Senin, 03 Februari 2020

Yoga Sutra Patanjali


 Sang Maestro Yoga, Bhagavan Patanjali   


       
Bagian Kedua: Sadhana Padah


II.27

tasya saptadhā prānta-bhūmiḥ prajñā

“Prajñā atau Tingkat Kebijaksanaan Tertinggi dicapai dengan melewati tujuh tahap secara berurut.”

Apa yang dimaksud dengan 7 tahap ini?
Dalam Tradisi Yoga, Tujuh Tahapan yang dimaksud adalah:
1.      Mengetahui Apa yang Perlu Diketahui;
2.      Menghindari Apa yang Perlu Dihindari;
3.      Mencapai Apa yang Perlu Dicapai;
4.   Menemukan dan Menggunakan Sarana yang Dibutuhkan untuk Merealisasi Tujuan tersebut (Maksudnya, ketiga hal sebelumnya. Dan sarana yang dimaksud adalah Fakultas untuk Memilah, yaitu Viveka—sehingga kita dapat menentukan apa yang tepat bagi kita, dan apa yang tidak tepat);
5.  Buddhi atau Inteligensi sudah melakukan tugasnya dengan baik (untuk merealisaskan tujuan-tujuan di atas);
6.   Guna atau Tiga Sifat Utama Kebendaan, yaitu Sattva yang Tenang, Rajas yang Aktif dan Penuh Gairah, serta Tamas yang Statis, Malas, telah teratasi, sudah tidak mengganggu lagi; dan
7.    Purusa atau Gugusan Jiwa Berada dalam Kesendirin-Nya, tanpa Ketergantungan pada apa pun juga. Pengertiannya adalah, Jivātmā atau Jiwa Individu sudah menyatu, sudah larut dalam Kesadaran Purusa, Gugusan Jiwa. Sehingga tiada lagi perpisahan antara Jiwa yang satu dan yang lain.

Tahap Pertama: “Mengetahui Apa yang Perlu Diketahui.”
Ini menyangkut apa pun yang sudah kita pelajari hingga saat ini, hingga titik ini, hingga sutra ini.
          Ini juga merupakan peringatan sekalus ujian. Patanjali sedang menyapa kita, menegur manis, ”Sudah baca semua ini, sudah mengetahui apa pun yang perlu diketahui untuk melanjutkan perjalanan dan mencapai tujuan, siap?”
          Berada di tahap ini adalah penting sekali bahwa: Pertama, kita yakin akan tujuan kita, yaitu Samādhi atau Pencerahan. Kedua, bahwasanya apa pun yang kita perlu ketahui untuk mencapai tujuan itu, sudah kita ketahui. Kita mesti “meyakini” kedua hal ini, baru bisa melanjutkan perjalanan.
Jangan menjadi Pembelajar Profesional, yang selalu menunda “Laku” dengan alasan “belum cukup tahu”. “There is neither an end, nor a limit to knowledge,” kata Master. “Tiada akhir maupun batas untuk pengetahuan. Tetapi, jangan membebani otakmu dengan pelajaran saja. Adalah penting bahwa kau mempraktikkan apa saja yang telah kau pelajarai. Sambil melakukan hal itu, sambil mempraktikkan apa yang sudah kau pelajari, ketahui, tiada yang melarangmu untuk menambah pengetahuan, untuk terus menimba ilmu.”
          Dalam arti kata lain, sekarang yang penting adalah “Praktik!” Demikian, setelah mengetahui dan melakoni pengetahuan itu, sampailah kita pada:

 Tahap Kedua: “Menghindari Apa yang Perlu Dihindari.”
Hal-hal inilah yang akan diajarkan sesaat lagi. Diajarkannya secara lebih terperinci. Untuk itulah adanya tahapan-tahapan ini. Untuk mempersiapkan kita bagi pelajaran berikutnya.
Dalam Bab Pertama, maupun Bab Kedua ini, Patañjali sudah menjelaskan secara garis besar, apa saja yang perlu dihindari supaya citta, manaḥ atau benih-benih dan gugusan pikiran serta perasaan tidak terganggu terus, tidak menjadi sebab kleśa atau duka-derita. Masih ingat?
Jika tidak, penting sekali bagi Anda untuk membaca ulang sutra-sutra ini. Karena, lagi-lagi, kita perlu mengingatkan diri bahwa sutra-sutra ini bukan sekadar filsafat; sutra-sutra ini dimaksudkan sebagai panduan bagi Laku. Yoga-Sutra ini dimaksudkan sebagai Workbook.
Membaca ulang pun merupakan bagian dari Laku, dari Yoga-Sādhanā. Masih ingat istilah Abhyāsa? Sengaja saya tidak terjemahkan supaya jika tidak ingat, Anda akan membaca ulang sutra-sutra terhadulu.
Abhyāsa adalah bagian terpenting dari Yoga. Tanpa Abhyāsa, segala apa yang telah kita baca, bahkan kita pahami, bernilai nol, nihil. Tidak berguna. So, Abhyāsa!

Tahap Ketiga: “Mencapai Apa yang Perlu Dicapai”
Tahap Ketiga ini masih terkait dengan apa yang sudah kita ketahui, dan lakoni hingga saat ini, hingga sutra ini.

Selama ini, Patanjali sudah menjelaskan cara-cara untuk mengatasi klesa. Masih ingat arti kleśa? Jika tidak, ulang dari awal! Ingat, Abhyāsa termasuk apa saja yang menyebabkan kleśa. Bagaimana kleśa berbenih, bertunas, dan berkembang, berubah.

Taruhlah kita belum sepenuhnya berhasil mengatasi kleśa, namun apkah kita setidaknya sudah berupaya untuk mengatasinya? Apakah kita sudah menghindari segala hal yang dapat menambah kleśa?
Ya, supaya tidak menambah kleśa.

Sebab, saat in saldo kleśa kita sudah cukup untuk membuat kita menderita sepanjang hidup. Saldo kleśa adalah saldo yang tidak perlu dibanggakan. Makin besar saldonya, makin banyak duka-derita kita. Saldo ini harus dikurangi, kalau bisa dihabiskan. Jadi, jangan menambah saldo klesa, habiskan apa yang sudah menjadi saldo kita saat ini

Tahap Keempat: “Menemukan dan Menggunakan Sarana yang dibutuhkan untuk Mencapai Tujuan tersebut.”

Sarana yang dimaksud adalah Viveka—Fakultas untuk Memilah antara tindakan yang tepat dan yang tidak tepat; tindakan yang membantu kita mencapai tujuan dan yang tidak membantu; tindakan yang menunjang evolusi kita dan yang tidak.

Sebagaimana telah saya jelaskan secara panjang lebar dalam Spiritual Hypnotherapy, Viveka adalah sarana sebelum terjadinya transformasi total mind, manah, atau gugusan pikiran serta perasaan; sampai mind berubah total menjadi buddhi atau inteligensi.

Viveka adalah bagian dari mind yang sudah mulai bereformasi, tetapi masih belum bertransformasi total.

Tahap Kelima: “Buddhi Sudah Melakukan Tugasnya.”
Viveka bisa di analogikan sebagai kurir pembawa berita baik, bahwasanya perkembangan buddhi, transformasi-total mind atau manah, gugusan pikiran serta perasaan, tinggal selangkah lagi.

            Berada ti tahap kelima, mind sudah mengalami transformasi total, sudah menjadi buddhi. Bahkan bukan itu saja, buddhi suddah menjalankan, melaksanakan tugasnya dengan baik.

Berarti, manah atau mind sudah tidak berkuasa. Indra dan badan sudah terkendali. Berada di tahap ini, hidup kita sudah berada pada jalur yang benar.

Tahap Keenam: “Guna atau Tiga Sifat Kebendaan yang melekat dengan setiap benda; bahkan dengan badan-fisik, gugusan pikiran dan perasaan serta intelek, dalam pengertian pengembangan otak karena pengetahuan dari pihak ketiga, dari luar diri, dan yang biasa disebut ‘kecerdasan’, sudah terlampaui.”

Melampaui semua itu berarti Jiwa sudah sepenuhnya bebas dari kesadaran ilusif yang membuatnya mengidentifikasikan dirinya dengan alam benda dan kebendaan.

Jiwātmā atau Jiwa Individu yang sudah bebas demikian, sekaligus terbebaskan pula dari identitas lain, yaitu sebagai Jiwa “Individu”. Sebab, “individualitas” pun sesungguhnya memisahkan diri dari kesejatiannya.
Kesejatian itu adalah

Purusa, Prinsip Energi yang Tak Tergantung pada apa pun, inilah Tahap Ketujuh. Saat itu, Jivātmā lebur dalam Puruṣa. Lapisan Identitas palsu terakhir pun terkupas; dan persis seperti bawang yang jika dikupas terus, akhirnya tiada sesuatu apa pun yang tersisa—demikian pula dengan Jiwa Individu. Setelah dikupas terus, hasilnya Ketiadaan, Kasunyatan, Kekosongan Sampurna yang Abadi.

Inilah Kemanunggalan.

Dalam keadaan ini, yang ada “hanyalah” (kevala) Puruṣa. Cahaya Ilahi yang tak terpisahkan dari Sumbernya, yaitu Paramātmā, Sang Jiwa Agung. Saat itu, Hyang Ada Hanyalah Itu-“Itu”-lah Kaivalya.

Jangan cepat-cepat menyimpulkan bahwa keadaan ini hanya tercapai setelah kematian. Tidak. Tujuan Patañjali adalah memandu kita ke tingkat kesadaran ini ketika masih berbadan. Sebab itu, jika kita membaca ulang Sutra ini,

“Prajñā atau Tingkat Kebijaksanaan Tertinggi dicapai dengan melewati tujuh tahap secara berurut.” Berarti, keadaan atau tingkat ini bisa dicapai ketika kita masih berbadan. Paham?

Kata kunci dalam sutra ini adalah Prajñā—Kebijaksanan Tertinggi. Renungkan, kenapa Patañjali menggunakan istilah ini? Kenapa Prajñā atau Kebijaksanaan Tertinggi, jika seseorang sudah mencapai mokṣa atau Peleburan yang Sempurna?

Sudah moksa, lalu untuk apa kebijaksanaan? Mau diapakan? Kebijaksanaan menjadi berarti jika kita masih berinteraksi dengan seseorang, sesuatu, suatu kondisi. Utuk apa menjadi bijaksana, jika kebijaksanaannya tak terpakai?

Maksud Patañjali adalah total transformatoan of mind, manaḥ atau gugusan pikiran dan perasaan sudah mengalami transformasi total, sudah menjelma kembali menjadi buddhi. Keadaan inilah, pencapaian inilah yang membuat kelahiran kembali tidak perlu lagi.
Inilah Rahasia untuk Mengakhiri Samsāra. Ketika manaḥ atau mind sudah bertransformasi, siapa lagi yang akan lahir kembali? Apa lagi yang bisa menjadi benih bagi kelahiran ulang? Apa yang bisa menjadi alasan bagi reinkarnasi, punarbhava atau kejadian ulang?

Buddhi diperuntukkan untuk mengantar kita ke atas, bukan ke bawah. Itulah tugas dan peran buddhi, inteligensi. Inilah sebab seseorang yang telah mencapai keadaan ini disebut Buddha, buddhi-nya sudah berkembang. Seorang Buddha boleh tampak hidup bersama kita dan di dunia yang sama, tetapi sesungguhnya alamnya sudah beda,sudah lain.

Seorang Buddha sudah berada dalam kesadaran Puruṣa selagi masih berbadan. Ia adalah Jivān Mukta, sudah bebas dari kurungan alam benda. Badan yang masih digunakannya bukan lagi kurungan. Ia menggunakannya sebagai alat.
            Demikian kiranya maksud Patañjali.


(Sumber: Yoga Sutra Patanjali, Bagi Orang Modern, Karya Anand Krishna, hal. 219-231, Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta)
           


         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar