kebenaran esensial yang ada dalam ketiadaan. Dan jika kita bisa memahami ini, masalah kita tidak lagi memusingkan kita. Suzuki mengutarakannya dengan baik :
“karena kamu berpikir dirimu punya raga dan pikiran, kamu memiliki rasa kesepian. Tetapi jika kamu menyadari bahwa segala sesuatu hanyalah kilasan yang lenyap ke dalam keluasan alam semesta, kamu akan menjadi kuat, dan eksistensimu adakn menjadi penuh arti.”
Suziki memperingatkan kita untuk tidak mengharapkan demonstrasi nilai yang hebat dari praktiknya. Ingatlah, yang Anda lakukan hanyalah duduk dan bernapas—tidak ada yang istimewa. Tetapi ia memberi tips ini: “Teruskan saja praktik tenang dan biasa Anda, maka karakter Anda akan menguat.” Anda mungkin tidak mengalami kebangkitan spiritual yang hebat, tetapi praktik ini akan memberikan dampak pada hidup Anda. Praktik ini membuat Anda bisa memahami hal-hal sebagaimana adanya, dan bahwa yang lain “hanya ilusi”. Ini sendiri sudah termasuk pencerahan, dan bisa mendorong terjadinya revolusi tentang bagaimana Anda hidup.

Kata Penutup.
Zen Mind, Beginner’s Mind menghancurkan keyakinan bahwa kita bisa memperoleh keselamatan atau kebahagiaan dengan mencarinya di tempat lain, di luar siapa diri kita dan di mana kita berada sekarang. Kita ingin lari dari penderitaan, tetapi Suzuki berkata bahwa menemukan kesenangan dalam fananya kehidupan—yang sering kita sebut penderitaan—adalah satu-satunya cara untuk hidup di dunia ini dengan sukses. Pandangan mengenai mengatasi dan bahkan menikmati pengalaman menderita sebagai bagian dari kehidupan adalah pikiran yang radikal, tetapi bukankah pandangan ini lebih mendekati kenyataan dibandingkan dengan keyakinan bahwa kita hanya bisa bahagia jika kita memiliki kehidupan yang sempurna? Ketenangan mungkin adalah anugerah spiritual yang terbesar, bukan dalam pengertian yang fatalistis, melainkan karena mampu memahami indahnya kehidupan dengan segala ketidaksempurnaannya.

Sebagian pemikiran Suzuki mungkin sulit dipahami, tetapi Zen Mind, Beginner’s Mind bukan karya yang membutuhkan kecerdasan untuk membacanya. Bila Anda terinspirasi olehnya, Anda mungkin juga ingin membaca karya kuno Lao Tzu, Tao Te Cing. Tidak ada warna, tidak ada aroma, dan ketiadaan Tao, atau energi universal, adalah hal-hal yang juga diusahakan Suzuki agar kepada mereka pikiran kita terarah—“keberadaan” (is-ness) yang tidak menyerupai apa-apa, tidak terlihat seperti apa-apa, tetapi merupakan generator dunia. Mengenalinya dan menjadi selaras dengannya memberi cadangan kedamaian yang siap-pakai.

Kita biasanya menambah pengetahuan dengan mengumpulkan informasi, kata Suzuki,tetapi dalam Buddhisme yang benar justru sebaliknya. Tujuannya adalah membersihkan pikiran dari “materi”, agar menjadi orang yang ‘kosong’ pikirannya. Ini bukan tindakan bodoh, melainkan cara kita mengakses keabadian dan kecerdasan sempurna alam semesta.

Shunryu Suzuki
Dilahirkan di Jepang, Suzuki baru berumur 12 tahun ketika ia diambil menjadi murid Gyokujun So-on-roshi, seorang guru Zen yang dulu adalah pengikut ayahnya. Ia belajar di sebuah iniversitas Buddhis, Komazawa, kemudian di biara pelatihan Eiheiji dan Sojiji. Ketika gurunya wafat, Suzuki harus mengambil alih kedudukan sebagai pengelola kuil beserta tanggung jawabnya.

Ia pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1959 sebagai seorang pengunjung tetapi kemudian menetap di sana, di San Francisco. Ia mendirikan tiga pusat Zen, termasuk biara Zen di Ameerika.

Zen Mind, Beginner’s Mind disusun oleh marian Derby, murid Suzuki, berdasarkan ceramah yang dibawakan Suzuki di Los Altos. Trudy Dixon dan Richard Baker (yang diangkat menjadi pengganti Suzuki) menyunting tulisan tersebut dan menerbitkannya.

Suzuki wafat di San Francisco Zen Center pada tahun 1971.


(Sumber: Buku 50 Spiritual Classics – Meraih Kebijaksanaan dalam Pencerahan dan Tujuan Batin melalui 50 Buku Legendaris Dunia, karya Tom Butler-Bowdon, diterbitkan oleh PT BHUANA ILMU POPULER KELOMPOK GRAMEDIA)






1 komentar:

  1. Praktik zazen : duduk diam (tubuh tidak bergerak), bernapas (secara alami, tidak mengatur napas) dan pikiran mengamati apa adanya (menyadari segala perubahan yang terjadi baik dalam diri maupun di luar diri; pikiran tidak memilih atau memilah, apakah baik atau buruk, benar atau tidak, pikiran tidak memberikan rekasi tertentu terhadap apapun yang terlintas)

    BalasHapus