Kamis, 06 Februari 2020

SANATANI VIVAHA SAMSKARA,


Hasil gambar untuk anand krishna"
Guruji Anand Krishna*

“Demikian, Mereka Hidup Bahagia selamanya” – dengan kata-kata seperti itu berakhirlah ceritanya. Sejak masa kanak-kanak, kita telah dikondisikan untuk mendefinisikan perkawinan sebagai akhir dari sebuah cerita. Para Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, dan para pangeran mereka tidak lagi menderita sakit hati, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainya. Singkatnya, setelah perkawinan mereka, tidak ada lagi duri dalam hidup mereka. Yang ada hanya mawar saja.

Sebagai seorang anak, saya tidak mempertanyakannya saat itu. Anda pun mungkin sama, tidak mempertanyakannya juga. Dalam ketidaktahuan, otak kita dicuci untuk memercayai bahwa pernikahan adalah sinonim untuk kebahagiaan – kebahagiaan selamanya – kebahagiaan yang tidak terusik apapun.

Namun kenyataannya terbukti tidak seindah apa yang kita percayai. Kesadaran baru muncul, jauh di kemudian hari – ketika kita sudah kawin. Gairah dan ketertarikan fisik serta emosional, yang kita salah artikan sebagai cinta, tidak bertahan lama. Seiring hilangnya gairah dan ketertarikan tersebut, hilang pula segala romansa….

Kemudian, Tergantung pada Pengasuhan yang Kita Peroleh, tradisi keluarga, norma-norma sosial, dan sebagainya – entah kita memulai perjalanan lain, mencari pangeran atau putri baru; atau, menyerah pada nasib dan melanjutkan perkawinan yang membosankan… tanpa romansa. Dalam kedua skenario tersebut, ujung-ujungnya sama saja, cinta sudah menghilang.

Dari satu perkawinan ke perkawinan yang lain, dari satu perceraian ke yang berikutnya, dari satu hubungan yang rumit ke bahkan yang lebih rumit lagi – kita terus mencari “kehidupan yang bahagia selamanya”, yang pada akhirnya, terbukti menjadi pencarian yang sia-sia. Sebab, perkawinan bukanlah sinonim, bukanlah kata lain untuk kebahagiaan.

Mind (gugusan pikiran dan perasaan) Hindu Sanatani mendefinisikan pernikahan dengan sangat berbeda. Nenek moyang kita, leluhur kita – sekarang disebut sebagai Pagan di Belahan Barat; Aborigin di Benua Australia; Orang Aseli di Malaysia; para penghayat Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Permalim, Pemena dan keyakinan lain di Kepulauan Indonesia; Balamon di Vietnam; Tao di Cina; sesungguhnya, seluruh penduduk asli planet Bumi ini, para Warga Bumi – menganggap perkawinan sebagai salah satu ritus peralihan (dari masa lajang ke masa berkeluarga) yang memberdayakan pria dan wanita untuk bersama-sama menghadapi tantangan kehidupan
.
Mereka mendefinisikan perkawinan sebagai perjalanan dari “aku” yang egois dan individualistik menuju “kita”; dari pemikiran yang sempit ke kesadaran yang meluas; dari gairah, nafsu birahi, ketertatikan fisik dan emosional menuju cinta tanpa syarat, kebersamaan, dan berbagi baik suka maupun duka kehidupan.

Dengan demikian, bagi Kebanyaan dari Kita, yang tidak mampu melakukan perjalanan dari Aku ke Kita – perkawinan menjadi ritual peralihan yang mesti dilakoni. Perkawinan menjadi sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kesadaran yang senantiasa meluas. Perkawinan tidak pernah dianggap sebagai sebuah tujuan akhir.

Banyak pula yang tidak harus kawin untuk mencapai tujuan tersebut. Perkawinan bukan sebuah keharusan. Mereka telah mengerjakan PR sebelumnya atau dalam kehidupan sebelumnya, dan masih mengingat pengalaman tersebut tidak harus mengulangi pelajaran yang sama.

Perkawinan adalah sebuah pilihan. Mereka yang memilihnya harus memilih dengan bijak. Kita memiliki nasihat Jawa kuno “Bobot, Bibit, dan Bebet”. Mereka yang memilih untuk kawin harus mempertimbangkan ketiganya.

Perkawinan, bagi Leluhur Kita, adalah sebuah ilmu, sebuah seni Hidup…. Seseorang harus mempelajari rumusan dan prinsip-prinsipnya sebelum “bangkit dalam cinta” – ya, bangkit dalam cinta, bukan jatuh cinta. Disini, kita dapat dengan jelas melihat perbedaan antara perkawinan ala dongeng dan prinsip perkawinan sanatani seperti yang dijelaskan oleh leluhur kita.

Ungkapan dalam bahasa Jawa “Bangun Trisno” sangat unik. Diterjemahkan secara harfiah, artinya adalah “Cinta sedang Bangkit”. Jadi, ketika Anda sedang mencintai seseorang, benar-benar mencintai orang tersebut, adalah cinta yang sedang membangkit. Adalah energi cinta, kekuatan cinta yang membimbing langkah-langkah Anda, menuntun Anda dari ranah mind (gugusan pikiran dan perasaan yang penuh conditioning) dan nafsu menuju kesadaran tanpa syarat, dan CINTA!

Perkawinan Hanya Masuk Akal ketika cinta seperti itu bangkit, ketika kita benar-benar memahami implikasinya. Kembali ke petuah Jawa “Bobot, Bibit, dan Bebet” yang harus dipertimbangkan oleh setiap orang yang memilih untuk kawin.

Bobot berarti  apa yang membuat Anda berbobot. Isi diri Anda. Dan, itu adalah Karakter Anda, nilai-nilai yang Anda lakoni. Lebih lanjut didefinisikan sebagai: 1. Jangkeping Warni – Sehat Fisik; 2. Rahayu ing Mana – Waras secara Mental dan Baik Hati; 3. Ngertos Unggah-unggah – Sopan Santun; dan, 4. Wasis – Kerja Keras.

Berikutnya adalah Bibit, yang berarti Benih, Gen, Kualitas Inheren, Program Bawaan. Ini ada hubungannya dengan Pengasuhan dalam Keluarga, Pengaruh Sosial sejak masa kanak-kanak seseorang. Segala sesuatu yang salah dengan bibit dapat diperbaiki dengan pendidikan yang tepat, baik formal maupun informal.

Terakhir adalah Bebet, yang mengacu pada seluruh kepribadian seseorang. Ini bukan tentang penampilan saja, seperti yang dipahami secara umum, tetapi juga tentang perannya dalam masyarakat. Bagaimana seseorang berperilaku dalam masyarakat dan bagaimana masyarakat menanggapi perilakunya.

Ketiga Faktor Ini Sama Pentingnya, karena perkawinan bukanlah tentang senggama atau hubunan seksual saja. Bukan tentang hidup bersama bersama saja. Tetapi, tentang berjalan bersama, tentang menapaki jalan penemuan jatidiri dan memperluas kesadaran.

Sebuah perkawinan yang tidak melayani tujuan tersebut tidak lebih baik dari pelacuran yang disahkan. Perjalanan dari Aku ke Kita juga tidak berhenti di titik “Kami” saja. “Kami” sepasang suami istri harus terus berkembang untuk merangkul seluruh masyarakat, bahkan seluruh umat manusia.

Saya harus mengulangi lagi. Perkawinan bukanlah akhir. Perkawinan adalah sebuah sarana. Perkawinan adalah sebuah Sistem Pendukung. Jangan berhenti di tataran memuliakan sistem saja. Manfatkan sitem untuk mencapai tujuan.

Jika Anda Memahami hal ini, maka janganlah membiarkan diri Anda terseret oleh pasangan yang dapat menyesatkan dan mengalihkan Anda dari dharma, dari jalur yang sudah benar. Pilihlah pasangan Anda dengan baik.

Perkawinan bukanlah tentang Anda, tentang pasangan Anda, dan anak-anak Anda saja. Perkawinan adalah tentang menciptakan masyarakat yang lebih baik. Untuk melayani kemanusiaan. Perkawinan adalah proses pembelajaran untuk penghancuran ego, sehingga Anda dapat melayani tanpa secuilpun ego.

Pertimbangkan hal ini….  Pikirkan, renungkan….



           
Artikel ini di muat di Majalah Media Hindu, Februari 2020.

*Humanis Spiritual, Penulis lebih dari 180 judul buku, Pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org) – artikel ini awalnya ditulis dalam bahasa Inggeris, yang bisa diakses di http://hindudharma.or.id)       
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar