Sabtu, 21 Maret 2020

Kawin Campur.

Love

Mau saling mengerti, menyikapi diri sendiri. Dipikir matang-matang bagi yang mau kawin beda suku, agama; serius, benar-benar, jalani - memberi kebebasan. Pindah Agama dari Katolik masuk Islam, merasa dihantui,   merasa gelisah, masih ada kristus dalam diri; terjadi ‘cekcok’, ternyata tidak semudah dalam pengertiannya.    

Kedua-duanya harus mau saling adaptasi, isinya :   
  • Pengorbanan, ciptakan keluarga baik-baik.
  • Siap dan Berani, berusaha untuk makin meningkatkan.
  • Setia, jangan meninggalkan kebenaran; pindah agama seperti ganti baju, jangan meninggalkan keluarga, masyarakat; berusaha untuk menggarami.

Mengerti akan kemampuan dan kekuatan diri, kalau tidak dalam pilihan pribadi jadi bingung, teliti diri sendiri adakah yang lebih ‘berat’? Apakah pilihan itu karena kemauan sendiri atau karena tekanan situasi dan kondisi? Kalau harus pindah agama, dampakya apakah makin tambah baik atau buruk?

Gantharwa benar-benar tidak ada masalah. Sikap kita, dua-duanya harus menghadap, diamati satu-satu. Tentang pengertian, kemampuan, cinta, dan keluarga. 
Manusia dipengaruhi oleh pertama, Pengalaman atau Kebiasaan dalam sekup kecil adalah Keluarga, lebih luas  adalah Suku dan lebih besar lagi adalah Agama. Kedua, Pengertiannya, dari ‘sekolah’ atau pendidikannya.

Bertujuan apa? Untuk dua pribadi tujuannya: 
  • Menjadi Satu Keluarga, manunggal karso, karyo dan roso;  dibutuhkan Kesungguhan. 
  • Menerima apa adanya, Akan berhasil jika ada adaptasi dan toleransi.
  • Setia, saat-saat ribut dibutuhkan.
Suku, Agama secara mendasar mengakui bahwa Allah itu Satu, semua adalah keturunan Adam. Hal mendasar yang menyebabkan beda adalah mencampur-adukan Agama dan Tuhan, lebih parah lagi adalah meng-Allah-kan Agama. Terjadi salah tafsir tentang Allah dan tafsir itu di-Allah-kan. 

Ada perbedaan berarti salah satu salah atau kedua-duanya salah, perbedaan digunakan untuk saling menjatuhkan. Secara positif adanya perbedaan untuk ‘self correction’.

Saya menipu Tuhan? Percuma Allah Maha Tahu.

Jangan meninggalkan Tuhan atau Kebenaran; silakan tipu manusia karena kebodohannya, negatif akan menjadi positif bila dikalikan dengan negatif atau kebohongan, kenapa? Karena itu aturan orang bodoh.

Kemudian pasangan beda Agama  punya anak?

Anak jangan menjadi ajang iklan,  jangan ‘bujuki’, menjelek-jelekan, tapi secara positif masing-masing orang tua mewujudkan yang tebaik dalam agama masing-masing.

Makin ribut?
  1. Terjadi perubahan cinta, dari melayani - saling mengalah, punya pengharapan menjadi tuntutan - saling menuntut, kehampaan, yang ada adalah kejemuan.
  2. Tanpa disadari muncul kekecewaan, kehilangan harapan maka ribut muncul.
  3. Melihat memori, ‘ilmu perbandingan’, “tahu begini lebih baik…”, ini sudah parah.

Takut kehilangan jangan memiliki, takut ‘cekcok’ jangan punya pasangan.

Perkawinan sah, secara kwalitas intinya saling mencintai, mengikat janji dan Tuhan memberkati. Walaupun secara formal - keluarga, masyarakat, agama tidak mengesahkan. Sah formal hanya tambahan.

Dijodohin?

Berkembang saling cinta menjadi sah, tapi kalau tersiksa itu tidak sah. Dulu kawin paksa sekarang terpaksa kawin..he..he..he..

Kepepet?

Lebih baik kawin dengan laki-laki yang mencintai, sifat perempuan ‘tresno jalaran suko kulino’. Untuk pendidikan, saat masih anak-anak salah satu mempercayakan dan jika dewasa biarkan milih.
Dari hal-hal sepele banyak ditemui perbedaan.

Misal, tuntutan bahwa suami mandikan anak, nyuapin, cari duit dan istri bilang masih kurang. Menyikapinya dengan syukur itu bukanlah karma dia, tapi kalau menggerutu itu adalah karmanya. Batas tanggung jawab, anak tetap terurus (luas: pendidikan, kesehatan), duit ada, diluar itu bukan tanggungannya.

Sabar itu tidak punya niat balas dendam, tanpa merencanakan hal yang negatif, tetap melayani dengan cinta. Hidup kita bukan hanya menjadi milik sendiri, tetapi juga milik mayarakat dan keluarga, konsekwensinya harus bisa membagi adil, lihat bobotnya.

Beda kondisi melihat dan mengalami.

Pengorbanan itu sangat indah saat kita masuk ke dalamnya. Kebahagiaan tersendiri saat melayani. Basic keluarga utuh, bentuknya segi tiga, kemanunggalan karso, karyo, roso. Kekompakan yang utuh, inilah keindahan itu.

Janji kawruh kekal.

Prinsip, Tuhan memberi kebebasan. Kebebasan disalah-gunakan menjadi bumerang akhirnya masuk neraka. Bagi Tuhan tidak masalah manusia berjanji atau tidak, melangarnya atau tidak karena Tuhan Berkelimpahan, sangat senang. 
Bahasa manusia yang menyatakan membuat Allah senang. Istilah tokoh-tokoh agama, bila melanggar Tuhan menghukum, nakut-nakuti, mengkambing-hitamkan Allah. Ini pandangan yang tidak benar perlu diperbaiki.

Aturan tidak tegas gampang dimainkan. Bagi ia yang belum mengerti digunakan untuk coba-coba. Ini bukan untuk coba-coba atau mainan !!! Ini mengandung konsekwensi. Kesetiaan pada Janji tanpa ini akan bingung, tidak setia, tidak kuat akan godaan. Bila menyadari tidak akan keluar jalur.

Apapun yang terjadi tetap dalam kesetiaan sampai akhir hayat.

Dalam Sikap, keputusan, janji betapa pentingnnya Persiapan dan Kesungguhan. Yang ada sekarang, kesungguhan tanpa persiapan, adalah kesungguhan palsu dan persiapan tanpa kesungguhan, maka tidak lulus. 
Tanpa ini kegagalan dan kekecewaan yang akan kita alami.  Bila belum saatnya memang tidak terasa, akan terasa saat ‘acara’ atau go public.

Aturan atau disiplin hanya dibutuhkan oleh orang bodoh. Orang ‘pintar’ tidak perlu atau bebas dari aturan, makin dewasa bebas dari aturan, perintah Allah hilang menjadi Cinta Kasih.

Suami-istri Katolik, pisah, salah satu ingin kembali sudah sungguh-sungguh, maksimal tapi yang lain tidak mau, boleh tidak kawin lagi?

Secara katolik tidak boleh, apa permasalahan sebenarnya sampai tidak mau, berarti ada yang kurang, sifat istri atau sifat suami. Melihat sebagai penonton tidak bisa memutuskan ya atau tidak, karena tidak tahu masalah yang sebenar-benarnya.

Sudah ada anak belum? Jika ada, jangan sampai anaknya terbengkalai, menjadi minder karena tidak punya status.

Wawasan untuk menjadi penasehat harus luas.

Kutub tengah, keseret menggunakan kebebasan, untuk kawin lagi atau menggunakan kesetiaan, tunggu sampai mati.

Perkawinan makna luas adalah Kawin Ilmu, ini boleh; menerima pusaka, kawin pusaka. Perkawinan basicnya adalah Janji Kemanunggaan, Yesus dengan umat manusia atau dalam Perguruan. Yang satu ingkar janji yang lain bebas dalam perjanjian. Inilah zinah, yang ingkar janji. 

“…Mengerti dan melaksanakan…”


(Wejangan Kyai Ganjel pada Kliwonan November 2000,  Padepokan Gantharwa, Cibolerang Indah Blok H1 Caringin, Bandung, Jawa Barat)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar